Share

Bab 5

Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.

Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.

Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandikan mereka. Lalu menyiapkan sarapan. Sengaja aku hanya memasak untuk kami bertiga. Aku masih sangat marah pada Mas Aksa karena memaksaku untuk membayar biaya pernikahan adiknya. Apalagi dia juga sempat mencuri perhiasan emasku dua hari lalu. Belum lagi tamparan yang ia berikan kemarin malam. Membuatku semakin muak padanya.

Jam setengah tujuh tepat, aku sudah mengantarkan anak-anak ke sekolah dengan menaiki motor. Kedua pria itu dan perangkat desa yang lain terlihat berada di sekitar rumah Ibu. Mobil Mas Aksa juga masih terparkir di depan rumah kami. Mobil yang di cicil dengan menggunakan uangku. Tapi, aku dan anak-anak jarang menaikinya. Terlihat beberapa barang yang sudah di keluarkan. Kenapa perasaanku jadi tidak enak ya? Aku segera menggelengkan kepala agar tidak berpikir ke arah yang negatif.

Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, aku pulang lagi ke rumah. Memasak untuk menu makan siang dan bekal yang akan di bawa ke warung nanti. Mencuci piring dan peralatan memasak yang lain. Menjemur pakaian yang sudah di keringkan dengan mesin cuci. Semua pekerjaan rumah tangga itu akhirnya selesai juga tepat jam sembilan pagi. Saatnya untuk menjemput anak-anak dari sekolah mereka.

“Kamu masukin dulu koper Ibu ke dalam kamarnya anak-anak,” kata Ibu dari ruang tengah. Segera kumasukan bekal ke dalam tas lalu berjalan ke ruang tengah.

“Apa yang kalian lakukan?” tanyaku heran melihat banyak barang Ibu yang menumpuk di rumah ini.

“Mulai sekarang Ibu dan kedua adikku akan tinggal di rumah ini Nia. Rumah Ibu sudah di ambil rentenir karena tidak mampu bayar.” Jelas Mas Aksa tidak berani memandangku.

Dia jelas tahu jika pembayaran rumah ini menggunakan uangku. Walaupun kelak sertifikat rumah akan menggunakan namanya. Aku sudah banyak bersabar dengan memberi keluarganya uang. Asal Ibu mertua dan kedua adik iparku bisa tetap tinggal di rumah mereka sendiri. Satu-satunya harta berharga setelah Ibu mengalami banyak kerugian karena di tipu.

Sekarang mereka ingin satu rumah denganku? Membayangkan akan jadi pembantu untuk mertua dan ipar sudah membuatku uring-uringan. Kutatap mata Mas Aksa tajam saat pandangan kami bertemu. Dia nekat membawa keluarganya untuk tinggal di rumah ini. Padahal kami hanya punya tiga kamar. Satu kamar utama dan satu kamar lagi di gunakan untuk anak-anak. Sedangkan kamar lain masih kosong. Paling hanya menyimpan barang bekas yang kemudian aku jual kembali. Jika Ibu dan kedua adik Mas Aksa tinggal di rumah ini, maka anak-anak harus tidur bersama kami. Membuat ruang kamar jadi semakin sempit.

“Kenapa kamu hanya berdiri disana Nia. Cepat bantu Aksa untuk membereskan barang-barang ini. Kedua adikmu tidak bisa ikut karena harus bekerja di toko.” Perintah Ibu seenaknya lalu duduk di sofa sambil menonton TV.

“Aku juga tidak bisa karena harus menjemput anak-anak di sekolah,” jawabku ketus membuat Ibu mendelik kesal. Pandanganku lalu beralih pada Mas Aksa yang masih berdiri di tempatnya.

“Oh iya Mas. Hari ini aku dan anak-anak akan langsung pergi ke warung. Aku harus mencuci bahan makanan untuk nanti sore. Agar pekerjaan tidak menumpuk. Saat pulang nanti malam, aku harap rumah dalam keadaan rapi. Termasuk dengan tempat tidur anak-anak yang di pindahkan ke kamar kita.” Perintahku tidak mau di bantah.

“Tapi, Dan_”

“Dasar istri kurang ajar. Yang seharusnya mengurus semua barang ini itu kamu. Bukan Aksa,” bela Ibu tidak terima. Ia sudah memarahiku sebelum Mas Aksa selesai bicara.

“Aku memang istri kurang ajar. Karena aku yang memenuhi kebutuhan hidup kalian Bu. Rumah dan mobil juga di bayar dengan menggunakan uangku. Padahal dulu Ibu sempat menghina usahaku. Kalau aku lebih memilih untuk membereskan barang-barang kalian yang tidak berguna, aku tidak akan bisa bekerja. Memang Ibu mau makan pakai apa kalau aku tidak bekerja. Gaji Mas Aksa hanya cukup untuk foya-foya,” jawabku yang membuat Ibu sudah berdiri. Matanya menatapku nyalang.

