Mas Faris membawaku ke tempat tato yang ada di daerah Blok M. Menemui tatto artist yang bisa membantuku menghapus tato dengan metode Laser tattoo removal. Aku pernah mendengar kalau ini adalah metode prosedur untuk menghilangkan tato permanen dengan laser. Sinar laser bertenaga tinggi akan menembus lapisan kulit dan menghancurkan partikel tinta pewarna tato di dalam sel-sel kulit secara permanen. "Nggak usah takut, artist-nya perempuan. Nanti gue minta ruang khusus biar nggak ada orang laen."Aku mengangguk. Kemudian merapatkan genggaman tangan saat Mas Fariz menuntunku masuk ke dalam. Melewati orang-orang yang tengah diukir tubuhnya. Beberapa dari mereka bahkan terang-terang memerhatikan. Mungkin heran melihat perempuan dengan jilbab menutup dada bisa-bisanya masuk ke tempat seperti ini."Mata lu ke mana?" Aku kaget sendiri saat Mas Fariz tiba-tiba menoyor salah seorang lelaki bertubuh kurus yang tengah menunggu antrian. "Mau dicolok?" "Lu lagi, turunin nggak tuh hape, atau mau gu
"Masih sakit?" Di tengah perjalanan pulang Mas Fariz bertanya tentang keadaanku setelah melakukan prosedur laser tadi.Aku menggeleng pelan, sembari meraba perban yang Wini rekatkan di bekas laseran."Nggak, kok. Cuma masih ada rasa perihnya sedikit.""Nanti kalau mau ganti perban atau olesin salep antibiotik, bilang, ya! Lu nggak mungkin, kan minta tolong mama atau Bi Surti," ingat Mas Fariz, seolah mewanti-wanti.Aku mengangguk pelan sebagai tanggapan."Masih inget apa aja yang dibilang Si Wini, selama seminggu setelah sesi pertama?" Dia bertanya lagi. Sepanjang perjalanan tatapan Mas Faris terus berganti dari jalanan di depan, lalu ke arahku."Masih. Katanya harus jaga area kulit tetep bersih dan kering biar nggak terjadi infeksi, hindari pakaian ketat, terus jangan kopekin bekasnya kalau udah kering. Dan yang terakhir untuk sementara hindari kontak fisik dengan suam--"Tubuhku sontak terhuyung ke depan saat dia tiba-tiba menginjak pedal rem tanpa aba-aba.Antara kaget, dan geli, a
"Temen lu masih lama?" Mas Fariz mondar-mandir di depan mobil. Sesekali dia melirik jam yang melingkar bersama dengan gelang kayu yang tak pernah lepas dari tangannya.Sudah sepuluh menit kami menunggu Lola di depan mini market pinggir jalan. Namun, ibu anak satu itu masih tak kunjung datang. Apalagi Mas Fariz tak mau pergi sebelum sahabat dekatku itu datang. Katanya dia khawatir meninggalkanku sendiri, padahal ini jalanan yang ramai, dekat pusat perbelanjaan juga. Tapi, dia masih juga ngotot kalau Jakarta itu berbahaya di mana pun tempatnya."Ah, itu dia!" Tak lama sebuah mobil Sedan merah berhenti di samping mobil kami. Lola keluar dengan heboh seperti biasanya."Sorry, sorry, sorry banget, Bestie!" Dia menggenggam tanganku. "Tadi Bapaknya Si Arka nggak mau ditinggal."Aku mengernyitkan dahi."Bapaknya?""Elah, kamu kek nggak tahu aja Betrand gimana."Aku meringis kecil."Kalau gitu gue pergi dulu, ya, Ci!" Mas Fariz tiba-tiba menginterupsi."Oh, iya, Mas. Hati-hati." Dia mengangguk
Kami sampai di rumah tepat saat Adzan Maghrib berkumandang. Mas Fariz memasukan motor yang ternyata milik Tebe itu ke garasi, sebelum merangkulku masuk ke dalam."Om Faiiiz!" Baru saja menginjakkan kaki ke dalam, suara bocah laki-laki berumur tiga tahunan menginterupsi kami.Dia menerjang tubuh Mas Fariz dan mengulurkan kedua tangan minta digendong."Heh, siapa yang bawa, nih tuyul ke mari?" Mas Fariz tampak mengedarkan pandangan menyisir sekitar."Ali yang bawa Hafiz, tapi habis itu dia langsung pamit pulang lagi," sahut Mama sembari berjalan menghampiri kami. "Dia kangen kamu katanya.""Uluh, uluh ... siapa yang kangen Om?Siapa anak tuyul?" Tanpa sadar senyumku tersungging saat melihat kedekatan Mas Fariz dan keponakannya. Ternyata bukan tanpa alasan dia mengharap segera hadirnya momongan. Mengingat lelaki ini bisa dibilang cukup menyukai anak-anak. Buktinya Hafiz datang jauh-jauh, karena merindukan sosoknya."Mau nginep atau dijemput lagi?" tanya Mas Fariz pada Hafiz, sembari men
