“Apa kamu melihat HP-ku yang tertinggal Nia?” tanya Mas Aksa panik.Aku tetap mempertahankan ekpresi datar agar dia tidak curiga. Kugelengkan kepala acuh lalu menoleh pada Hanin. “Kamu lihat HP lain di dapur tadi Nin?”“Nggak Mbak. Orang aku hanya ambil minum saja di kulkas,” jawab Hanin sambil memainkan HP-nya. Sama sekali tidak melihat Mas Aksa.“Mungkin tertinggal di dapur Mas. Sebentar aku tanyakan pada pegawaiku kalau ada yang melihat.”Kakiku melangkah menuju tangga. Turun bersama Mas Aksa yang mengikuti di belakangku. Diam-diam aku menghela nafas lega karena Mas Aksa ternyata tidak melihat pegawai Hanin yang membawa brankasku pergi. Sudah ada Tika yang sedang makan di dapur.“Kamu lihat HP warna merah di meja atau kursi Tik?”Tika menganggukan kepalanya.”Aku lihat mbak. Aku kira itu HP-nya Mbak Nia atau Mbak Hanin. Jadi, aku taruh di gerobak biar bisa kalian ambil.”“Bukan. Itu HP suamiku. Terima kasih ya.”Kami berjalan lagi menuju gerobak yang tengah di jaga oleh dua pegawaik
Lampu yang sudah menyala membuatku bisa melihat sosok Varo yang berdiri di depanku dengan senyum yang mengerikan. Matanya terbelalak kaget ketika melihat keberadaan Hanin yang datang bersama kami. Wajahnya sedikit ketakutan. Dengan cepat ekpresi wajah Varo sudah berubah. Seolah dia bisa menguasai keadaan dengan cepat.“Maaf Nia. Aku tidak sengaja. Kukira kamu Rosi yang tadi pergi keluar. Aku ingin memberi kejutan padanya.”“Memang kamu tidak bisa melihat dari jendela siapa yang datang? Jangan asal peluk orang seperti itu dong,” seru Hanin kesal menarik tanganku ke sisinya.Tubuhku masih mematung dengan dada berdegup kencang. Tidak percaya dengan perkataan Varo barusan. Seperti yang di katakan Hanin, dia bisa melihat kedatangan kami dari luar jendela. Kenapa juga langsung memeluk orang. Apa mungkin Varo memiliki maksud lain?“Maaf. Aku akan menunggu di kamar Rosi saja,” kata Varo pelan. Belum sempat aku bicara dia sudah berlalu dari hadapanku.“Aneh banget. Kenapa dia harus masuk ke da
Walaupun aku sudah berusaha melepaskan cekalan tangan Mas Aksa, aku tetap tidak bisa. Tenaga suamiku terlalu kuat. Kutatap wajahnya yang menatap penuh amarah padaku. Padahal dulu Mas Aksa tidak pernah berbuat senekat ini. Satu-satunya kekerasan yang dia lakukan padaku hanya tamparan itu. Lalu, Mas Aksa akan minta maaf karena takut aku laporkan ke polisi.“Lepas Mas. Kalau sampai tanganku terluka aku akan melaporkanmu ke polisi,” ancamku seperti biasa. Namun, Mas Aksa masih bergeming. Dia masih mencengkram tanganku sangat erat. Kutahan ringisan yang hendak keluar agar tidak terlihat lemah di depannya.“Laporkan saja. Varo bisa membereskan semuanya untukku. Sebagai teman sekolahnya dulu kamu pasti tahu bagaimana status keluarga Varo yang berkuasa.”Tentu saja aku tahu. Karena itulah dulu aku tidak berani melaporkan kejahatan yang Varo lakukan padaku. Bahkan aku juga tidak berani menceritakan hal itu pada Ibu dan Hanin. Memendamnya seorang diri. Hingga aku bisa melupakan kejadian itu ber
Astaghfirullah. Segera kuucap kalimat istighfar berulang kali. Teganya Ibu memfitnahku seperti itu. Segera kucari rekaman kamera CCTV di HP yang menunjukkan keadaan rumah kami saat aku membereskan semua kekacauan setelah pulang kerja. Lalu berjalan menghampiri mereka. Berdiam diri untuk sementara waktu guna mendengarkan apalagi fitnah yang akan di lontarkan Ibu untukku. “Kalau saya jadi Dania malah lebih parah Bu balasannya untuk keluarga suami. Orang Dania yang sudah membiayai kehidupan kalian selama ini,” bela tetanggaku yang seumuran. “Benar sih. Dania itu hebat banget bisa bertahan. Kalau saya sih terabas saja. Nggak peduli sama status janda. Daripada menghidupi keluarga suami yang seperti benalu,” balas tetangga yang lain. Aku masih berdiri diam di belakang mereka. Beberapa orang yang menyadari kehadiranku saling senggol dengan orang di sebelahnya. Tidak berani menatap wajahku yang masih diam sambil bersedekap tangan di dada. “Tetap saja apa yang di lakukan Dania salah. Lagia