“Sudahlah Dania. Jangan membuat masalah. Kamu bisa pergi sekarang,” bentak Mas Aksa kesal.

Ia sudah berlalu lalang memindahkan barang anak-anak menuju kamar kami. Aku tersenyum sinis pada Ibu lalu berjalan menuju dapur. Tanganku dengan cepat mengambil makanan yang sempat terhidang di bawah tutup saji. Mengemasnya ke dalam wadah makanan. Bekas piring segera kucuci agar mereka tidak curiga. Toh Mas Aksa tidak hapal jamku memasak dan beres-beres rumah. Dia hanya sibuk bermain game saat hari libur.

Kumasukan wadah makanan ke dalam jok motor yang besar. Mengendarai kendaraan ini menuju sekolah si kembar. Menjemput anak-anak yang sudah menunggu di wahana permainan tk. Mereka berseru senang saat melihatku. Mawar naik di jok belakang. Sedangkan Melati duduk di depan. Karena body motor ini besar, jadi anak bisa duduk dengan nyaman di bawah.

“Kita nggak pulang ke rumah dulu Bu?” tanya Mawar heran melihat arah jalan kami yang menuju warung. Anak-anak memang sudah hafal di luar kepala tentang jadwalku dalam bekerja. Sedangkan Melati hanya diam saja sejak tadi. Memperhatikan pemandangan jalan.

“Iya sayang. Hari ini Ibu agak sibuk di warung. Jadi kita langsung pergi kesana sekarang.”

“Horeee.” Sorak Mawar dan Melati senang.

Anak-anakku memang lebih senang menghabiskan waktu di warung daripada di rumah kami sendiri. Itu semua karena Ibu yang suka seenaknya masuk ke dalam rumah. Mengomeli kedua buah hatiku yang suka bercerita. Dan masih banyak sikap Ibu yang membuat Mawar dan Melati terluka.

***

Aku tidak tahu pasti alasan Ibu meminjam uang sampai rumahnya di sita. Bahkan nominal yang aku dengar tadi hanya dua puluh juta. Atau mungkin lebih? Entahlah. Yang aku tahu pasti sejak dulu Ibu suka meminjam uang. Bahkan nama Ibu sudah masuk dalam daftar hitam bank besar. Sehingga membuat keluarga Mas Aksa jatuh miskin selepas Bapaknya meninggal dunia.

Dari cerita para tetangga yang sudah lama tinggal di desa ini, Bapak Mas Aksa dulu punya sawah yang luas. Cukup untuk menyekolahkan ketiga anaknya hingga jenjang SMA. Bahkan juga cukup untuk membiayai kuliah Mas Aksa. Hanya saja setelah Bapaknya meninggal setelah ia lulus kuliah, kedua adiknya memilih untuk bekerja begitu tamat SMA.

Ibu yang terbiasa hidup enak berkat suaminya mendadak butuh uang. Cara paling cepat yang bisa beliau lakukan adalah dengan berhutang. Membuat sawah yang sangat luas harus terjual demi membayar hutang. Sejak Mas Aksa bekerja, otomatis dia yang menjadi tulang punggung keluarga. Sedangkan kedua adiknya bebas menggunakan uang mereka.

“Ibu nggak turun ke bawah?” tanya Melati membuyarkan lamunanku.

Saat ini kami tengah berada di lantai dua ruko. Sengaja aku memilih tempat ini sebagai warung agar anak-anak bisa nyaman saat ikut aku bekerja. Sudah ada kasur dan TV di ruko ini. Barang-barang yang aku beli tanpa sepengetahuan Mas Aksa. Karena dia tidak pernah tertarik untuk mengunjungi ruko ini hingga naik ke lantai dua. Paling kalau datang hanya untuk meminta uang lalu langsung pergi.

“Setelah sholat dhuhur sayang. Kalian mau makan di atas atau di bawah?” tawarku mengalihkan perhatian mereka.

“Di bawah saja Bu,” ucap Mawar dan Melati kompak. Mereka memang senang melihat para pembeli yang berdatangan.

Jarum jam terus berputar hingga menunjukkan waktu setengah tujuh malam. Anak-anak sibuk bermain di lantai dua. Aku sibuk melayani para pembeli yang kebanyakan memesan kebab. Dengan beberapa pesanan burger dan sosis. Bersama dua karyawan lain untuk shift malam.

“Saya nggak mau bayar. Inikan warungnya menantuku. Biasanya juga kalau ambil makanan selalu gratis,” seru Ibu nyaring hingga membuat perhatian semua orang tertuju padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status