Bab 6 anakku disiksa mertua dan ipar sampai gila.
Suasana duka menelimuti keluarga Roy. Di mana saat ini, keluarga itu tengah di landa duka yang mandalam atas meninggalnya Ita, istri kedua Roy. Semua orang yang datang di rumah itu memakai pakaian warna hitam sebagai lambang duka. Roy, Lina, Mira dan Ridho. Mereka terus saja menangis sesenggukkan merasa kehilangan orang yang mereka cinta dan juga orang yang selama ini mereka anggap sebagai ladang uang. Jika saat ini Roy dan keluarga menangis sesenggukan berbeda dengan Adinda, wanita itu terlihat sangat cantik dengan gaun warna merah. Penampilan Adinda berbeda dari yang lainya. Wanita itu merias wajahnya dengan sangat cantik dan juga memeloskan lipstik berwarna merah senada dengan gaun yang dipakainya. Semua parah melayat yang ada di rumah itu menatap Adinda dengan tatapan sinis. Tetapi tatapan mereka tidak membuat nyali Ibu satu anak itu menciut, justru tatapan sinis itu membuat Adinda semakin percaya diri dan berani. Adinda melangkah mendekati jezanah Ita dengan sedikit membungkukkan tubuhnya, Adinda meneteskan air matanya. Bukan air mata kesedihan atas meninggalkan istri kedua suaminya itu, tetapi air mata bahagia, karena dia telah berhasil melenyapkan satu musuh. Adinda sengaja meneteskan air mata di depan orang banyak agar orang-orang itu tidak curiga padanya dan menganggap bahwa dirinya yang membunuh Ita. Sesudah didoakan dan dan lain sebagainya, jenazah Ita pun akan di makamkan. Jenazah itu langsung di boyong ke pemakaman. Semua orang langsung ke pemakaman. Sedangkan Adinda, wanita itu juga ikut kepemakaman. Sesampai di pemakaman, Adinda berdiri didekat Roy. Adinda memasang wajah sedih lalu berbisik, “Apa kamu juga menangis seperti ini saat melihat putra kita gila?” Mendengar bisikan Adinda, Roy menatap sengit istrinya itu, tetapi itu tidak lama karena dengan cepat kilat Roy membuang pandangan ke arah lain dan kembali menangisi istri keduanya yang telah tiada. Adinda tersenyum ketus menatap suaminya dan saat dia tengah menatap suaminya dengan tatapan penuh dendam, tiba-tiba ponselnya berdeiring. Dengan cepat Adinda merogoh ponsel dari dalam tasnya dan memperkecilkan volume ponselnya. Adinda berdiri sedikit jauh dari kerumunan orang-orang itu untuk menerima panggilan dari dokter. “Halo, Adinda. Cepetan ke sini, Ikshan terus saja menangis dan juga berontak.” Suara dokter Ibnu terdengar sangat cemas. “Baik, Dok. Saya akan segera ke sana.” Tanpa basa basi ataupun berpamitan pada suaminya, Adinda bergegas meninggalkan pemakaman. Dengan menumpangi taksi Adinda langsung ke rumah sakit jiwa. Dalam perjalanan Adinda terus saja memikirkan putranyanya, bahkan wanita itu menangis saat teringat perkataan dokter yang mengatakan Ikshan menangis dan berontak. Setelah menempuh perjalanan akhirnya Adinda sampai juga di rumah sakit. Adinda bergegas membayar ongkos taksi dan sesudah itu dia berlari masuk ke dalam rumah sakit. Adinda berlari menuju ruangan tempat anaknya dirawat. Di dalam ruangan ikshan terus saja berontak sehingga tali yang diikat pada tangannya itu menggencang hingga tangannya luka dan mengeluarkan banyak darah. Melihat tangan putranya mengeluarkan banyak darah membuat hati Adinda semakin sedih. “Mama? Mama? Jangan ninggalin Ikshan,” teriak Ikshan disertai isak tangis yang sangat piluh. “Iya, sayang. Mama tidak akan ninggalin kamu. Mama akan jagain kamu dan rawat kamu sampai sembuh.” Adinda juga menangis sesenggukkan dan memeluk erat putranya. Dokter Ibnu dan dua orang perawat melepaskan ikatan tali pada tangan Ikshan, sesudah itu dokter mengobati luka Ikshan dan tentunya dibantu oleh dua orang perawat. Adinda terus saja memeluk dan mengusap lembut pucuk kepala dan juga punggung putranya. Usapan lembut dari seorang Ibu mampu membuat