Share

Bab 4

Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.

Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.

“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.

Diam saja seperti patung. Kutatap kaca di meja rias. Wajahku yang semula pucat sudah berangsur pulih. Aku menganggukan kepala sebagai jawaban pada Mas Aksa. Menatap matanya dengan pandangan datar. Raut wajahnya masih terlihat sangat khawatir.

“Iya aku bisa mendengarmu,” jawabku yang membuat ia menghela nafas lega.

“Makanya kamu jangan menghina keluargaku. Mereka itu bukan benalu. Sebagai istri sudah sewajarnya kamu membantu_”

“Uang yang kuberi selama ini adalah sedekah. Seperti yang aku katakan tadi, suami tidak punya hak mengambil uang istrinya. Jangan menolak fakta jika keluargamu adalah benalu. Mereka bergaya hedon dengan menggunakan uangku.”

Aku sengaja memancingnya agar membuat Mas Aksa jadi semakin emosi. Dia mengepalkan tangan erat. Wajahnya sudah memerah dengan urat leher yang tercetak jelas. Tidak seperti tadi, dia justru mengalihkan pandangan pada kamera CCTV yang sengaja aku pasang di kamar ini dengan alasan agar tidak ada orang lain yang mencuri saat aku tinggal ke warung. Padahal aku punya alasan lain memasang semua kamera CCTV di rumah ini.

“Sudahlah kamu keluar dulu memanggil anak-anak. Mereka pasti sudah lapar. Aku akan keluar sebentar lagi setelah berganti baju. Atau kau ingin istirahat saja?” tanya Mas Aksa membuatku menggelengkan kepala. Aku sudah tidak merasa pusing lagi. Tidak perlu istirahat di dalam kamar.

Segera kuraih hp lalu mengotak-atiknya sebentar. Sembari berjalan keluar kamar. Sejenak aku berhenti. Menoleh pada Mas Aksa yang masih memperhatikan kamera CCTV yang terpasang di langit-langit kamar. Aku jadi penasaran apa yang akan dia lakukan dengan kamera CCTV itu?

Biarkan sajalah. Toh Mas Aksa tidak tahu apa saja yang sudah aku lakukan di belakangnya. Lebih baik pergi ke kamar anak-anak yang pasti sudah berganti baju sendiri. Baru saja aku membuka pintu, anak-anak sudah menghambur dalam pelukanku. Wajah mereka terlihat ketakutan. Bahkan si sulung sudah hampir menangis.

“Kalian pasti mendengar pertengkaran ayah dan ibu tadi ya. Ibu minta maaf karena sudah membuat kalian takut,” kataku yang membuat si kembar menganggukan kepala mereka.

Sikap Mas Aksa memang kasar padaku. Bukan secara fisik. Tapi dari kata-katanya yang menyakiti hati. Sejak tiga tahun lalu aku memasang kamera CCTV di rumah ini. Tujuan awalnya adalah untuk memantau keadaan rumah selama aku tinggal pergi untuk bekerja di warung. Sedangkan alasan yang sebenarnya adalah untuk mengumpulkan bukti sikap buruk Mas Aksa selama pernikahan kami. Sembari menunggu dia melakukan dua hal yang membuat Ibu mengijinkanku untuk berpisah.

Mas Aksa sadar jika aku bisa melaporkannya kapanpun ke polisi jika dia berani melakukan kekerasan padaku. Karena itulah meskipun dia sering marah-marah, namun sikapnya akan kembali melunak tanpa berani membantahku lagi. Seperti yang ia lakukan tadi. Entah kenapa kali ini Mas Aksa sampai tega menamparku. Padahal kami sudah sering berdebat tentang keluarganya. Tapi, tidak masalah karena aku tidak akan melanggar janji pada Ibu saat memutuskan untuk berpisah dari Mas Aksa kelak. Dia sudah menamparku yang artinya melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

“Kita pergi ke ruang makan sekarang ya. Kalian harus sarapan lalu berangkat ke sekolah.”

Aku membawa tas si kembar yang sudah berjalan lebih dulu menuju ruang makan. Mas Aksa sudah duduk di kursinya. Kami menyantap sarapan dalam diam. Karena anak-anak memang takut bicara dengan Ayah mereka. Mas Aksa yang sudah selesai makan beranjak berdiri tanpa membereskan piring dan gelasnya. Ia pergi bekerja tanpa pamit padaku dan anak-anak.

Rumah tangga seperti inilah yang sudah aku jalani selama enam tahun terakhir. Tidak ada lagi kehangatan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Atau seperti Ayah dan putri mereka. Dia tidak hanya sudah mengacuhkanku. Tapi, juga sudah mengacuhkan anak-anak hanya karena anak pertama bukanlah anak laki-laki seperti yang di inginkan Ibunya.

