Cklek
“Apa yang kamu lakukan mas?” Teriakku kaget melihat kamar yang sudah seperti kapal pecah.
Baju sudah berhamburan di atas tempat tidur. Bahkan di lantai. Make up yang seharusnya tertata rapi di atas meja rias sudah berantakan. Sementara suamiku, Mas Aksa masih sibuk mengobrak-abrik lemari. Seperti kesetanan saja.
“Dimana kamu menyimpan uang tabunganmu itu Nia?” Mas Aksa justru balik bertanya padaku. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Seolah dia sedang mencari hartanya yang sudah di curi. Padahal tabungan yang ia maksud berasal dari pendapatanku mengelola warung.
“Kenapa kamu pakai menanyakan uang tabungan yang kusimpan di lemari? Tidak seperti biasanya saja,” jawabku kesal karena harus merapikan baju yang di keluarkan olehnya. Menumpuk semua baju itu di atas tempat tidur lebih dulu sebelum di lipat kembali.
“Untuk dp jasa tukang rias pengantin dan gedung untuk acara pernikahan adikku.”
“Apa?” Gerakan tanganku seketika terhenti. Kutatap manik matanya yang serius. Untuk yang ke sekian kalinya Mas Aksa meminta uangku lagi untuk kebutuhan keluarganya.
Kuhela nafas untuk meredakan segala emosi yang sudah berkecamuk. Setelah selama ini aku mengalah dengan membiayai kebutuhan kami, Mas Aksa masih melonjak dengan memintaku untuk membiayai pernikahan adiknya. Keterlaluan sekali.
“Mana uangnya? Aku butuh sekarang untuk di berikan pada Ibu.” Paksa Mas Aksa sambil menadahkan tangan padaku. Dasar tidak tahu malu. Padahal posisinya sebagai suami dan kepala rumah tangga tidak bisa memberikan nafkah yang layak untukku.
Kembali ku ambil baju di lantai lalu meletakannya di atas tempat tidur. Dengan santai aku menggantungkan tas lalu mengambil jurnal keuangan yang tersimpan di laci meja rias. Menunjukkan jurnal itu tepat di depan wajah Mas Aksa.
“Sudah aku pakai untuk bayar kontrakan ruko. Selain itu, aku_”
“Apa kamu tidak bisa meminta keringanan? Pemilik ruko itukan kakak sepupumu sendiri. Kalau memang uangnya sudah terpakai untuk bayar ruko, masih ada sisa sepuluh juta lagikan? Kemarin aku hitung uang tabunganmu ada tiga puluh juta,” terang Mas Aksa membuatku menganga tidak percaya.
Meskipun ini bukan pertama kalinya Mas Aksa mengambil uang yang aku tabung untuk kebutuhan Ibu dan adiknya, namun tetap saja hatiku terasa berdarah. Selalu keluarganya yang di utamakan. Tanpa memikirkan kebutuhan hidup istri dan kedua anak kembarnya. Kepalaku terasa pusing jika sudah membicarakan perihal uang dengan Mas Aksa.
“Kamu lupa apa gimana sih Mas? Kemarin itu jatuh tempo bayar kredit rumah dan mobil. Tidak ada uang yang tersisa dari tabungan yang sudah aku kumpulkan. Bahkan untuk makan besok saja kita harus sedikit berhemat karena bahan makanan untuk jualan besok juga sudah habis. Jadi di putar dulu untuk belanja warung dan kebutuhan rumah tangga. Belum lagi aku masih harus membayar kredit motor adik bungsumu.”
“Masa sih?” Tanya Mas Aksa tidak percaya.
“Kamu pasti mengarang karena tidak mau memberikan uang pada keluargakukan, Nia?” Tunjuknya tanpa tedeng aling-aling. Seolah dia lupa ingatan saat merengek minta di belikan mobil secara kredit.
Aku melemparkan buku jurnalku yang di abaikan padanya. Dengan mata yang mendelik tajam sebagai isyarat untuknya mengambil bukuku yang terjatuh. Mas Aksa sudah mengambil buku itu lalu melihat catatan jurnalku untuk kebutuhan kemarin.
“Ada kwitansi bukti pembayaran kredit juga. Lihat tanggalnya baik-baik,” ucapku penuh penekanan. Tidak ingin berteriak lagi agar tidak mengganggu anak-anak yang sudah tertidur.