buah hatinya tenang dan tertidur lelap. “Mama akan tetap di sini sampai kamu sembuh,” ucap Adinda dan mengecup lembut pucuk kepala Ikshan. Jika saat Adinda bertemu dengan Ikshan di lampu merah dalam keadaan yang compak camping dan juga kotor, berbeda dengan yang sekarang. Di mana bocah gila itu sudah sangat bersih dan terawat. Rambut panjangnya sudah dicukur rapih dan juga kuku kaki dan kuku tangannya juga dipotong oleh Ibunya. Dokter Ibnu menatap sendu pada wanita yang tengah merangkul pasiennya. Ada rasa kasihan yang muncul dalam dirinya pada ibu dan anak itu. “Ikshan membutuhkan kamu, saya harap kamu tetap di sini untuk menemaninya. Siapa yakin dengan cara kamu terus berada didekatnya mampu menyembuhkan dia.” Dokter Ibnu meminta Adinda untuk tetap di rumah sakit untuk menemani Ikshan. Adinda yang sedari tadi memeluk putranya dan membenamkan wajahnya pada kepala putranya, kini dia sedikit medongakkan kepalanya dan menatap pria tampan berjas putih kedokteran itu. “Jika aku terus berada di sini, bagaimana aku bisa membalaskan dendamku pada suami dan keluarganya?” ucap Adinda. “Untuk beberapa hari saja untuk tetap ada di sini demi kesembuhan putramu, setelah kondisi putramu sudah sedikit membaik kamu boleh pergi untuk membalaskan dendammu.” Dokter Ibnu terus meminta Adinda untuk tetap di rumah sakit dan itu demi Ikshan. Adinda diam mempertimbangan perkataan dokter Ibnu. Kemudian dia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban jika dia setuju untuk tetap di rumah sakit untuk menemani putranya. “Saya akan tetap di sini untuk menemani putraku,” ucap Adinda. “Saya yakin dengan adanya kamu di sini, Ikshan pasti akan sembuh.” Dokter Ibnu sangat senang dengan Keputusan Adinda. “Kamu wanita Tangguh, kamu hebat.” Dokter Ibnu tak sengaja melontarkan kata-kata pujian pada Adinda. Adinda tidak menjawab, dia mengabaikan perkataan dokter itu. Karena dia merasa dirinya bukan wanita yang Tangguh dan hebat. Adinda merasa dirinya adalah Ibu yang jahat yang rela meninggalkan buah hatinya bersama orang lain dan orang-orang itu menyakiti putranya dengan sangat sadis sampai sang putra g I l a. Mulai hari ini dan beberapa hari kedepannya Adinda putuskan untuk tetap beada di rumah sakit dan itu semua demi kesembuhan putranya. Saat ini di dalam ruangan itu hanya Adinda dan putranya saja. Adinda yang merasa ngantuk pun tidur bersama putranya dengan saling berpelukan. *** Kita harus melaporkan ini semua pada polisi,” ucap Lina. “Ibu yakin ini adalah ulah Adinda. Dia adalah pelaku yang sudah membunuh Ita,” ucap Lina. “Jangan, Bu. Kita jangan asal nuduh seperti ini. Karena saat ini posisi kita juga terancam,” kata Roy. “Kita tidak boleh gegabah, kita harus lebih pintar dari Adinda. sekarang kita harus cari Ikshan, kita harus mencarinya sampai ketemu. Jika kita sudah ketemu kita bisa gunakan Ikshan untuk mengancam Adinda.” Lina, Mira dan Ridho mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Roy. “Setelah kita menemukan Ikshan kita bisa membunuhnya!” ujar Roy, lagi. “Tidak! Kalian tidak akan bisa membunuh Ikshan atau Adinda. Aku akan membongkar semua kebusukan kalian dan aku akan cobloskan kalian ke dalam penjara!” ucap seseorang. Roy, Lina, Mira dan Ridho melihat ke arah sumber suara dan mereka sangat terkejut dengan kedatangan orang itu. “Kamu…? Bersambung …"Kamu ...?" "Iya, aku ... Aku yang akan bongkar kebusukan kalian semua dan aku yang akan melaporkan kalian semua ke kantor polisi karena sudah membuat Ikshan g i l a!" ujar pria paruh baya itu dengan tegas. Roy mengepalkan kedua tangannya kuat. Dia tidak menyangka kalau pria paruh baya yang hilang selama ini kembali ke rumah. Pria paruh baya itu adalah Ferri, ayahnya Roy dan Mira. Ferri, sudah satu setengah tahun tidak kembali ke rumah itu karena dia tidak tega melihat anak dan istrinya yang terus berperilaku kasar pada Ikshan. Roy, Lina, Mira, dan Ridho. Mereka mereka tidak tenang dengan kembalinya Ferri, karena dengan kembalinya pria itu membuat posisi mereka terancam. Mereka terancam akan masuk penjara jika Ferri membeberkan semua perlakuan mereka pada pihak polisi. Roy dan Ridho mendekati pria itu dan menyeret pria dengan kondisi kaki kiri pincang masuk ke dalam rumah."Lepaskan Ayah, Roy! Sudah cukup kalian jahat sama Ikshan dan memeras Adinda untuk kepentingan kalian." Fer