Cklek“Apa yang kamu lakukan mas?” Teriakku kaget melihat kamar yang sudah seperti kapal pecah.Baju sudah berhamburan di atas tempat tidur. Bahkan di lantai. Make up yang seharusnya tertata rapi di atas meja rias sudah berantakan. Sementara suamiku, Mas Aksa masih sibuk mengobrak-abrik lemari. Seperti kesetanan saja.“Dimana kamu menyimpan uang tabunganmu itu Nia?” Mas Aksa justru balik bertanya padaku. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Seolah dia sedang mencari hartanya yang sudah di curi. Padahal tabungan yang ia maksud berasal dari pendapatanku mengelola warung.“Kenapa kamu pakai menanyakan uang tabungan yang kusimpan di lemari? Tidak seperti biasanya saja,” jawabku kesal karena harus merapikan baju yang di keluarkan olehnya. Menumpuk semua baju itu di atas tempat tidur lebih dulu sebelum di lipat kembali.“Untuk dp jasa tukang rias pengantin dan gedung untuk acara pernikahan adikku.”“Apa?” Gerakan tanganku seketika terhenti. Kutatap manik matanya yang serius. Untuk yang ke sek
“Jangan Bu. Ada kamera CCTV di rumah ini,” ucap Mas Aksa yang membuat Ibu menghentikan gerakan tangannya. Tidak jadi menamparku membuatnya mendesah kesal.Aku membuka mata sembari menatap mereka datar. Rupanya Mas Aksa bisa membaca rencanaku. Aku memang sudah berulang kali mengatakan jika ia atau keluarganya main tangan maka aku tidak akan segan untuk melaporkan ke polisi. Belum lagi dengan fakta jika aku yang sudah menjadi tulang punggung keluarga maka akan membuat posisi Mas Aksa semakin berat di mata hukum. Karena ia tidak pernah memberikan nafkah yang layak untukku.Dengan santai kakiku melangkah menuju sofa lalu duduk disana. Di ikuti dengan Mas Aksa dan Ibu yang sudah duduk di hadapanku. Rupanya mereka masih mau marah hanya karena aku menggunakan uang untuk kebutuhan pokok dalam menghidupi keluarga ini.“Apa kamu nggak punya tabungan lain Nia? Gimana sama penghasilan hari ini? Pasti cukup untuk bayar sebagian dp yang sudah kami janjikan pada MUA.” Ibu kembali mencecarku. Seharus
Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Kutekuk kedua kaki untuk tempat bersembunyi saat menangis. Ya Allah. Sudah dapat di pastikan jika Mas Aksa yang mengambil semua perhiasanku tadi. Saat dia mengacak-acak lemari karena mengira aku menyembunyikan uang tabungan di bawah baju. Dia melihat kotak perhiasan yang sudah aku beli sejak tahun lalu tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan Ibu mertua. Teganya dia melakukan ini padaku. Perhiasan emas yang ia serahkan sebagai mahar sudah aku jual sebagai tambahan modal untuk membuka warung. Seharusnya dia tahu jika semua perhiasan di dalam kotak itu adalah milikku karena bentuknya berbeda dengan perhiasan yang di berikan olehnya dulu.Nyatanya aku memang sudah teledor dalam hal ini. Dengan yakin menyimpan kotak perhiasan di bawah tumpukan baju. Merasa Mas Aksa atau ibu tidak akan pernah mengetahuinya karena Mas Aksa tidak pernah mau mengambil pakaian sendirinya. Padahal perhiasan yang aku simpan tergolong mahal. Jika di
Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.Diam saja sepert