Baru setengah jam yang lalu aku dan anak-anak sampai ke rumah. Setelah enam jam berkutat di warung untuk jualan. Aku membuka usaha warung kebab, burger dan sosis. Di tambah dengan es teh, es jeruk, aneka jus buah dan minuman sachet kemasan. Dalam sehari aku bisa menghasilkan omset kotor sebesar tujuh ratus ribu sampai satu juta rupiah jika sedang ramai. Kalau sedang sepi sekitar dua ratus sampai lima ratus ribu rupiah. Semuanya kucatat dalam buku jurnal untuk membagi pengeluaran warung dengan pengeluaran rumah tangga.
Sudah tiga tahun ini Mas Aksa hanya memberikan nafkah lima puluh ribu untuk semingu. Itu semua karena gajinya yang hanya UMR di berikan pada Ibu dan kedua adiknya. Dengan alasan mereka masih sekolah. Namun, setelah lulus kedua adik Mas Aksa tetap menggantungkan hidup padanya karena mereka hanya bekerja sebagai pegawai toko kelontong dan warung makan dengan gaji yang kecil. Jika uang Mas Aksa habis maka akulah yang harus memenuhi kebutuhan hidup mereka.
“Kenapa semua kredit harus jatuh tempo di saat yang bersamaan sih?” Gumam Mas Aksa seorang diri. Ia sudah mengacak rambutnya frustasi.
Aku sendiri tengah sibuk melipat pakaian yang tadi di acak-acak oleh suamiku. Rasanya tubuh sudah sangat lelah. Ingin segera mencatat di buku jurnal lalu tidur. Agar besok pagi bisa bangun tepat waktu seperti biasa. Malah harus merapikan kekacauan yang di buat Mas Aksa.
“Salah sendiri kamu maksa kredit mobil saat kita juga masih membayar kredit rumah. Padahal aku sudah bilang kalau pembayaran kredit rumah dan kontrakan ruko itu sangat besar. Pengeluaran akan bertambah jika kita harus kredit mobil juga.” Jawabku sinis.
“Apa kamu tidak punya uang tabungan lagi di bank Nia? Masa sih warungmu yang ramai hanya cukup untuk kebutuhan hidup kita dan bayar kredit?” Kini Mas Aksa sudah duduk di sampingku.
Warungku memang ramai karena lokasinya yang sangat strategis. Awal membangun usaha aku menyewa ruko milik kakak sepupuku di pinggiran pasar. Ada SD, SMP, SMA, Mts, MA bahkan pondok pesantren di dekat pasar. Sehingga jualanku selalu habis. Aku akan stok bahan untuk jualan dua atau tiga hari sekali. Mas Aksa tahu hal itu dari Ibu yang kadang minta uang padaku di warung.
“Semua harga barang sekarang naik Mas. Untuk kebutuhan kita dan si kembar saja dalam sebulan bisa habis sepuluh juta. Itu semua untuk memenuhi gizi anak-anak. Kamu juga selalu minta di buatkan makanan yang enakkan?” terangku menunjuk jurnal dan resi dari toko yang aku dapat.
“Belum lagi si kembar yang sudah masuk TK besar tahun ini. Uang jajan dan bekal mereka itu cukup banyak. Kalau uangku ada sisa setelah di tabung untuk membayar ini dan itu, aku berikan pada Ibu setiap beliau datang ke warung. Uang untuk Ibumu juga aku catat agar tidak bingung mengatur daftar belanja untuk hari berikutnya. Oh iya, kebutuhan rumah tangga di rumah Ibu sebagian besar juga masih aku tanggung. Jadi, mana bisa aku menyisihkan uang lain di bank?”
Mas Aksa terdiam. Dia membanting bukuku ke lantai lalu keluar dari kamar. Suara pintu depan yang terbuka dan tertutup menandakan jika Mas Aksa pergi. Pasti ke rumah Ibunya yang ada tepat di samping rumah ini. Mungkin untuk mengadu jika aku tidak bisa membantu biaya pernikahan adik perempuannya. Selalu seperti itu. Setiap kami bertengkar maka dia akan pergi ke rumah Ibunya untuk mengadu.
Air mataku sudah mengalir deras. Kutahan isakan yang hendak keluar agar tidak mengganggu tidur anak-anak. Kupaksa tangan tetap bekerja melipat baju. Enam tahun pernikahan yang tidak membahagiakan ini tidak bisa kuakhiri begitu saja. Teringat dengan pesan mendiang Ibu saat aku memaksa menikah dengan Mas Aksa karena cinta.
