"Selamat pagi." Seorang perawat tersenyum canggung pada Helsa. Wanita berpakaian Oka itu merasa aneh saat mendengar Adryan menyapa Helsa layaknya pasien lain. Sayang? Oh, panggilan tidak berlaku saat Adryan sedang bertugas. "Selamat pagi, cantik," sapa perawat berusia kepala tiga pada Helsa. Adryan bekerja secara profesional. Helsa akan menjadi pasiennya saat ia sedang bertugas. Wanita hamil itu akan diperlakukan sama seperti pasien lainnya, tidak boleh lebih. "Sudah sarapan?" tanya Adryan. Dengan penlight ditangannya, ia memeriksa kondisi mata Helsa. Mata sayu itu selalu terlihat pucat. Itu yang selalu Adryan lihat sejak pertama mereka bertemu. Istrinya memang menderita anemia berat. "Belum, dokter," jawab Helsa seadanya. Wanita itu masih kesal pada Adryan yang meninggalkannya begitu saja pagi tadi. "Kenapa belum? Lagi nungguin siapa emang?" Adryan bertanya, lihat bagaimana senyuman kecil terpatri pada bibirnya. Pria itu memang sengaja bertanya. "Nungguin mama saya,"
Hari berlalu dengan semestinya. Beberapa minggu yang lalu setelah dirawat selama enam hari di rumah sakit, kadar Hemoglobin wanita hamil itu kembali normal, bahkan sempurna. Adryan tidak perluh khawatir saat Helsa bersalin nanti. Usia kandungannya sudah memasuki bulan kesembilan, itu berarti hanya menunggu hari kelahirannya saja. Jujur, saat ini Adryan begitu khawatir saat Helsa harus ditinggal sendiri di rumah. Jika Adryan berada diluar rumah, maka Helsa akan meladeni telpon setiap dua puluh menit sekali. Menyebalkan sekali. "Mas, besok kan dengar kelulusan, kalau nilai Helsa bagus dikasih hadiah kan?" "Terus nanti lusa kan pengumuman kelulusan juga dari Toronto, berarti hadiahnya ada dua," tambah Helsa. "Emang mau hadiah apa, sayang?" Adryan melepaskan buku yang sejak tadi ia baca, sekarang atensinya beralih pada Helsa. "Kan ada dua hadiahnya, satunya Helsa yang tentuin, satunya lagi terserah mau kasih apa aja," jawab Helsa. "Kasih apa aja, serius?" Adryan memastikan. "Iya, a
Malam yang penuh dengan emosi dan air mata penyesalan yang tiada akhir. Satu botol alkohol diteguknya hingga tandas tanpa jeda. Masih terselip tangisan dalam racauannya. Sepulang dari rumah Helsa, Akmal meminta Reno menemaninya minum di rumah tantenya. Bukan hanya Reno, ada David dan Dimas juga disana. Sudah lima bulan Akmal tidak pulang ke rumahnya. "Akmal nangis dari rumahnya Helsa?" tanya David pada Reno, memandang kondisi temannya. "Begitu, lah." "Semua orang punya kesalahan, dan selalu dikasih kesempatan kedua, kenapa gue nggak dapat kesempatan itu?" racau Akmal. "Helsa terlalu jahat sama gue, dia siksa gue gini banget." Akmal tertawa, kembali meneguk alkohol yang ada ditangannya. "Dia nggak jahat, Al. Dia bebasin lo deket sama perempuan-perempuan itu tanpa harus ngerasa bersalah sama dia," timpal Dimas. Reno terkekeh, "emang Akmal pernah ngerasa bersalah sama Helsa pas tidur sama mereka?" "Ren, lo diam!" tunjuk Akmal. Matanya begitu sayu, memerah karena alkohol dan tangi
Malam itu IGD Mawar Medika tampak ramai karena adanya kecelakaan beruntun di dekat rumah sakit tersebut. Dua puluh menit waktu yang ditempuh mobil Adryan, dan sampailah mereka di Mawar Medika. Di loby IGD sudah ada dua perawat yang memang sedang menunggu mereka. Di perjalanan tadi, dokter hematologi itu sudah menghubungi beberapa rekannya yang sedang bertugas di IGD agar menyiapkan brangkar. Keluar dari mobil, Adryan langsung menggendong Helsa keluar dari sana dan membaringkan istrinya pada brangkar. Helsa didorong ke dalam IGD terlebih dahulu untuk memasang infus. Bukan tanpa sebab Helsa diinfus, Adryan takut terjadi pendarahan secara tiba-tiba saat di ruang bersalin. Kondisi kadar hemoglobinnya memang sudah stabil, namun Adryan masih saja khawatir. Pria itu sendiri yang memasang infus pada tangan kiri istrinya. Sweet banget kan readers ... Helsa mati-matian menahan tangisnya. Beberapa saat kemudian, Renata tiba bersamaan dengan dokter Sofia. "Mama," spontan Helsa menangis ketik