Jarum jam sudah di angka 04.00 subuh, Roy belum juga tertidur. Pria itu terus saja kepikiran dengan orang misterius yang masuk ke dalam kamarnya itu.Pria itu terus saja guling ke kiri dan ke kanan, dia merasa tidak tenang.'Apa aku tidur saja di ruang tamu?' Pria itu bergegas turun dari tempat tidurnya dia menyambar selimut dan guling dibawanya ke ruang tamu. Roy meletakan guling di samping di sofa lalu dia tidur di sana. Roy langsung memejamkan matanya dan sekarang dia baru bisa tidur nyenyak. Sedangkan di dalam kamar Adinda sudah bangun tidur. Ibu satu anak turun dari ranjangnya dan berjalan ke arah toilet. Setelah dari toilet, Adinda membasuh wajahnya di kamar mandi. Selesai membasuh wajahnya, Adinda bersiap diri. Dia akan berangkat ke pasar pagi guna membelikan bahan masakan. Dia akan memasak untuk dia bawakan ke rumah sakit untuk sang putra. Adinda keluar dari kamarnya dan mencari sendalnya yang kemarin dia letakkan di teras rumah, tapi sekarang sendal itu sudah tidak ada di
“Apa kamu sudah menemukan keberadaan ayah?” “Belum, sepertinya pria tua dan tidak berguna itu sembunyi dari kita.” Ridho sudah berusaha mencari keberadan Ferri ke sana kemari, tetapi tak kunjung menemukan ayah mertuanya.“Apa katamu? Berani sekali kau mengatakan ayahku tidak berguna! Mulutmu itu aku sumbat nanti!” Roy tidak terima Ridho yang mengatai ayahnya tidak berguna.“Bukankah kamu juga mengatakan ayahmu begitu?” Ridho bingung dengan sikap Roy.Roy mengepalkan kedua tangannya dan rahangnya mengeras. Kemudian Roy mendekati Ridho menarik baju Ridho. “Hanya aku yang boleh mengatai kedua orang tuaku! Dan kamu tidak boleh mengatakan itu, jika sekali lagi aku mendengar mulutmu akan aku pecahkan!”“Oke, aku tidak akan ulangi lagi.” Ridho menepis tangan Roy yang menarik bajunya.Roy menepis tangannya dan menjauh dari suami Kakak perempuannya itu. “Sekarang juga kamu harus mencari keberadaan ayah dan bawa pria tua itu ke hadapan aku.” Roy kembali perintah Ridho untuk memncari keberadaa
"Dokter Ibnu?" "Iya, saya." Ternyata dokter Ibnu lah yang membekap mulut Adinda dan membawa wanita itu ke dalam mobilnya. "Kita harus pergi dari sini sebelum suamimu dan keluarganya tahu." Dokter Ibnu melesatkan mobil menuju ke rumah sakit. "Ikshan sudah membaik, tapi luka pada tubuh bagiannya juga sudah kering. Saat ini dia butuh kamu untuk selalu ada di sampingnya," kata Dokter Ibnu. "Iya, Dok. Maaf sudah merepotkan Dokter," ucap Adinda. "Tidak masalah, asal Ikshan sembuh dan bisa kembali beraktifitas seperti anak-anak lain." Dokter Ibnu sangat kasihan pada Adinda dan Ikshan, oleh sebab itu dia membantu Ibu dan anak itu. Dokter Ibnu juga memberikan perawatan dan pengobatan yang terbaik untuk Ikshan."Saya minta kamu untuk tetap ada di samping, Ikshan. Dia butuh Ibu dan pelukan hangat darimu." Dokter Ibnu meminta Adinda untuk tetap di rumah sakit. "Iya, aku akan tetap ada di sampingnya. Tapi untuk sementara aku harus mencari tahu semua kebusukan suami dan keluarganya. Aku akan
