Suara di ponselku seketika berhenti berdering. Sepertinya Dewa telah mengakhiri panggilannya. Namun, lelaki yang masih mematung di samping pintu itu belum mengembalikan padaku. Cekatan aku berlari ke arah Dewa. Sayangnya terdapat kardus dan kantong plastik, juga beberapa potong tali rafia berserakan di lantai menghalangi langkahku. Alhasil kakiku terantuk ujung lemari yang masih diletakkan di ruang tamu. "Sini aku ganti dulu namanya." Kujulurkan tangan sembari berjalan pincang menahan kesakitan akibat tersandung tadi.Dewa sejenak menatapku, tapi tangannya masih memegangi ponsel. Dia enggan memberikan benda itu padaku. "Makanya kalau jalan hati-hati.""Udah hati-hati. Lemarinya aja yang mau dicium sama kakiku," elakku masih menengadahkan tangan. Sesekali aku meringis lantaran masih merasakan sakit pada ujung jari jempol kaki kananku.Kepala lelaki mengenakan kaus warna biru dongker itu mendongak. "Cium? Kamu kali yang nyium lemarinya. Kelamaan gak dibelai, ya?" Matanya mengerling seb
Aku berjalan gontai menuju sumber suara. Tampak rombongan om-om tentara telah berdiri di depan pintu."Maaf, Bu. Tadi kami diperintahkan buat kurve di rumah Danru Dewa." Salah satu dari mereka berucap."Oh, tunggu Om. Saya panggilkan suami dulu."Aku membalikkan badan. Ketika hendak melangkah, Dewa sudah berada di depanku. Dia segera menghampiri om-om berkaus loreng di luar tadi.Setelah kudengar dari obrolan mereka, rupanya Dewa yang meminta bala bantuan dari kompinya. Ternyata rombongan tadi para tamtama remaja, mereka itu baru selesai pendidikan dan mendapat penempatan di batalyon ini. Kemudian, beberapa tamtama remaja masuk rumah dan cekatan membantu mengangkat perabotan, serta mengaturnya atas intruksi dari suamiku.Melihat om-om tamtama remaja yang kurve di rumah, seketika ada rasa iba. Aku berniat membelikan mereka makanan dan juga minum."Aku keluar bentar beli makanan sekalian minum buat om-om itu, ya," pamitku seraya berbisik di telinga Dewa.Suamiku itu segera menyerahkan
Perlahan kulajukan mobil. Ketika melintas di depan rumah Bu Soni, kubunyikan klakson. Namun,dua tetanggaku itu bergeming, tampak sedang serius mengobrol. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku sudah tak peduli lagi. Bisa terbebas dari Bu Dar saja sudah senang karena jujur aku malas berurusan dengan orang seperti itu.Mobil terus kulajukan hingga di ujung batalyon, tapi tak kutemui koperasi. Aku juga telah berkeliling, tetap tak kutemukan tempat yang kucari itu. Mana ponselku tertinggal di rumah. Ah, apes lagi. Spontan kupukul stir kemudi hingga menyenggol klakson. Mataku seketika terbuka lebar ketika melihat ibu-ibu di depan sana sedang berkumpul di depan rumah, kebetulan halamannya terdapat pohon mangga. Dan mereka duduk ramai-ramai di sana seperti sedang rujakan.Saat itu juga kumpulan ibu-ibu itu menoleh bersamaan ke arah mobilku. Ya ampun, pasti mereka heran dan mengira pengemudi mobil ini sombong. Kututup rapat kaca agar kumpulan ibu tersebut tak melihat batang hidungku, lalu ku
"Kamu tadi ngomong apa aja sama Bu Dar?"Sejenak kuhela napas, lalu menyunggingkan senyuman tipis. "Oalah, soal Bu Dar? Ngomong apa aja dia?""Kamu, kok malah ketawa. Dia ngomel-ngomel sama aku. Katanya kamu gak ada sopan santunnya."Seketika kurapatkan gigi. Bisa-bisanya Bu Dar mengadu seperti itu pada Dewa. Dia benar-benar ingin mencari masalah denganku. Saat ini masih kuluaskan sabarku. Kalau seterusnya tetap begini, akan kuberi pelajaran secara halus. Ya, aku suka main cantik seperti ketika menghadapi Nindi saat itu."Gimana gak jengkel, dia bilang aku sok kaya. Katanya ke koperasi aja pake mobil. Lah, emang disuruh jalan kaki?" timpalku geram.Gantian Dewa yang terkekeh. "Dia belum tau siapa kamu. Emang beneran orang kaya, kok."Spontan kuletakkan telunjukku di bibir. "Jangan buka kartu. Lagian yang kaya juga orang tua. Aku punya apa?""Nah, yang gini nih bikin aku makin jatuh cinta. Kamu itu udah cantik, low profile banget. Perfecto."Kucubit pinggang Dewa hingga dia meringis kes
