“Arghhh...” Aku melempar kasar ponsel ke atas ranjang. Sepertinya aku sudah tahu siapa pengirim pesan itu. Laki-laki sama yang datang saat aku mengandung Miko dulu. Tak ingin memperpanjang urusan, aku segera memblokir nomor tersebut. Rasanya aku lagi enggak mau berpikir berat. Merasa bosan di kamar, aku beranjak turun ke lantai dua untuk memasak sarapan. Baru ingin mengambil bahan di kulkas, dari dalam perutku terasa sesuatu yang melesak ingin keluar. Aku segera lari ke wastafel pencuci piring dan keluarlah cairan tak sedap dari mulutku. “Mama sakit, ya?” tanya Miko sembari menarik-narik bajuku dari bawah.“Enggak sayang, mama cuma masuk angin.” Aku menoleh dan tersenyum pada Miko.“Aku telepon Ayah ya, Ma?”“Ayah kan lagi sibuk kerja,” ujarku beralasan.“Kerja kok enggak pulang-pulang.” Miko mengerucutkan bibir sambil berjalan menuju meja makan.Sudah hampir setengah jam aku dan Miko duduk di depan gerbang toko. Bukan tanpa alasan, kami sedang menunggu makanan yang aku pesan dari
"Kamu tega ajak aku ke kandang macan, Mas?" bentakku berusaha mencegas Mas Rafi yang terus saja memasukkan barang ke dalam koper."Maksudnya?" Mas Rafi menoleh."Kamu mau aku tinggal dengan orang-orang yang membenciku?""Jangan menilai kalo belum pernah merasakan. Aku tidak mau ambil resiko jika itu menyangkut anak dan istriku. Lagi pula aku lihat selama ini Ibu baik sama kamu.""Tapi bagaimana dengan toko ini?" "Kan ada karyawan, lagi pula kamu bisa datang kapan saja," jelas Mas Rafi.“Tapi, Mas!” Aku mengusap wajahku kasar."Ini bukan saatnya berdebat, Nita. Yang terpenting sekarang bagaimana kamu dan anak dalam kandunganmu selalu dalam pengawasan. Aku enggak bisa terus memantau, jika kalian tetap tinggal di sini."Walaupun selama ini Ibu tak pernah berbuat macam-macan, tapi tetap saja aku belum siap jika harus satu atap dengannya.Kalo boleh memilih, aku ingin tinggal di rumahku yang lama. Tapi setelah di pikir-pikir, aku tak mungkin kembali ke sana, apa lagi dalam keadaan hamil
“A-apa kabar, Desi?” tanyaku ragu. “Baik, Mbak. Nah gitu dong, sekali-sekali main di ke sini.” Desi menuntunku untuk duduk di kursi ruang tamu. Melihat sambutan baik dari Desi, rasa takutku perlahan hilang. Paling tidak kedatanganku ke rumah ini tidak di sambut dengan penolakan. “Mulai hari ini Nita dan Miko akan tinggal di sini,” ujar Mas Rafi yang sedang berjalan ke araku.“Kamu yakin, Mas? Apa enggak jadi masalah buat Mama dan Mbak Silvi?” tanya Desi.“Nita hamil, aku enggak mau ambil risiko dengan membiarkan mereka tinggal sendiri,” jelas Mas Rafi.“Mbak hamil?” Desi berbalik memandangku. Aku mengangguk ragu. “Ih, selamat. Udah berapa bulan Mbak?” Desi mengusap lembut perutku.“Baru empat minggu.”“Wah, lagi rawan-rawannya. Mbak harus banyak istirahat, enggak boleh kerja berat. Mulai sekarang kalo ada apa-apa bilang sama aku, ya. Aku enggak mau keponakanku kenapa-kenapa,” ujarnya memperingatkan sebelum berjalan masuk.Entah mengapa raut wajah Desi seketika berubah saat tahu ka
“Bik, aku pergi dulu, ya.” Aku menghampiri Bibi di dapur.“Tapi, Bu! Nyonya besar sudah berpesan kalo Bu Nita enggak boleh pergi ke mana-mana,” cegah Bik Sumi.“Tenang aja, Bik. Aku Cuma mau nengokin adik di rumah. Mas Rafi sama Ibu udah ngizinin tadi. Lagi pula mereka enggak akan pulang kalo acara Mbak Silvi belum selesai.Aku bergegas meninggalkan rumah Mas Rafi. Untung saja ojek online yang barusan aku pesan sudah tiba di depan gerbang. Tanpa menunggu lama, aku sudah dalam perjalanan menuju rumah yang sudah lama aku tinggalkan.Menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku sampai di rumah masa kecilku. Aku memandang halaman yang luas yang di penuhi rumput. Miko yang barusan ku jemput dari sekolah langsung antusias begitu aku mengajaknya.Bak rumah tak berpenghuni, rumahku kini terasa dingin dan sepi. Walaupun Ari tinggal di sini tapi ia tak selalu rajin dalam membersihkan rumah. Hal itu terlihat dari kotornya teras dengan beberapa gelas bekas kopi yang tergeletak di meja teras.
