"Gue pamit, Sa." Arjun mengusap surai hitam wanita itu. "Jun, makasih." Arjun tersenyum getir, sulit sekali dia harus menyimpan rahasia ini dari sahabatnya. Arjun tahu ini akan sangat menyakiti Akmal, tapi mau bagaimanapun ini keputusan Helsa. "Jaga diri baik-baik. Jaga keponakan gue," nasihatnya. Helsa membalas dengan seulas senyum. Arjun pergi, keluar dari rumah itu dengan langkah berat. Pikirannya saat ini hanya pada sahabatnya. Bagaimana jika Akmal mengetahui yang sebenarnya? Apa mungkin Akmal akan merebut kembali mantan kekasihnya itu? "Maaf, Al. Tapi suatu saat nanti, lo bisa ngerti semuanya." *** Secarik kertas berwarna putih dan pulpen bertinta hitam itu tergeletak diatas meja belajar. Sudah saatnya Helsa berdamai dengan dirinya, berdamai dengan masa lalunya. Helsa meraih pulpen itu, sedikit menegakkan tubuhnya, mencari posisi duduk nyaman. Jemarinya mulai bergerak diatas kertas itu dengan tinta hitam yang mulai mengisi kekosongannya. Setitik air mata jatuh membasahi
Adryan menatap lekat wajah cantik istrinya, sama sekali tidak berpaling. Malam ini dibuat menangis bahagia dengan pengakuan Helsa yang mengatakan bahwa dia mencintai suaminya. Akhirnya Adryan miliki semuanya dari Helsa. Tidak akan ada lagi masa lalu, meskipun Adryan tahu yang namanya melupakan itu mustahil. Tapi, percayalah Helsa sudah sepenuhnya mengikhlaskan dan melepaskan semuanya. "Mas, kenapa liatnya gitu banget?" "Mas sayang sama kamu. Jangan pergi, ya? Sama mas terus," ucap Adryan. "Tegur kalau mas salah," titah Adryan. Helsa membalas dengan anggukan kecil, wajahnya terlihat lucu. "Jam berapa sekarang?" tanya Adryan. Tadi sebelum nonton, dia sudah melepaskan arlojinya. "Jam sebelas," jawab Helsa. "Tidur ya? Kamu nggak boleh begadang. Kamu punya anemia berat. Mas ini dokter hematologi, bagaimana bisa biarin istrinya begadang." "Helsa mau minta sesuatu lagi, boleh?" "Apa, hm?" "Tapi gendong dulu ke ranjang, ngomongnya disana aja." Helsa manja banget sama suaminya, kan
Helsa menggeliat kecil dalam tidur. Dinginnya Ac kamar dan juga sapuan nafas hangat pada leher membuatnya terbangun. Wanita itu tersenyum kala menemukan posisi tidur suaminya seperti bayi."Jangan gerak, sayang. Mas capek banget ini, biarin kayak gini terus," tita Adryan dengan mata yang masih terpejam. Tangan kekar itu semakin mempererat pelukannya.Jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Sudah dua jam lamanya mereka tertidur dalam posisi tubuh tanpa busana. Permainan hari ini hanya sampai jam sepuluh, Adryan tidak mau melanjutkannya karena Helsa minta yang lebih.Kenapa? Karena Adryan tidak mau wanita itu kecapean, dia sedang hamil."Mas, mbak Ana beneran keluar seharian?" tanya Helsa."Hmm, mas bilang baliknya agak sorean," sahutnya."Helsa lapar. Mau pakai gofood aja, kan nggak ada yang masak." Ujarnya sembari mengambil handphonenya dari nakas.Tadi saat pelepasan pertamanya, Adryan menyempatkan diri untuk mengirim pesan pada mbak Ana untuk liburan hari ini. Sebenarnya saat itu mba
Sebuah mobil porsche hitam menerobos lampu merah di simpang Cafe Andara. Disaat yang bersamaan sebuah truk besar melintas begitu saja dan langsung menabrak sisi kanan mobil tersebut, yang mengakibatkan kecelakaan besar terjadi. Mobil itu terpental beberapa meter dari lokasi, sedangkan truk yang bermuatan beberapa sepeda motor itu tetap ditempat. Beberapa pengendara dan warga yang berada disekitar berlarian ke mobil porsche tersebut. Seorang pria dengan hoodie hitam polos sudah tidak sadarkan diri. Darah segar mengalir dari kepala, telinga, dan hidung menambah kesan buruk. Mereka membuka pintu mobil yang kacanya sudah pecah berkeping-keping, lalu mengeluarkan pria itu dari sana. Dibaringkannya di atas trotoar jalan dan memberikan pertolongan pertama sebelum ambulance tiba. "Masih ada denyut nadi," ucap seorang laki-laki. "Ambulance dari rumah sakit terdekat sudah dalam perjalanan, semoga tidak terlambat," kata wanita yang sudah menghubungi rumah sakit. Beberapa saat kemudian sir