Bahwa aku tidak boleh memutuskan bercerai jika Mas Aksa tidak pernah selingkuh dan main tangan. Memaafkan semua sikapnya sambil berdoa agar suamiku bisa berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Tapi, aku sudah tidak sanggup lagi Bu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku lelah menjadi tulang punggung untuk keluarga mereka.
***
“Daniaaaa.” Teriak Ibu mertua begitu masuk ke dalam rumah. Belum ada setengah jam Mas Aksa pergi ke rumah Ibunya. Mereka sudah datang kesini.
Aku keluar dari kamar. Mas Aksa hanya kembali dengan Ibunya. Tidak ada kedua adik iparku yang biasanya minta jatah uang.
“Kenapa kamu bodoh sekali sih? Uang untuk bayar kontrakan ruko bisa di pending dulu. Setidaknya cukup untuk memberikan dp pada tukang rias,” ucap Ibu penuh amarah.
“Kenapa aku harus ikut memikirkan pernikahan anak Ibu? Aku juta butuh uang untuk menjalankan usahaku,” balasku tidak terima.
“Dasar menantu tidak tahu diri.”
Tangan Ibu sudah melayang hendak menamparku. Aku masih berdiri tegak dengan mata terpejam. Siap menerima tamparannya.
“Jangan Bu. Ada kamera CCTV di rumah ini,” ucap Mas Aksa yang membuat Ibu menghentikan gerakan tangannya. Tidak jadi menamparku membuatnya mendesah kesal.Aku membuka mata sembari menatap mereka datar. Rupanya Mas Aksa bisa membaca rencanaku. Aku memang sudah berulang kali mengatakan jika ia atau keluarganya main tangan maka aku tidak akan segan untuk melaporkan ke polisi. Belum lagi dengan fakta jika aku yang sudah menjadi tulang punggung keluarga maka akan membuat posisi Mas Aksa semakin berat di mata hukum. Karena ia tidak pernah memberikan nafkah yang layak untukku.Dengan santai kakiku melangkah menuju sofa lalu duduk disana. Di ikuti dengan Mas Aksa dan Ibu yang sudah duduk di hadapanku. Rupanya mereka masih mau marah hanya karena aku menggunakan uang untuk kebutuhan pokok dalam menghidupi keluarga ini.“Apa kamu nggak punya tabungan lain Nia? Gimana sama penghasilan hari ini? Pasti cukup untuk bayar sebagian dp yang sudah kami janjikan pada MUA.” Ibu kembali mencecarku. Seharus
Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Kutekuk kedua kaki untuk tempat bersembunyi saat menangis. Ya Allah. Sudah dapat di pastikan jika Mas Aksa yang mengambil semua perhiasanku tadi. Saat dia mengacak-acak lemari karena mengira aku menyembunyikan uang tabungan di bawah baju. Dia melihat kotak perhiasan yang sudah aku beli sejak tahun lalu tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan Ibu mertua. Teganya dia melakukan ini padaku. Perhiasan emas yang ia serahkan sebagai mahar sudah aku jual sebagai tambahan modal untuk membuka warung. Seharusnya dia tahu jika semua perhiasan di dalam kotak itu adalah milikku karena bentuknya berbeda dengan perhiasan yang di berikan olehnya dulu.Nyatanya aku memang sudah teledor dalam hal ini. Dengan yakin menyimpan kotak perhiasan di bawah tumpukan baju. Merasa Mas Aksa atau ibu tidak akan pernah mengetahuinya karena Mas Aksa tidak pernah mau mengambil pakaian sendirinya. Padahal perhiasan yang aku simpan tergolong mahal. Jika di
Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.Diam saja sepert
Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandika
