Ayas berusaha melepaskan genggaman tangan Tira. Namun tenaganya kalah kuat. Sebab, Tira menautkan jemari mereka. Sehingga tanpa perlu mengeluarkan tenaga yang cukup besar pun genggaman itu tidak mudah terlepas.
Tira membawa Ayas ke sebuah ruangan yang biasa ia gunakan sebagai ruang kerja.
“Mana anakku?” tanya Ayas saat mereka sudah berada di ruangan itu. Tira bahkan mengunci pintunya agar Ayas tidak dapat kabur.
“Duduk dulu, jangan langsung marah begitu,” ucap Tira, santai. Kemudian ia duduk di sofa sambil mengambil sebuah remote.
“Apa kamu sengaja ingin mempermainkan aku?” tanya Ayas.
Ia sudah tidak menghormati Tira lagi. Sehingga Ayas enggan memanggilnya dengan sebutan Tuan.
“Apa aku tidak salah dengar? Bukankah selama ini kamu yang mempermainkan aku?” tanya balik Tira. Memang selama ini dirinyalah yang merasa dipermainkan oleh Ayas.
&nb
“TIRA!” bentak Ayas.Tira ternganga mendengar Ayas berani menyebut namanya secara langsung. Namun ia justru senang akan hal itu.“Apa? Coba diulang!” tanya Tira sambil menunduk ke arah Ayas. Ia mengurungkan niatnya. Sebenarnya tadi ia hanya ingin bercanda.Ayas menggelengkan kepala. Ia sadar bahwa barusan dirinya kelepasan karena terlalu terkejut.“Aku gak akan marah. Justru aku senang jika kamu memanggil namaku secara langsung. Mulai sekarang, aku mau kamu manggil namaku, ya?” pinta Tira. Kemudian ia mengusap kepala Ayas.Ayas mengerutkan keningnya. Ia heran mengapa Tira tidak marah padanya.‘Ni orang aneh banget, sih?’ batin Ayas.Tira berjalan memungut kaos yang tadi sempat iya lempar. Kemudian menggunakannya. Sebab ia tidak nyaman jika terus bertelanjang dada.Setela
“Tentu. Memangnya kamu pikir aku kurang kerjaan sampai mengedit foto Vano?” Tira balik bertanya.‘Ya ampun, mirip sekali,’ batin Ayas. Ia mengakui kemiripan mereka.Sebenaranya apa yang Ayas ucapkan pada Tira hanya untuk mengetest seberapa yakin pria itu bahwa Vano adalah anaknya. Padahal hal itu tidak perlu ditanyakan lagi. Jangankan dengan Tira kecil, sekarang saja mereka masih terlihat mirip.“Aku harap kamu tidak mencari alasan untuk memisahkanku dengan Vano. Satu lagi, tolong jangan pernah melarikan diri dari aku. Aku sudah bersumpah tidak akan menyakiti kalian lagi. Semoga kamu mengerti bagaimana perasaanku,” pinta Tira.Ayas mengembalikan kembali ponsel Tira pada pemiliknya. Kemudian ia beranjak.“Kamu mau ke mana?” tanya Tira saat melihat Ayas berdiri.“Mau ajak Vano pulang,” sahut Ayas. Ia m
Ayas pun langsung terbelalak. Ia tahu betul Tira sengaja melakukan hal itu agar Yoga mendengar ucapannya.“Itu suara siapa, Vi?” tanya Yoga.Belum sempat Ayas menjawab, Yoga sudah mendengar suara Vano. “Mau dong, Pi. Aku mau jajan yang banyak. Boleh gak, Papi?” tanya Vano pada papinya.Hati Yoga bagai diiris. Ia tidak menyangka ternyata Ayas telah membohonginya. Ia merasa jadi pria yang sangat bodoh.“Oh, harusnya kamu bilang kalau meman sudah ada yang jemput, Vi. Jadi aku gak kayak orang bodoh maksa kamu begini. Ya udah, have fun, ya!” ucap Yoga. Kemudian ia memutuskan sambungan teleponnya.Yoga sangat kecewa pada Ayas. Ia yang selama ini selalu melindunginya karena Ayas terlihat begitu takut pada Tira. Namun ternyata kini Ayas rela berbohong hanya demi bertemu dengan Tira.Ditambah lagi obrolan Tira dan Vano tadi cukup ak
“Maaf,Mas.Aku takut kamu marah kalau aku ngomong yang sebenarnya,”kilah Ayas.Yoga menelan saliva.Ia tak menyangka,ternyata tuduhannyabenar.Yoga pun semakin kecewa dibuatnya.“Kenapa aku harus marah?Lebih baik kamu jujur daripada bohong seperti itu,” jawab Yoga.Ia tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya.“Iya,aku minta maaf,” lirih Ayas. Ia bingung hendak mengatakan apa lagi.“Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?Bukankah selama ini kamu itumenghindarinya?Bahkan kemarin pun kamu dikejar-kejar oleh anakbuahnya,” tanya Yoga.Ia tidak habis pikir mengapa Ayas bisa berubah pikiran secara drastis. Padahal selama ini ia seolah takut pada Tira.“Karenaternyata dia baik,Mas.Tidak seperti yang aku pikirkan.