"Kalian siapa?" Kalimat tanya itu mematahkan perasaannya. Helsa menatap Adryan yang sama sekali tidak mengingat siapa dia. Wajah kebingungan pria itu sudah menunjukan bahwa dia tidak mengenal mereka semua. "Mas, jangan bercanda deh. Helsa tahu mas suka banget jailin Helsa, tapi nggak gini juga." Satu minggu pasca operasi, Adryan sadar dari koma. Dokter yang menanganinya tidak terkejut dengan kejadian ini, karena memang hasil rontgen kepala dokter Adryan sudah keluar. "Saya nggak kenal kamu," ketus Adryan. "Dan kalian semua, saya tidak mengenal siapa kalian." Suaranya lantang, sorot matanya bukan seperti Adryan yang mereka kenal. Helsa kembali menyentuh wajah tampan yang dihiasi luka-luka kecil. Adryan meringis kesakitan, wajah cantik wanita hamil dihadapannya mengusik memorinya. "Minggir!" teriaknya saat nyeri itu semakin meradang, dia menepis kasar tangan lembut istrinya. "Adryan! Jangan kasar sama Helsa," tegur Jefry. "Sayang, kamu ingat bunda, kan?" tanya bunda. "Itu ayah
Suasana apartemen terasa sunyi, hanya terdengar percikan minyak goreng dari dapur. Hari sudah semakin gelap, Helsa sudah mulai berperang dengan alat masak di dapur. Dia sudah melupakan kejadian siang tadi, Helsa memaklumi kondisi suaminya. Sedangkan Adryan, pria itu duduk di sofa tengah, matanya sedari tadi tak luput dari sebuah foto berukuran besar yang ada di ruangan tersebut dan juga beberapa foto yang ada di bufet laci. "Apa wanita ini seberarti itu untuk saya? Kenapa saya terlihat bahagia dalam foto itu?" Adryan mengambil bingkai kecil dari bufet, dia tersenyum kecil melihat fotonya bersama bunda, ayah, dan senyumnya hambar saat ada Jefry disampingnya. Laki-laki itu membuat moodnya buruk. "Mas...," panggil Helsa. Adryan balik menatap Helsa, wanita itu terus menampilkan senyum tulusnya, rambut sebahunya sudah kembali di gerai setelah selesai masak. "Makan sekarang ya? Mumpung masih hangat," ajak Helsa. Adryan hanya membalas dengan anggukan kecil. Helsa menangis dalam diamny
Membayangkan kehadiran dokter Uni dalam kehidupan pernikahannya membuat Helsa kurang fokus pada macbooknya. Terhitung dua bulan lagi dia akan mengikuti ujian setara untuk mendapatkan ijazah SMA sesuai permintaannya. Akhir-akhir ini Helsa diserang cemas yang berlebihan, apalagi wanita lajang itu selalu menghubungi Adryan. Helsa takut dia terlupakan, ya meskipun memang dia dilupakan. Belum lagi dengan bunda yang selalu menuntutnya untuk tidak banyak bicara pada suaminya. Bunda memang egois. "Kamu lagi ngapain?" Suara baritone itu mengalihkan pandangannya, Adryan menghampirinya ke meja pantry. Dia bingung dengan apa yang dilakukan seorang ibu hamil ini. "Belajar? Kamu masih sekolah?" Helsa menatap intens manik mata suaminya. "Iya, habis lahiran Helsa mau berangkat ke Kanada. Dan mas sendiri udah izinin." "Kamu mau tinggalkan saya sendiri?" Adryan menghentikan pergerakan tangan Helsa. Wanita itu menepis pelan tangan Adryan, memalingkan wajahnya ke macbook. "Nggak ada yang ninggali
Tangisan itu pecah dalam pelukan suaminya. Malam ini dia benar-benar menumpahkan semua kekesalan beberapa minggu ini, menumpahkan rasa cemburunya. Helsa sedikit berjinjit untuk mengalungkan tangannya pada leher Adryan. Pelukan itu masih sama. Adryan memeluk wanitanya begitu erat, saking eratnya dia tidak sadar istrinya lagi hamil. Dasar pria amnesia! "Saya memang tidak mengingat kamu, tapi saya yakin kamu adalah perempuan yang saya cinta. Jangan pergi Helsa, saya butuh kamu." Runtuh sudah pertahanan Adryan untuk tidak menyentuh wanita itu, dia tidak tega melihat Helsa menangis. Wanita itu membutuhkannya, begitu juga dia. "Maaf kalau sikap saya buat kamu tidak nyaman," ujar Adryan. Helsa merenggangkan pelukan itu, jemarinya menelusuri setiap inci wajah suaminya, dia tersenyum dalam air matanya. Helsa kembali berjinjit, lalu memberi kecupan rindu pada dua mata milik sang suami. "Helsa takut Mas pergi. Helsa takut terlupakan. Helsa nggak mau kehilangan Mas Adryan," tuturnya dengan