Astaghfirullah. Ibu benar-benar bikin malu saja. Dia masih berdebat dengan pegawaiku tentang pesanan itu. Padahal tinggal bilang di awal jika dia mau aku mengirimkan makanan ke rumah. Pasti akan aku lakukan. Biasanya juga seperti itu. Atau jika Ibu butuh uang, maka dia akan pergi saat sore hari. Makanya dia tidak pernah bertemu dengan pegawaiku yang hanya mengambil shift malam.Gegas kumatikan kompor. Melepas sarung tangan plastik. Agar bisa melerai perdebatan mereka. Para pembeli pasti tidak nyaman melihat adegan ini. Ibu selalu berteriak jika marah. Dia mulai mendorong pegawaiku yang bernama Lila hingga hampir terjatuh. Untung saja aku dengan sigap menahannya.“Cukup Bu. Jangan bikin malu di warungku. Kenapa tadi tidak minta aku antarkan makanan ke rumah?” tanyaku sudah berdiri di depannya. Wajah Ibu masih merah padam.“Ini semua juga gara-gara kamu yang tidak menyiapkan makanan apapun untuk kami. Seharusnya sebagai istri kamu tetap ingat dengan kewajiban menyediakan makanan untuk s
“Mempermalukan gimana? Aku hanya bertanya kenapa Ibu datang ke warung tanpa menelponku dulu. Biasanya juga aku yang mengantar kalau Ibu pesan kebab atau burger. Malah di balas Ibu yang mengatakan jika aku tidak bisa menjadi istri yang baik karena omset usaha sudah lebih tinggai dari gaji suaminya. Kamu tahu Mas, Ibu mengatakan semua itu di depan para pembeli dan pemilik ruko yang lain. Belum lagi ada beberapa orang yang tengah merekam. Aku harus melakukan klarifikasi terhadap tuduhan Ibu,” bantahku tidak terima.Sejak kami menikah watak Mas Aksa memang tidak pernah berubah. Dia seratus persen percaya pada perkataan Ibu dan kedua adiknya. Tanpa bertanya dulu padaku tentang detail kejadian yang sebenarnya. Siapa yang sudah menyebabkan masalah hingga membesar. Selalu aku saja yang di salahkan.“Perkataan Ibu benar kok. Kamu memang nggak becus jadi istri. Buktinya hari ini kamu tidak memasakan banyak makanan. Padahal kamu tahu kalau Ibu dan kedua adikku sudah pindah ke rumah ini Nia.” Mas
“Iya saya memang menantunya Bu Yana. Ada apa ya Bu?” tanyaku masih mencoba untuk sabar. Karena sudah ada banyak pelanggan yang mengantri untuk membeli kebab atau burger mini. Aku tidak mau mereka terganggu oleh masalah yang di sebabkan Ibu mertua.“Ibu mertuamu sudah pinjam uangku sebesar tiga juta. Bagimu yang punya usaha seperti ini pasti kecilkan? Tapi, bagiku uang tiga juta itu sangat berarti. Aku sudah berulang kali menelpon dan mengirim pesan padanya. Selalu di abaikan. Hingga pagi ini aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Ternyata sudah di ambil karena tidak bisa bayar hutang. Lalu aku pergi ke rumahmu karena menurut para tetangga Jeng Yana sekarang tinggal bersama anak dan menantunya. Dia tidak bisa mengelak lagi. Jeng Yana mengatakan padaku bisa menagih hutangnya padamu,” jelas wanita itu yang tidak kuketahui namanya.Ibu benar-benar keterlalun. Walaupun ini bukan pertama kalinya aku di suruh membayar hutang. Selama ini aku selalu bisa berkelit dengan alasan tidak punya u
Aku segera membilas tangan lalu berlari ke kamar mandi. Ibu sudah menggedor pintu panik. Begitu juga dengan Mas Aksa dan Sintya, adik bungsu suamiku. Sementara aku justru takut jika pintu kamar mandi jebol. Siapa yang akan memperbaikinya? Tentu saja aku.“Buka pintunya Ros. Kalau tidak Mas jebol sekarang,” seru Mas Aksa yang membuatku terbelalak kaget.“Kalau kamu jebol aku nggak mau ganti Mas. Pakai gajimu sendiri,” ancamku sambil melotot.Suara tangisan Rosi masih terdengar dari dalam kamar mandi. Ibu sudah mendelik marah mendengar perkataanku pada Mas Aksa, tapi tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya karena sibuk memanggil nama Rosi. Sang empunya nama justru terus berkata tidak mungkin berulang kali. Entah apa penyebab Rosi bisa sampai histeris seperti ini.“Jangan berkata seperti itu dong mbak. Situasi panik seperti ini malah mikirin pintu kamar mandi,” jawab Sintya ketus. Aku balas melotot padanya.“Aku ini sudah pusing bayar cicilan rumah, mobil dan motormu bulan depan. Belu