"Siapa yang letakkan rekaman ini?" gumam Adinda.Adinda yang penasaran dengan isi rekaman itu, dia sambungkan alat itu di ponselnya dan mulai mengotak atik rekaman itu. video rekam itu masih berputar beberapa detik dan setelah itu tampillah video yang membuat Adinda membulatkan matanya kedua tangannya menutup muulutnya."Ridho?" Tangan Adinda bergetar hebat saat melihat video yang diputar lewat ponselnya. Di mana di dalam video itu terlihat jelas Ridho tengah melakukan hal yang seharusnya tidak pantas dilakukan seorang paman pada ponakannya. tapi di dalam video itu terlihat Ridho seperti bukan seorang paman, tetapi seperti setan. Melihat Ridho melakukan hal bejat membuat Adinda langsung lempar rekaman itu di atas tempat tidur. Dia tidak kuat melihat sang putra yang menangis histeris saat laki-laki bertubuh kekar itu melakukan hal bejat padanya. Air matanya tak henti-hentinya luruh dan tubuhnya bergetar hebat. Ditambah lagi mendengar teriakan Ikshan di dalam video itu membuat uluh
"Kamu kenapa, Mir? Kenapa wajah kamu lebam semua? Apa apa terjadi dengan kamu?" Lina sangat cemas melihat wajah cantik istri yang biru seperti dipukul orang. "Tidak kenap kok, Bu. Ini karena Mira salah skincare makanya lebam seperti ini." Mira berbohong. Dia terpaksa berbohong karena di meja itu ada Adinda.Adinda terlihat santai saja, dia menyeruput susu buatnya dan menyantap roti tawar yang sudah dibaluri selai. Tetapi matanya menatap tajam ke arah Mira dengan tatapan penuh ancaman yang sangat berbahaya.Sedangkan Lina heboh dengan kondisi kedua anaknya yang bangun pagi muka sudah penuh dengan lebam. "Kamu juga Roy, kenapa wajah kamu juga seperti itu?" tanya Lina. "Tidak kenapa-kenapa," jawab Roy juga berbohong, karena tidak mungkin dia jawab dengan jujur pada Ibunya apa lagi di meja makan ada Adinda. "Sudah, Bu. Ayo, sekarang kita sarapan." Mira menuntun Ibunya untuk duduk kembali di kursi. Lina duduk di kursinya dan Roy duduk didekat Ibunya. Sedangkan Mira, wanita itu terp
"Kamu pikir kamu bisa mengalahkan aku? Tidak, kamu tidak akan bisa menyalahkan aku dan aku tidak akan pernah mau dikalahkan sama kamu wanita sialan!""Aku yang akan buat hidupmu menderita!"Adinda berucap dengan tubuh yang sedikit membungkuk di hadapan Mira. Adinda berhasil melawan serangan Mira dengan memukul kepala Kakak iparnya itu dengan bingkai foto hingga jatuh tersungkur di lantai.Adinda bangkit berdiri, lalu dia menyeret tubuh Mira keluar dari kamar. Dia akan mengurung wanita yang sudah menyakiti putranya itu di gudang.Sesampainya di gudang, Adinda mengikat kaki dan tangan Mira sama seperti yang dilakukan suaminya kalah itu pada Ikshan.Setelah diikat kaki dan tangan Mira, Adinda juga membekap mulut Mira dengan kain. Dengan begitu wanita itu tidak akan bisa kabur dan teriak meminta pertolongan orang lain.Sesudah itu Adinda bergegas meninggalkan gudang dan tidak lupa dia mengunci pintu gudang. Adinda kembali ke kamarnya, dia akan mengobati lukanya.Ibu dari Ikshan Muhammad i
Bugh! Suara tubuh terjatuh dan tersungkur di lantai. "Mati saja kau laki-laki pengganggu!"Tubuh Roy jatuh tersungkur di lantai kamar mandi. Pria itu benar-benar mabuk parah. Ibnu yang bersembunyi di balik pintu pun bergegas keluar dari kamar mandi dan mengajak Adinda untuk pergi dari sana. Ibnu tidak rela meninggalkan Adinda di rumah itu sendirian, apa lagi Roy yang mabuk seperti itu. Ibnu takut jika laki-laki itu melukai Adinda. "Ayo, kita pergi dari sini." Tanpa menunggu persetujuan Adinda, Ibnu menarik tangan Adinda keluar dari kamar itu. Adinda hanya bisa nurut karena dia juga merasa takut jika Roy melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Ibnu bawa Adinda ikut bersamanya. Ibnu bawa Adinda ke rumah sakit. Dalam perjalanan Adinda hanya diam saja, dia tidak berbicara sepatah kata pun. "Maaf, kalau saya memaksa kamu untuk ikut bersama saya. Tapi yang jelas saya takut jika kamu tetap di rumah dan disakiti oleh suamimu yang sedang mabuk itu.""Tidak masalah. Saya juga takut mas