Share

Bab 2

“Jangan Bu. Ada kamera CCTV di rumah ini,” ucap Mas Aksa yang membuat Ibu menghentikan gerakan tangannya. Tidak jadi menamparku membuatnya mendesah kesal.

Aku membuka mata sembari menatap mereka datar. Rupanya Mas Aksa bisa membaca rencanaku. Aku memang sudah berulang kali mengatakan jika ia atau keluarganya main tangan maka aku tidak akan segan untuk melaporkan ke polisi. Belum lagi dengan fakta jika aku yang sudah menjadi tulang punggung keluarga maka akan membuat posisi Mas Aksa semakin berat di mata hukum. Karena ia tidak pernah memberikan nafkah yang layak untukku.

Dengan santai kakiku melangkah menuju sofa lalu duduk disana. Di ikuti dengan Mas Aksa dan Ibu yang sudah duduk di hadapanku. Rupanya mereka masih mau marah hanya karena aku menggunakan uang untuk kebutuhan pokok dalam menghidupi keluarga ini.

“Apa kamu nggak punya tabungan lain Nia? Gimana sama penghasilan hari ini? Pasti cukup untuk bayar sebagian dp yang sudah kami janjikan pada MUA.” Ibu kembali mencecarku. Seharusnya dia melakukan hal ini pada anak lelakinya. Bukan padaku yang hanya sebatas menantu untuknya.

“Nggak ada Bu. Bahan makanan untuk jualan habis. Belum lagi aku juga harus beli beberapa merek minuman instan untuk persediaan toko yang belum terbeli dengan keuntungan hari ini. Sisanya aku belanjakan untuk kebutuhan rumah ini dan rumah Ibu. Termasuk bahan makanan kita untuk seminggu ke depan. Tuh masih ada di dapur. Belum aku tata. Satu lagi buat bayar kredit motor anak bungsu Ibu.” Tunjukku mengarah ke dapur. Wajah Ibu semakin masam mendengar penjelasanku.

“Bukannya kamu dapat keringanan membayar ruko hanya lima juta untuk setahun? Kata Aksa kemarin uang tabungan kamu ada tiga puluh juta.” Perkataan Ibu mertua membuatku memandang Mas Aksa tajam.

Padahal aku sudah berulang mengatakan padanya untuk tidak mengatakan jumlah uang tabungan yang tersimpan di dalam lemari. Karena itu semua untuk kebutuhan kami. Belum lagi jika Ibu sudah minta barang-barang mahal. Ia sering kali marah jika aku tidak mau menyanggupinya. Entah sudah berapa juta kali aku dan Ibu adu mulut karena gaya hidupnya yang hedon. Aku memang menyanggupi untuk memenuhi kebutuhan pokok Ibu dan kedua adik iparku. Tapi, aku tidak akan pernah setuju jika mereka meminta uang hanya untuk shopping demi bisa bergaya seperti orang kaya.

“Maaf sebelumnya Bu. Jangan mencari uang tabunganku karena itu untuk kebutuhan kita semua. Jangan bicara dulu karena aku belum selesai.” Kalimat peringatan itu keluar saat Ibu sudah membuka mulutnya. Hendak menyela seperti biasa.

“Aku adalah tulang punggung untuk keluarga ini. Bukan anak lelakimu yang hanya punya gaji dua juta saja. Itupun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian semua. Tadi Ibu marah karena aku tidak menunda membayar kontrakan, asal kalian tahu kakak sepupuku sudah menjual semua rukonya di pasar pada seorang temannya. Aku tetap dapat keringanan karena permintaan kakak sepupuku.”

Mas Aksa dan Ibu membelalakan mata mereka kaget. Aku memang baru memberi tahu mereka hari ini. Walaupun masih ada sedikit rahasia yang aku sembunyikan. Ucapanku tadi tidak sepenuhnya jujur.

“Karena itulah aku tidak bisa lagi menunda pembayaran ruko seperti dulu. Saat Mas Aksa minta di belikan mobil dengan kredit. Alasannya untuk keluarga, tapi aku dan anak-anak jarang memakainya. Oh iya, pembayaran kredit mobil dan rumah juga jatuh tempo kemarin. Tentu saja aku tidak bisa menundanya lagi bukan?”

Ibu terdiam. Dia bisa hidup enak dengan gaji Mas Aksa yang di kuasai hampir sepenuhnya. Di tambah lagi uang dariku. Selama ini aku berpikir dengan membiayai kebutuhan Ibu maka hati Mas Aksa akan luluh. Tidak pernah lepas dalam setiap doa aku berharap agar perangai Mas Aksa berubah. Tidak berat sebelah pada ibunya. Karena aku masih memegang janji pada Ibuku bahwa tidak akan menggugat cerai selama bukan KDRT atau perselingkuhan.

Keheningan melingkupi ruang tamu ini. Wajah Ibu dan Mas Aksa sangat muram. Frustasi bercampur bingung darimana bisa mendapat uang untuk menggelar pesta pernikahan adik iparku. Sistem pembayaran di desa berbeda dengan sistem pembayaran di kota. Pihak calon pengantin perempuan cukup memberikan dp pada MUA dan tukang dekor panggung. Sisanya akan di bayar dari uang sumbangan para tamu yang datang. Namun, uang dp itu yang tidak mereka miliki. Sehingga mengincar tabungan yang aku kumpulkan selama beberapa bulan ini.