“Ibu, apa Ayah meminta uang lagi sampai Ayah jadi marah?” tanya si sulung yang bernama Mawar. Putriku baru berani bicara setelah Ayahnya pergi.

“Nggak kok sayang. Ayah hanya lagi pusing karena masalah pekerjaan.”

“Kenapa sih Ayah marah terus? Aku takut Bu. Lebih baik kita tinggal di warung saja daripada disini,” kali ini si bungsu yang bernama Melati yang bicara.

Bukan hanya kali ini anak-anak menyatakan rasa tidak nyaman terhadap Ayah mereka sendiri. Terlebih pada Ibu yang tidak pernah menganggap keberadaan kedua cucunya. Hanya saja aku terus meminta mereka bersabar sampai saat yang tepat.

“Sabar ya sayang. Mungkin mulai bulan depan kita akan tinggal di warung. Jadi, kalian nggak perlu khawatir lagi pada Ayah. Tapi, jangan lupa setelah selesai sholat selalu doakan Ayah agar suatu saat dia mau berubah.”

“Iya Bu,” jawab si kembar kompak.

Kami pergi dengan naik motor menuju TK tempat Mawar dan Melati sekolah. Tidak lupa juga aku membawa perhiasan emas yang akan aku simpan di brankas warung. Kali ini aku pergi lebih awal. Selain untuk menyimpan perhiasan, juga untuk memindahkan beberapa baju yang sudah aku bawa dari rumah. Tidak ada lemari di lantai dua ruko. Sepertinya aku harus mulai menata barang-barang apa saja yang aku butuhkan untuk tinggal di ruko ini.

***

Jam sembilan malam aku dan anak-anak baru sampai di rumah. Seperti biasa aku meminta mereka untuk membasuh kaki, berganti baju lalu tidur. Sementara aku mencuci piring dan menata semua barang yang berantakan. Mas Aksa sudah terlelap di dalam kamar kami. Linggis milik Ibu aku temukan di bawah tempat tidur. Rupanya Mas Aksa masih berusaha membuka lemari sebelah kanan yang sengaja aku kunci. Untuk mengecohnya jika aku masih menyembunyikan perhiasan emas disana. Biar saja dia berusaha membukanya. Toh Mas Aksa tidak akan bisa menemukan perhiasanku lagi karena aku sudah menyimpannya di tempat yang aman.

Drrrr….

Drrtttt…

Drrrttt…

Suara dering hp Mas Aksa yang menandakan ada pesan masuk membuatku penasaran. Diam-diam aku mengambil hp yang tergeletak di samping bantal. Membuka layar hp dengan menggunakan ibu jarinya. Membuka wa untuk mengatur setting centang biru pesan lalu membuka pesan dari Ibu mertua. Agar Ibu tidak sadar jika pesan sudah terbaca.

[Kapan kamu berhasil mengambil perhiasan emas Dania, Sa? Tadi pihak MUA sudah datang ke rumah ini untuk menagih uang DP.]

[Kalau sampai Ibu terpaksa menjual perhiasan milik Ibu kamu wajib menggantinya. Jangan mentang-mentang perhiasan Ibu cukup untuk membayar DP kamu jadi mengandalkan Ibu. Ingat tanggung jawab kamu untuk membiayai kebutuhan kedua adikmu sampai menikah nanti.]

[Baca pesan Ibu dong Sa. Kamu ini lagi ngapaih sih?]

Apa? Ibu juga punya perhiasan emas yang cukup banyak? Apakah selama ini Ibu membelinya dari uangku? Lalu kenapa mereka masih memanfaatkanku seperti ini? Memikirkan semua itu membuat kepalaku jadi pusing lagi.

“Astaghfirullah,” hanya kalimat istighfar yang bisa aku ucapkan. Mungkin aku memang harus mengikhlaskan perhiasan itu. Sama seperti aku akan ikhlas meninggalkan rumah dan mobil tanpa meminta ganti rugi pada Mas Aksa.

Biarlah. Yang penting aku bisa hidup tenang dengan anak-anak. Setelah merasa lebih baik,  mataku terasa berat hingga aku terlelap dalam alam mimpi. Rasanya baru sebentar aku tertidur saat mendengar keributan di luar. Aku segera keluar rumah tanpa mempedulikan sekitar. Ada dua orang berbadan besar yang tengah menggedor pintu rumah Ibu mertua.

“Buka pintunya. Bayar hutangmu sekarang,” teriak salah satu pria yang memekakan telinga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status