Share

Bab 6

Astaghfirullah. Ibu benar-benar bikin malu saja. Dia masih berdebat dengan pegawaiku tentang pesanan itu. Padahal tinggal bilang di awal jika dia mau aku mengirimkan makanan ke rumah. Pasti akan aku lakukan. Biasanya juga seperti itu. Atau jika Ibu butuh uang, maka dia akan pergi saat sore hari. Makanya dia tidak pernah bertemu dengan pegawaiku yang hanya mengambil shift malam.

Gegas kumatikan kompor. Melepas sarung tangan plastik. Agar bisa melerai perdebatan mereka. Para pembeli pasti tidak nyaman melihat adegan ini. Ibu selalu berteriak jika marah. Dia mulai mendorong pegawaiku yang bernama Lila hingga hampir terjatuh. Untung saja aku dengan sigap menahannya.

“Cukup Bu. Jangan bikin malu di warungku. Kenapa tadi tidak minta aku antarkan makanan ke rumah?” tanyaku sudah berdiri di depannya. Wajah Ibu masih merah padam.

“Ini semua juga gara-gara kamu yang tidak menyiapkan makanan apapun untuk kami. Seharusnya sebagai istri kamu tetap ingat dengan kewajiban menyediakan makanan untuk suami yang baru saja pulang bekerja. Jangan mentang-mentang sekarang sudah punya usaha yang penghasilannya lebih tinggi dari gaji suamimu malah lupa dengan kewajiban sebagai istri,” ujar Ibu yang mulai menebarkan fitnah.

Bisik-bisik para pembeli, pedagang lain hingga orang lewat yang sengaja berhenti semakin terdengar kencang. Ibu tersenyum puas karena berhasil menghasut semua orang yang ada disini. Selama ini aku selalu diam saat Ibu menjelek-jelekkan di depan para tetangga. Membuat citraku jadi buruk. Aku tidak ambil pusing karena jarang menghabiskan waktu di rumah. Bagiku asal bisa menjauh dari para tetangga yang toxic sudah cukup untukku.

Kini beliau menebar fitnah di warung yang sudah aku dirikan selama empat tahun ini? Jatuh bangunku dalam membuka usaha sambil tetap menjadi Ibu rumah tangga. Mengasuh si kembar sekaligus membersihkan rumah, memasak, mencuci piring dan pakaian, menjemur. Semua sudah aku lakukan. Tidak akan kubiarkan Ibu merusak usahaku. Entah apa motifnya melakukan hal itu.

“Aku sengaja nggak mau masak makanan karena uangku sudah habis untuk bayar sewa ruko Bu. Belum lagi membayar cicilan rumah dan mobil yang di pakai Mas Aksa. Bulan depan masih ketambahan mencicil motor anak perempuan Ibu. Kurang baik apa aku sebagai menantu?” sangkalku tenang. Bisikan orang-orang seketika berhenti.

Ibu membelalakan matanya kaget. Karena baru kali ini aku berani membantahnya di depan umum. Biasanya aku akan memilih diam atau hanya sekedar berlalu melewati Ibu yang tengah bergunjing tentangku di depan para tetangga. Dia pasti tidak menyangka jika aku berani melawan. Ibu salah tempat karena sudah meremehkanku. Disini adalah wilayah yang harus kujaga demi tetap bisa mengais nafkah untuk anak-anak.

“Pekerjaan rumah juga tetap kulakukan. Aku yang setiap hari menyapu, mencuci piring, memasukan baju ke dalam mesin cuci dan pengering. Menjemur pakaian. Masih memasak untuk bekal kami di warung. Selalu aku sediakan banyak untuk suamiku, Ibu dan kedua adik iparku jika makanan di rumah kalian masih kurang. Jika aku pulang dari warung jam sembilan malam masih membereskan kekacauan rumah dengan mencuci bekas makan suamiku. Belum lagi masih harus mengurus si kembar. Ibu salah kalau mengatakan aku tidak tahu diri. Padahal tadi aku hanya bertanya kenapa Ibu tidak memintaku mengantar makanan ke rumah untuk mengganjal perut kalian. Malah melantur kemana-mana,” penjelaskanku sudah cukup membuat orang-orang mengerti. Banyak orang yang hendak pergi dari depan warungku.

Dengan cepat aku memanggil mereka yang langsung menolehkan kepala padaku. “Kalau ada yang merekam tolong di hapus ya. Jangan sampai satu Indonesia tahu tentang pertengkaran saya dengan mertua. Saya nggak mau aib keluarga jadi konsumsi publik.”

Semua orang kompak setuju. Aku juga bicara hal yang sama dengan para pedagang. Meminta maaf pada para pembeli yang sudah mengantri di kursi belakang. Menyerahkan pelayanan pada Lia. Lalu berjalan lagi menghampiri Ibu. Sudah ada pegawaiku yang akan melayani mereka.

