"Maukah kau menjadi istriku?""Maukah kau menjadi istriku?" Lida Adinda terasa kelu tak bisa berkata-kata. Hanya air matanya yang berbicara, air matanya mengalir membasahi pipinya. "Ya, aku mau," jawab Adinda dalam hati. Dia belum bisa menjawabnya secara langsung pada pria itu. Karena dia masih ingin membicarakan itu semua pada putranya.Adinda akan meminta persetujuan dari Ikshan, karena saat ini yang diutamakan adalah kebahagiaan putranya."Maaf, aku belum bisa terima kamu. Aku ... Aku harus bicarakan terlebih dahulu pada Ikshan." Adinda tidak menerima lamaran Ibnu."Oke, aku sendiri yang akan bicarakan ini pada Ikshan. Aku yang akan meminta izin padanya," kata Ibnu dengan sungguh-sungguh.Setelah itu Ibnu kembali menutup kotak cincin dan dia kembali memasukan ke dalam kantong jasnya.Sesudah itu dua insan anak manusia itu duduk di kursi masing-masing, lalu mereka pun menikmati hidangan yang sudah disiapkan di atas meja.Tidak ada pembahasan di antara dua insan itu. Mereka begitu
"Kenapa bengong saja? Apa yang kamu pikirkan?" Ibnu yang baru saja pulang kerja langsung menghampiri Adinda yang tengah berdiri bengong di depan jendela kamarnya. "Apa yang kamu pikirkan? Cerita sama aku, jangan dipendam sendiri," kata Ibnu. Tangannya mengelus pucuk kepala Adinda dengan sangat lembut. "Aku masih penasaran dengan orang yang menaruh rekam cctv di kamar aku waktu itu, dan sekarang aku curiga sama Mira. Aku curiga kalau wanita itu hanya berpura-pura gila." Adinda menjawab pertanyaan Ibnu. "Kamu mau tahu orangnya?" tanya Ibnu sambil tersenyum. Adinda menganggukkan kepalanya. "Ayo, biar aku nunjukin sesuatu biar kamu tidak penasaran dan tidak bengong seperti ini lagi." Ibnu menuntun Adinda untuk keluar dari kamar. Dia mengajak Adinda untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Ibnu mengambil tas kerjanya yang ada di mobil, lalu dia kembali menemui Adinda. Ibnu mulai buka tas kerjanya, dia mengeluarkan laptop dari dalam tasnya kemudian dia letakkan laptop di atas meja
Hari ini adalah hari terakhir persidangan perceraian Roy dan Adinda. Hakim sudah mengetok palu tiga kali sebagai tanda bahwa kedua insan itu benar-benar berpisah. Adinda menghela nafas lega karena dia telah resmi berpisah dari laki-laki yang selalu disetir oleh ibnu dan saudarinya. Adinda merasa bebas dari keluarga biadab yang penuh drama itu. "Hah! Lega rasanya sudah bebas dari keluarga durjana itu," ujar Adinda. "Tapi aku belum tenang kalau belum mendapatkan sertifikat rumah itu," ucap Adinda dan raut wajahnya langsung berubah. "Aku harus mendapatkan sertifikat itu dalam waktu dekat, aku tidak mau wanita gila itu yang menguasai rumah yang beli dengan hasil jerih payaku."Setelah mengetahui Mira berpura-pura gila, akhirnya Adinda putuskan untuk mengambil kembali rumah itu dari mantan suaminya. Dan tentunya rumah itu akan dia jual dan uang itu akan dia sumbangkan ke panti asuhan. Setelah selesai persidangan Adinda langsung meninggalkan ruangan sidang Bab 23 anakku gila saat aku j
"Hari ini aku ke rumah Roy, aku akan minta sertifikat rumah." Adinda berbicara dengan Ibnu lewat panggilan suara. "Tunggu aku di rumah, aku sudah dalam perjalanan." "Kamu tidak kerja?" tanya Adinda. "Aku libur, sudah matikan telfonnya dulu dan tunggu aku di rumah. Tidak boleh ke mana-mana," kata Ibnu. "Oke, aku tunggu di rumah." Adinda dan Ibnu mematikan sambungan telfon mereka masing-masing. Adinda meletakkan ponselnya di atas meja, lalu dia menghampiri putranya yang sudah bersiap diri untuk berangkat sekolah. "Bu, apa hari ini papa Ibnu yang antar Ikshan ke sekolah?" tanya Ikshan sambil mengikat tali sepatunya. "Belum tahu, Sayang. Papa Ibnu masih dalam perjalanan," jawab Adinda dan berjongkok di hadapan sang putra. Dia mengikat tali sepatu putranya. Kini Ikshan sudah bersiap diri. Dia akan berangkat sekolah. Ikshan sudah masuk sekolah seperti biasa dan sekolah barunya Ikshan dekat di dengan rumah Ibnu.Tidak berselang lama terdengar suara deru mobil. Deru mobil itu adalah d