“Kalau tidak ada yang mau di bicarakan lagi, aku permisi dulu. Mau merapikan kamar yang sudah di buat berantakan sama Mas Aksa.” Sindirku lalu beranjak dari sofa.

Baru saja aku hendak masuk ke dalam kamar, Ibu sudah memanggilku lagi. Aku berhenti melangkah lalu menolehkan kepala pada Ibu.

“Ibu akan cari pinjaman untuk dp. Kumpulkan uang dari jualan di warungmu agar bisa membayar hutang itu,” ujar Ibu yang membuatku mengepalkan tangan geram. Seenaknya dia bisa bicara agar aku yang akan membayar hutangnya kelak.

“Entahlah Bu. Karena urusan perut dan warung kita lebih penting untukku.  Lebih baik Mas Aksa yang membayar hutang. Karena untuk kebutuhan makan saja Ibu masih ikut kutanggung. Ibu juga jangan lupa jika aku harus menabung untuk membayar kredit rumah, ,motor dan mobil bulan depan. Kalau mau aku membiayai pernikahan anak Ibu maka over kredit saja mobil itu agar aku tidak perlu mencicil lagi setiap bulan. Gampangkan?”

“DANIA.” Bentak Mas Aksa tidak terima.

Aku hanya tersenyum sinis padanya lalu masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu agar Mas Aksa tidak bisa masuk ke dalam. Sekali lagi air mataku tumpah sudah. Aku benar-benar tidak kuat lagi menjalani pernikahan ini.

***

Enam tahun membina biduk rumah tangga tidak menyisakan cinta lagi untuk Mas Aksa. Ini semua juga salahku yang menikah karena di butakan cinta. Tanpa mencari tahu lebih dulu bagaimana sifat aslinya. Tanpa mencari tahu lebih dulu bagaimana latar belakang keluarganya. Tiga bulan setelah perkenalan kami aku memintanya untuk menikahiku. Karena aku tidak ingin pacaran lebih lama yang bisa mengundang keinginan untuk berbuat zina.

Awalnya aku masih bekerja sebagai teller di salah satu bank. Aku di tempatkan di desa lain yang jaraknya tiga puluh menit dengan mengendarai motor. Mas Aksa hanya memberiku nafkah lima puluh ribu untuk sebulan. Masalah yang menyulut pertengkaran kami. Setahun pernikahan benar-benar di warnai dengan cekcok. Aku hanya bisa menangis dalam diam karena tidak bisa curhat pada siapapun tentang masalah rumah tangga. Hanya pada adik perempuanku, aku bisa berkeluh kesah. Satu-satunya keluarga yang tersisa setelah Ibu meninggal. Enam bulan setelah aku menikah dengan Mas Aksa.

Rasanya hati sudah mantap untuk berpisah. Karena Mas Aksa tidak mau memberikan nafkah yang layak untukku. Tapi, janjiku pada Ibu selalu terngiang di kepala. Untuk tidak bercerai jika bukan karena masalah perselingkuhan atau KDRT. Aku paham kenapa Ibu membuatku berjanji seperti itu. Stigma janda sangat negatif di mata masyarakat. Banyak hal yang tidak mengenakan di alami Ibu usai berpisah dari Bapak karena Ibu tidak mau di poligami.

Pasang surut kehidupan yang kami lalui membuat Ibu benar-benar selektif dalam memilih pasangan untukku dan adikku. Tapi, akhirnya beliau setuju setelah aku membuat janji itu. Satu tahun setelah pernikahan aku hamil. Lalu memutuskan untuk resign karena dokter menyuruhku bedrest. Ibu mertua uring-uringan karena uang Mas Aksa lebih banyak di habiskan untukku. Padahal itu semua juga demi kedua cucunya yang saat itu masih ada di dalam perut.

Saat usia anak-anakku menginjak satu tahun, adikku memberi saran untuk membuka warung kebab, burger dan sosis di ruko depan pasar dari penjualan rumah Ibu yang sudah di bagi dua dengan adikku. Kebetulan pemiliknya adalah kakak sepupuku. Awalnya aku menyewa ruko satu lantai dengan harga lima juta per tahun. Aku membayar separuh dari harga ruko karena kakak sepupuku yang memaksa. Katanya sebagai saudara harus saling membantu.

Usahaku maju pesat karena terletak di lokasi yang strategis. Aku mengatur keuangan dalam buku jurnal. Agar masih bisa sedikit menabung karena uangku selalu habis untuk menambal kebutuhan dua rumah sekaligus. Yaitu rumahku dan rumah Ibu mertua. Belum lagi dengan cicilan kredit rumah yang di bebankan padaku. Syukurlah aku bisa menyisihkan tabungan tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan keluarganya. Hingga aku pindah ke ruko dua lantai agar anak-anak bisa nyaman selama aku ajak ke toko.

Lamunanku buyar saat mendengar suara hp yang berdering. Ada pesan masuk dari adikku. Kuseka air mata yang masih menggenang di pipi dan segera membalas pesannya. Turun dari tempat tidur lalu memasukan semua pakaian yang tadi sempat di acak-acak oleh Mas Aksa. Mataku tertuju pada kotak perhiasan yang terjatuh di bawah lemari. Seketika dadaku berdegup kencang. Kotak itu berisi perhiasan yang aku beli sebagai invetasi untuk diriku sendiri. Kotaknya sengaja aku simpan di bawah tumpukan baju. Dengan tangan gemetar aku membuka kotak yang terjatuh. Isinya sudah kosong tanpa menyisakan perhiasan apapun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status