“Lebih baik Ibu pulang sekarang. Kasihan Mas Aksa dan kedua anak perempuan Ibu sudah menunggu. Mereka pasti belum makan. Atau Ibu mau makan di warung saja. Berbagi bekal dengan Mawar dan Melati?” tanyaku yang membuat Ibu semakin mendelikan matanya marah.

“Nggak perlu. Aksa masih punya uang untuk beli nasi bungkus di luar,” jawabnya lalu melenggang pergi dengan membawa lima bungkus burger king size. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Tidak heran dengan kelakuan mertuaku itu yang selalu ingin menang sendiri.

Tidak masalah. Toh sebentar lagi aku akan terlepas dari keluarga mereka yang toxic. Semua bukti sudah berhasil aku kumpulkan selama tiga tahun ini. Lewat rekaman kamera CCTV yang sudah tersimpan rapi di hardisk. Tinggal menunggu saat yang tepat untuk menggugat cerai Mas Aksa. Sekaligus menyiapkan diri untuk menjelaskan pada anak-anak tentang perpisahan orang tua mereka.

***

Tepat jam sembilan malam kami hendak pulang dari warung. Si kembar sudah memakai jaket mereka. Lengkap dengan masker dan helm. Aku berjongkok di hadapan mereka untuk memberi pengertian tentang kamar yang akan kami tempati. Menggenggam tangan mereka yang juga sudah memakai sarung tangan kecil yang akan menghangatkan tubuh.

“Kalian sudah tahu kalau mulai hari ini Uti dan Tante-tante akan tinggal bersama kitakan sayang?" Dengan berat hati aku bertanya hal seperti ini pada mereka. Pasalnya anak-anakku tidak pernah bisa dekat dengan keluarga Mas Aksa.

Awalnya aku tidak tahu kenapa Mas Aksa berubah setelah kami melakukan usg di usia kehamilanku yang menginjak tujuh bulan. Menunjukkan bahwa dua janin yang saat itu tengah kukandung adalah perempuan. Hingga akhirnya aku tahu jika Ibu menginginkan anak pertama kami adalah laki-laki agar bisa menjaga keluarga. Membuat Mas Aksa ikut terpengaruh dengan ucapan Ibunya.

“Iya Bu. Tadi kami dengar dari tetangga yang jajan kesini?” jawab Melati jujur. Mereka memang tidak bertanya padaku seharian ini. Anak-anak sudah terbiasa melihatku sibuk. Jadi, mereka baru akan bertanya banyak hal saat kami sudah di rumah.

“Iya sayang. Karena itulah mulai malam ini Mawar dan Melati akan tidur bersama Ibu. Mulai besok setelah pulang sekolah kita akan langsung pergi ke warung.”

“Kenapa Bu?” tanya Mawar bingung.

“Ibu tidak ingin kalian mendengar ucapan menyakutkan dari Uti dan Tante-tante. Untuk masalah makan akan Ibu masak di warung saja. Oke?”

“Siap Bu.” Jawab si kembar kompak.

Kali ini Melati yang duduk di depan. Sedangkan Mawar duduk di belakang. Angin malam menerjang tubuh kami. Aku tahu hal ini tidak baik untuk anak-anak. Walaupun aku terbiasa membawa mereka sejak balita karena tidak ada yang menjaga di rumah. Tetap saja aku merasa khawatir. Namun, tidak ada pilihan lain yang bisa kuambil. Aku harus bekerja untuk menyambung hidup.

Sesampainya di rumah lampu ruang tamu sudah mati. Aku mengajak anak-anak pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki mereka. Melewati Mas Aksa yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Dia menatapku nyalang saat kami lewat. Aku menatapnya berani. Pasti Ibu sudah melapor tentang kejadian di warung tadi. Dengan sedikit memutar balikan fakta sehingga membuat aku yang bersalah. Kami berjalan lagi melewatinya menuju kamar. Tatapan menusuk itu tidak kunjung berhenti bersarang di punggungku. Rupanya Mas Aksa mau menuruti perintahku untuk menata semua barang anak-anak di kamar kami. Termasuk dengan kasur ukuran sedang untuk tempat tidur mereka berdua.

“Kalian langsung tidur di kasur bawah ya sayang. Semuanya sudah di rapikan sama Ayah.”

“Iya Bu.” Lagi-lagi si kembar menjawab dengan kompak. Mereka benar-benar anak yang penurut.

Aku lalu keluar kamar. Berjalan menuju dapur untuk mencuci piring kotor yang menumpuk. Bekas makan Mas Aksa dan keluarganya yang kini terlelap tidur di kamar mereka. Tiba-tiba saja Mas Aksa sudah mencekal tanganku. Amarahnya siap di muntahkan saat ini juga. Dengan mata yang mendelik semakin tajam.

“Kenapa tadi kamu mempermalukan Ibu di warung Nia? Pakai menyuruh Ibu untuk membayar makanan di warung menantunya sendiri,” hardik Mas Aksa sambil mencengkram tanganku erat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status