"Akmal Devandra Van Brawijaya," sebut Adryan. "Azlan Devandra Van Brawijaya." Adryan dan Helsa memandang ke arah pintu masuk ruang persalinan. Renata masuk, bersamaan dengan Adryan menyebut nama bayi tersebut. "Dulu, sebelum Mama dan Papa punya Helsa, Mama pernah hamil," ungkap Renata. Digendongnya bayi itu dari pelukan Adryan, lalu menciumnya dengan lembut. "Kandungan Mama lemah, dan Mama keguguran saat usia kandungan memasuki enam bulan," jelas Renata. "Kakak kamu berjenis kelamin laki-laki, Mama udah siap namanya, Azlan. Dan sekarang Mama mau nama itu untuk cucu pertama Mama," tutur Renata. "Jadi Helsa punya kakak? Kenapa Mama sama Papa nggak pernah cerita?" tanya Helsa. "Nggak usah dibahas, lain kali aja gimana? Kamu istirahat, sayang," tambah Renata. "Azlan Devandra Van Brawijaya, Papa pasti senang sekarang," seru Renata. "Adryan nggak masalah, kan?" tanya Renata. Pria itu membalas dengan anggukan yang diselingi senyuman begitu tulus. Adryan
Senja kini berganti malam. Adryan memasuki rumah dengan pakaian futsal, dan lebih parahnya dalam kondisi mabuk. Entah ada apa dengan pria itu, yang pastinya sore tadi ia keluar untuk bermain futsal.Helsa yang memang sedang duduk pada kursi pantry meneliti cara berjalan suaminya yang sedikit sempoyongan. Terakhir Adryan menyentuh minuman haram tersebut saat mereka di Bali. Ada yang masih ingat kan tragedi Helsa ninggalin dia?"Minta izinnya main futsal, kenapa pulangnya mabuk?" sindir Helsa.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Helsa baru saja meniduri Devan, dan baru sempat menikmati makan malamnya. Ia sendiri tahu bahwa suaminya akan makan bersama teman-temannya di luar setelah selesai bermain futsal.Adryan mencari keberadaan suara lembut itu, namun langsung terjatuh pada sofa di ruang tengah."Nggak Devan, Mas Adryan juga sama aja," cetusnya tak suka. Ia segera merapikan meja, meletakkan piring dan gelas pada wastafel dapur.Helsa menghampiri suaminya yang tertidur di sana,
Selepas kegiatan intim malam bersama istrinya, Adryan terbangun dari tidur. Sayup-sayup terlihat telapak tangan mungil yang sedang meraba wajah kantuknya. Hari masih terlalu pagi untuk bangun di hari libur, namun pergerakan kecil itu seperti ingin mengajaknya bermain.Di sisi kiri ternyata Helsa menghalanginya dengan bantal guling agar Devan tidak terjatuh ke lantai. Sepertinya wanita itu sedang di dapur, menyiapkan sarapan.Oh my god, jangan lupakan bahwa pria itu masih dalam keadaan naked."Good morning, my little bad boy," ucap Adryan sembari mencium gemas pipi gembul itu. Masih di dalam selimut, ia membawa Devan dalam pelukannya.Suara tawaan Devan begitu melengking ketika Adryan menggelitiknya. Gusi tanpa gigi itu terlihat sangat menggemaskan saat tertawa. Jangan lupakan bahwa bayi berusia tiga bulan itu memiliki lesung pipit."Mas Adryan!" Helsa menegurnya, ia tahu jika Devan sudah tertawa seperti itu, maka tidak lain adalah kelakuan suaminya.Terkadang Helsa merasa kesal pada A
Rumah besar bagaikan istana itu terasa sepi. Tidak ada suara tawa dan tangisnya Devan, tidak juga terdengar suara Helsa. Semuanya hilang. Adryan merebahkan tubuh lelahnya diatas ranjang king size, menatap langit kamar yang terasa kosong dengan perasaan bersalah. Sudah tiga malam ia tidur sendiri tanpa Helsa bersamanya, tanpa Devan juga.Wanitanya meninggalkan rumah semenjak kejadian itu. Helsa pergi membawa Devan ke rumah Bunda dan Ayah. Wanita itu mengadu dengan tangisan pada mertuanya. Menceritakan Adryan yang begitu kasar padanya sore hingga malam itu. Malam itu juga Bunda menghubunginya, memarahi Adryan habis-habisan. Bukan hanya Bunda, Ayah dan Jefry turut menceramahinya. Ya, dokter itu mengaku dia salah. Cemburunya berlebihan, Helsa bahkan tidak mau membawa ponselnya agar tidak diusik suaminya. "Jangan lama-lama marahnya, sayang," lirihnya. Lama berpikir, pria yang masih mengenakan kemeja kerjanya bertekad untuk membawa pulang anak dan istrinya malam ini juga. Adryan k