‘Hah? Ngapain dia ke sini?’ batin Ayas. Ia tidak nyaman jika Tira dan Yoga berhadapan. Terlebih saat ini Yoga sudah mengetahui semuanya. Pasti suasananya akan canggung.“Surprize,” ucap Vano dengan gembira sambil memeluk maminya.Ayas pun tersenyum kikuk. Ia memang sangat terkejut karena ulah anaknya itu.“Vano kok ke sini?” tanya Ayas.“Aku kan mau makan siang bareng Mami. Emang gak boleh?” sahut Vano, manja.“Bukan begitu, Sayang. Mami kan lagi kerja. Nanti kan kita bisa makan siang di rumah. Lagian Vano harusnya istirahat,” nasihat Ayas.“Oh, jadi Mami gak suka aku datang ke sini? Gitu?” tuduh Vano.“Enggak, bukan begitu. Ya udah kalau kamu mau makan. Sini duduk di sebelah mami!” ajak Ayas.“Oke,” sahut Vano sambil terse
Sisca tercengang setelah mendengar ucapan anaknya. Ia tidak habis pikir mengapa Tira sampai sebegitunya pada Ayas.“Tir, kamu itu calon pemimpin kerajaan bisnis papahmu. Masa iya punya anak dari wanita gak jelas kayak gitu? Mau taruh di mana muka keluarga kita?” keluh Sisca.“Ya kalau memang ammah merasa malu. Aku tidak keberatan jika Mamah tidak mau menganggapku sebagai anak lagi,” jawab Tira, santai.“TIRA!” bentak Sisca. Ia naik darah karena sejak tadi Tira terus menantangnya.“Kenapa, Mah? Mamah ini seorang ibu, kan? Sebagai orang tua, harusnya Mamah mengerti bagaimana perasaanku terhadap anakku, Mah. Mana mungkin aku menelantarkannya begitu saja?” jelas Tira.Ia kesal karena mamahnya hanya memeikirkan dirinya saja. Padahal ada makhluk kecil tak berdosa yang jauh lebih harus diperhatikan. Sebab ia adalah calon penerus keluarga m
Ayas tidak menjawab pertanyaan Tira. Sebab ia masih tak dapat menghentikan tangisannya. Pertanyaan Tira itu justru membuat Ayas semakin bersedih.Ini kali pertama Tira melihat Ayas menangis. Selama ini Ayas selalu berusaha kuat di hadapan Tira. Ia tidak ingin terlihat lemah. Sehingga Tira merasa tak tega melihat Ayas seperti itu.“Aku minta maaf jika ucapan Vano tadi menyakiti hatimu. Tapi aku sama sekali tidak bermaksud membuatnya seperti itu,” ucap Tira. Ia tahu apa yang membuat Ayas bersedih.Tira pun merasa bersalah karena seolah telah menyebabkan Vano tidak menghargainya. Padahal selama ini dirinya bersusah payah membiayai hidup mereka sendirian.Ayas mengusap air matanya. “Kamu gak perlu minta maaf. Memang aku yang salah. Aku yang tidak bisa memberinya kehidupan yang layak sehingga dia tidak nyaman hidup denganku,” ucap Ayas.Saat ini ia sudah tidak
Sisca terbelalak mendengar ucapan Ayas. Ia tak menyangka Ayas berani mengusirnya begitu saja. “Kamu!” ucapnya sambil memelototi Ayas. Tira pun terkesiap melihat mamahnya dan Helen ada di sana. “Ngapain kalian di sana?” tanya Tira dengan sedikit membentak. Ia tidak menyangka mamahnya akan secepat itu datang ke rumah Ayas. Tira emosi karena ia sudah susah payah merayu Ayas, tetapi mamahnya malah merusaknya begitu saja. “Harusnya mamah yang tanya sama kamu. Ngapain kamu berhubungan sama wanita seperti dia? Apa kamu lupa bahwa kamu sudah memiliki tunangan?” tanya mamah Tira, kesal. “Ya aku ingat. Saat ini aku masih memiliki tunangan. Tapi, jika kalian tidak angkat kaki dari rumah Ayas saat ini juga, aku akan segera mengumumkan pembatalan pertunangan itu!” ancam Tira. Sisca dan Helen pun terkesiap. Padahal apa pun yang mereka lak