"Kalian nggak polosan, kan? Pake baju, kan? Mama tutup mata Hafiz nih. Buruan!" Suara Mama masih terdengar."Aaargh!" Mas Fariz mengerang frustrasi. Dia bangkit meski enggan, lalu berjalan menuju pintu.Sementara aku hanya bisa duduk membeku, sembari mengaitkan kembali satu kancing piama yang sempat terbuka."Apa, sih, Ma?!" sentaknya sembari membuka pintu."Kan, kan, uring-uringan. Ya, maaf kalau kita ganggu. Habis nih bocah ngerengek mulu pengen ketemu kamu.""Om Faiiiz." Suara Hafiz terdengar. Lirih dan dalam, seperti menahan tangis.Mas Fariz menghela napas panjang. Dia menyisir rambutnya sejenak."Ya udah. Sini masuk!" Diulurkannya tangan yang langsung Hafiz genggam. Melihat wajah polos bocah berumur tiga setengah tahun itu Mas Fariz langsung melunak. Dia membawa Hafiz menghampiriku."Maaf ganggu, ya, Ci. Cuma hari ini aja, kok. Besok dia pulang." Mama melongokkan kepala di antara celah pintu. Tersenyum sungkan."Iya, nggak apa-apa, kok, Ma!" Aku membalas senyumnya. Perlahan Mama
Kami tiba di Tangerang Selatan, tepatnya salah satu perumahan yang sudah ditinggali Mas Ali dan Farah sejak lima tahun lalu. Mobil yang Mas Fariz kendarai berhenti di depan halaman rumah tingkat dua dengan gerbang setinggi tiga meter.Seorang asisten rumah tangga membantu menbukakan gerbang. Sementara Farah muncul dari balik pintu, tampak kepayahan dengan perutnya yang sudah membesar."Umiii ...!" Hafiz yang baru saja turun langsung berlari menerjang tubuh Farah. Aku mengekor di belakang, sementara Mas Fariz membantu asisten rumah tangga Farah menurunkan barang bawaan. "Maaf ngerepotin, ya, Mbak. Nggak tahu ada angin apa dia tiba-tiba pengen nginep sama Omnya. Mas Ali bahkan sampe kewalahan nanganinnya." Farah menggenggam tanganku, kentara sekali dia sungkan dan tak enak, karena Hafiz."Nggak apa-apa, santai aja, Far. Kayak ke siapa aja." Aku tersenyum lebar, meski terkesan dipaksakan. Entah kenapa masih ada yang berontak dalam diri saat mengetahui fakta bahwa lima tahun kulewati den
"Ada apa, nih ribut-ribut?" Mas Fariz tiba-tiba datang.Entah kenapa aku bersyukur kehadirannya seketika meleyapkan atmosfir suram yang sempat tercipta di antara kita bertiga."Nggak ada," ucap Mas Ali sembari menatapnya datar. "Ngomong-ngomong makasih udah anterin Hafiz dan bantu bawa barang-barangnya. Kalau dirasa sibuk, kalian bisa pergi lagi!" tambahnya kemudian."Lu ngusir kita?" Mas Faris mulai ngegas."Saya nggak bermaksud kayak gitu. Mungkin Mas Fariznya aja yang ngerasa," balas Mas Ali masih dengan nada yang sama datarnya. Hal itu jelas membuat Mas Fariz semakin terpancing."Kelakuan lu makin lama, makin menggemaskan kepalan tangan aja, ya, Li." Dia mulai meradang. "Mau yang sebelah mana? Kanan atau kiri?" Mas Fariz mulai mengepalkan tangannya."Nggak dua-duanya.""Anj--""Mas!""Fariz!"Suara kami serempak memanggil orang yang sama. Namun, semuanya kalah dengan suara Papa yang jauh lebih lantang dan menggema.Pria patuh baya yang terlihat sangat berwibawa dengan tubuh tinggi
Mas Fariz melengos, menghampiri sekumpulan orang yang sejak tadi hening memerhatikan. Dia salami orangtua Mas Ali, lalu adik laki-lakinya yang kuketahui dulu baru masuk SMP, sepertinya sekarang Thoriq--adik laki-lakinya Mas Ali itu sudah menginjak akhir sekolah menengah. Waktu memang berlalu begitu cepat. Memang banyak yang terjadi lima tahun terakhir ini. Bahkan yang sebelumnya dekat, bisa tersekat. Sebelumnya akrab, bisa jadi pura-pura tak saling kenal. Kadang hidup memang selucu itu.Aku mengikuti di belakang. Sembari membatin mengagumi attitude Mas Fariz yang tak perlu diragukan. Bagaimana pun hubungannya dan Mas Ali, dia masih bisa begitu sopan pada orangtuanya."Bu!" Aku mencium tangan Hj. Risma. Wanita paruh baya berjilbab lebar yang hampir menjadi mentuaku itu hanya tersenyum tipis, nyaris meringis."Ci!" Hanya itu kata yang keluar. Mungkin bingung harus menyapaku bagaimana. Mengingat apa yang pernah terjadi di antara aku dan anaknya.Mereka bertingkah persis seperti Mas Ali,