"Oh, jadi ini kelakuan kamu di belakangku." Mas Rafi terus mendekat. Pandangannya tak lepas dari tanganku yang masih di genggam Rendi.Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangan Rendi, tapi nihil, ia malah mengangkat tangan kami seolah pamer pada Mas Rafi."Pantas saja selama ini kamu tak pernah marah saat aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Silvi. Jadi kamu bermain di belakangku.""Bu-bukan begitu, Mas.""Banyak alasan! Kalo kebetulan ketemu itu di jalan, kalo di rumah itu namanya janjian," cibir Mas Rafi."Ya, bisa di bilang seperti itu. Kami memang janjian bertemu di sini. Lagian kamu kan akhir-akhir ini sibuk ngurusin pestamu, jadi Nita pasti kesepian dong," ucap Rendi."Dasar manusia-manusia tak tahu diri!""Jangan sok suci, bukannya kamu yang lebih tak tahu diri. Apa sebutan yang pantas untuk lelaki yang berusaha merebut kembali anak yang tak di akuinya, selain pengecut.""Kamu enggak usah ikut campur! Masalah Miko adalah urusanku dan Nita.""Kamu tahu siapa yang menem
“Maksudmu apa menghubungi Rania? Apa kamu mau bilang kalo aku terus-terusan ngejar kamu? Asal kamu tahu, dia sudah tahu semua.” Rendi langsung berbicara sesaat setelah aku duduk di hadapannya.Setelah peristiwa semalam, aku memang mengajak Rendi bertemu. Saat ini kami berada di sebuah cafe yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Ternyata asa banyak perubahan di lingkungan rumahku semenjak aku tinggal di ruko, salah satunya di bukanya sebuah cafe yang katanya baru buka dua bulan ini.“Apa kamu gila? Kamu udah sangat menyakiti Rania. Dia istri kamu.” “Istri di atas kertas lebih tepatnya. Aku tak pernah mencintai wanita Bodoh seperti Rania.”“Bodoh katamu?”Aku yakin Rendi sekarang sudah benar-benar tak waras. Bukankah dia yang telah membuat Rania seperti orang bodoh, yang terpaksa ia nikahi karena kesalahan masa lalu mereka.“Ya, Rania itu bodoh. Mana ada wanita yang mau terus bertahan saat suaminya jelas-jelas tak pernah mencintainya.” “Dia hanya meminta pertanggung jawaban atas a
“Ma-maaf? Maaf kenapa, Bu?” Aku menuntun Ibu agar duduk di kursi ruang tamu.“Kenapa kamu pulang ke sini? Kamu pasti tak nyaman di rumah Ibu dan memutuskan kabur.”“Bukan, Bu. Aku ke sini cuma kangen rumah lama aja.”Sebenarnya apa yang telah terjadi pada Ibu, mengapa ia tiba-tiba berubah? Walaupun Ibu tak pernah jahat terhadapku, tapi ia juga tak pernah memperlakukanku selembut ini.“Apa kamu akan pulang ke rumah Ibu?” “Belum tahu, Bu. Apa Mas Rafi tidak bilang sesuatu dengan Ibu?” “Ya, Rafi bicara banyak hal kemarin.”Ibu kembali terdiam, kali ini pandangannya terlihat kosong.“Ibu boleh menuduh apa saja padaku. Aku sudah siap jika memang kalian tak mengakui anak ini seperti Miko dulu.” Seketika Ibu menoleh, aku baru sadar jika wajah Ibu kali ini polos. Ia tak memakai make up tebal seperti biasa ia lakukan. Dari jarak sedekat ini terlihat jelas kerutan wajah dan kulit yang mengendur yang menandakan bahwa ia sebentar lagi akan memasuki fase lanjut usia.“Tidak, Nita! Aku yakin an
“Anita!” Mas Rafi langsung menangkapku yang hampir saja terhuyung .“Sakit, Mas,” racauku sambil terus memegangi perut.Tubuhku seketika kehilangan tenaga, pandanganku meremang dan kepalaku mendadak terasa sakit. Aku mendengar Mas Rafi berteriak memanggil Ibu dan Bik Sumi. Tak lama kemudian aku di angkat menuju mobil oleh Mas Rafi.“Rafi, kamu apakan Anita, hah!” pekik Ibu sembari terus mengelus kepalaku yang bersandar di bahunya. “Aku enggak ngapa-ngapain, Ma. Tadi Silvi datang terus ...”“Kenapa kamu biarin Silvi mendorong Anita? Kamu tahu kan kalo wanita hamil sampai jatuh itu bahaya.”“Maaf, Bu.”“Aku enggak apa-apa kok, Bu.” Aku mencoba menenangkan Ibu.Kugenggam erat tangan yang sedari tadi tak berhenti mengelus perutku. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Yang jelas aku sangat bahagia mendapat perhatian yang begitu besar dari Ibu.Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya kami sampai di klinik yang letaknya tak jauh dari rumah Ibu. Aku di angkat oleh Mas Rafi