ANAKKU GILA SAAT AKU JADI TKWBAB 1"Ikshan, Ibu kembali Nak. Kamu pasti sudah tumbuh dewasa dan kamu pasti bahagia." Wanita bernama Adinda Kumala. Wanita berusia 29 tahun itu baru pulang dari luar negeri dan saat ini dia sedang dalam perjalanan ke rumahnya dengan taksi. Dengan kaca mobil yang turunkan wanita yang biasa dipanggil Adinda itu melihat ke luar. Melihat kota yang sudah tiga tahun dia tinggalkan. Saat tengah melihat-lihat perubahan kota yang luar biasa, mata Adinda tidak sengaja melihat seorang anak kecil yang duduk di pinggir jalan, tepat di bawah lampu merah. Sambil tertawa. "Ikshan?" Adinda menajamkan penglihatannya ke arah bocah itu. "Apa itu, Ikshan? Tapi kenapa di sini? Dan kenapa dia sangat kotor dan tertawa sendiri?" Beberapa pertanyaan muncul dalam benak Adinda. "Kenapa, Bu? Apa Ibu kenal dengan bocah gila itu?" tanya sopir taksi.Adinda tidak menjawab, tetapi matanya masih melihat ke arah bocah yang tengah duduk dan tertawa sendiri. Penampilannya sangat-sanga
Bab 2"Adinda minta foto Ikshan. Jika aku tidak mengirim foto bocah gila itu, dia tidak akan mengirimkan kita uang." Roy terlihat sangat kebingungan karena Adinda meminta foto putra mereka. "Tadi Ibu juga sudah mengirimnya pesan dan istrimu itu juga meminta Ibu untuk mengirimkan foto Ikshan," kata Lina. "Argh! Dimana kita harus cari bocah gila itu?" Roy frustasi karena dia tidak tahu keberadaan putranya saat ini. "Kamu harus cari Ikshan dan bawa dia kembali ke rumah. Dia adalah aset untuk kita semua, tanpa bocah gila itu kita akan kesusahan dan kelaparan, Roy." Lina memaksa Roy untuk mencari keberadaan Ikshan. "Tapi Roy mau cari Ikshan dimana, Bu? Roy tidak pernah lihat anak itu lagi selama ini." "Tenang, Mas. Tiga hari lalu Ita melihatnya di lampu merah. Putramu yang gila itu duduk di sana dengan penampilan yang sangat berantakan." Ita, istri kedua Roy ikut berbicara. Dia memberitahu keberadaan Ikshan yang dia lihat di lampu mereka tiga hari lalu. Tidak banyak bicara lagi, Roy
Bab 3“Puas kamu, Nda? Anak kita sudah meninggal!” Roy berucap dengan suara lantang. Saat ini dia berbicara dengan Adinda lewat panggilan suara. Tentunya masih lewat nomor luar negeri karena saat ini Adinda belum ganti nomor whatsapp-nya. Adinda senjaga tidak mengganti kontak whatsapp-nya, karena dia masih ingin membongkar kebusukan suami dan keluarga suaminya itu“Apa, Ikhsan meninggal? Yang benar saja kamu, Mas?” Adinda ikut bersandiwara sama seperti suaminya yang licik itu.“Aku akan pulang sekarang, aku akan melihat langsung putra kita.” “Tidak usah kamu pulang, karena kamu tidak akan bisa lihat Ikshan lagi. Sebentar lagi dia akan dimakamkan.” “Kamu adalah Ibu yang jahat. Kamu ibu yang jahat, Adinda! Ikshan pasti sangat benci dengan kamu!” Roy terus saja mengatai Adinda jahat.“Aku pulang sekarang, Mas. Aku sudah ada di depan rumah.” Saat ini Adinda sudah di depan rumah megah dua lantai itu. Rumah itu adalah hasil jerih payanya selama ini. Rumah yang dia beli dengan hasil kering
Bab 4"Nda, tolong cepat ke rumah sakit. Ikshan terus saja berontak dan memanggil kamu," ujar dokter Ibnu dari seberang sana. "Baik, Dok. Saya akan segera ke sana," jawab Adinda. Adinda keluar dari kamarnya dan mengunci pintu kamar. Dengan langkah panjang Adinda melangkah keluar. Adinda berjalan ke arah jalan raya mencari taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa. Ponsel Adinda terus saja berdering ada panggilan masuk dari dokter Ibnu. Adinda mengabaikan panggilan itu karena perasaannya saat ini tidak tenang dan pikirannya sudah jauh melayang tentang putranya tercinta. [Kamu ada di mana? Bisa lebih cepat] pesan masuk dari dokter Ibnu. [Saya masih dalam perjalanan.] Adinda akhirnya membalas pesan dokter Ibnu. Karena sudah tiga hari dokter Ibnu merawat Ikshan di rumah sakit membuat Adinda akrab dengan dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Setibanya di rumah sakit, Adinda bergegas keluar dari mobil dan membayar ongkos taksi pada pak sopir. Sesudah itu Adinda berlari kecil mas