"Aku terharu aja.""Maafin aku selama ini, ya?" Dewa makin mengeratkan pelukannya.Sigap kuseka jejak-jejak air mata, lalu melerai pelukan karena samar-samar kudengar suara seperti orang menarik handle pintu dan diikuti derap langkah dari arah belakang. Aku terdiam sejenak demi memastikan suara yang baru saja melintas di indera pendengaranku itu."Kayak suara orang buka pintu belakang," ucapku masih menajamkan pendengaran. Namun, perlahan suara tersebut menghilang."Mana? Aku gak dengar apa-apa," timpal Dewa sembari memicing seperti berusaha menangkap suara."Coba aku cek dulu." Aku seketika melangkah.Dewa spontan mencegahku. "Kamu di sini aja. Biar aku yang ngecek." Kemudian, dia berjalan menuju belakang.Karena penasaran, aku menyusul Dewa. Ketika di pintu dapur, kulihat suamiku itu sedang menutup kembali pintu pagar bagian belakang. Ya, halaman belakang rumah ini memang dikelilingi pagar yang terbuat dari kayu. Dewa kemudian berdiri mematung seraya mengitari sekitar."Suara apa tad
Spontan pandangan Bu Soni mengarah ke sebelah. "Lho, Bu Dar udah di sini. Perasaan tadi saya liat njenengan lagi di belakang. Tadi bikin apa, Bu Dar? Kok saya liat njenengan ke arah belakangnya Tante Dewa."Seketika aku menoleh ke arah Dewa dan suamiku itu juga ternyata menatapku. Kami pun saling pandang sesaat, lalu mengalihkan pada diri masing-masing. "Itu lho, saya nyari ayam. Pas saya liat ayamnya masuk ke halaman belakangnya Bu Dewa. Kalau saya gak liat tadi, terus saya gak tau ya bahaya. Bisa-bisa ayam saya ilang," jawab Bu Dar dengan nada sewot. Matanya celingukan ke sana kemari.Ternyata benar, yang dilihat Dewa tadi memang Bu Dar. Aku sejenak menyeringai. Bisa-bisanya masuk halaman rumah orang tanpa permisi. Dasar tetangga aneh."Ya udah, kita pamit dulu. Nanti kesorean." Akhirnya Dewa mendekatiku dan mengajak pulang."Oke lah. Saya pamit dulu, ya ibu-ibu. Besok ketemu lagi," basa-basiku. Sekilas kulihat raut wajah Bu Dar masam sambil melengos. Mungkin dia kesal karena kami t
Jeda beberapa saat, bamin keluar dari rumahnya. Sigap Dewa segera menghampiri dan aku mengekor di belakangnya. Ketimbang duduk di dekat ibu-ibu itu, mending ikut suamiku."Mau bayar baju olahraga yang kemarin itu, Bamin," ucap Dewa seraya menjulurkan sejumlah uang."Berarti gak usah potong gaji nih?" timpal Bamin sambil menerima uang dari Dewa.Suamiku menggeleng. "Siap, gak usah Bamin."Tak banyak waktu, Dewa langsung pamitan karena memang mentari telah memancarkan semburat orange-nya. Kemudian, kami berjalan melewati kerumunan ibu-ibu menuju mobil. Ketika kusapa mereka, hampir semuanya melengos. Hanya ada beberapa yang menyahut sapaanku. Ya ampun, nyesek sekali rasanya. Gimana nanti kalau aku tinggal di sini? Sepertinya aku bakal membatasi diri demi menghindari tetangga toxic.Dewa segera melajukan mobil. Di tengah perjalanan, dia menawariku mampir ke rumah Bu Danton. Namun, kutolak. Selain capek, aku sudah trauma jika harus berhadapan dengan ibu-ibu asrama. Mendingan istirahat di r
"Yang sabar, coba aku lihat SMS-nya."Dewa kembali memungut ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu menunjukkannya padaku. Setelah kubaca tulisan di ponsel tersebut, seketika rasa iba menyeruak. Bagaimana jika Dewa mengetahui kebenaran bahwa dia bukan putra kandung dari keluarga Himawan? Pasti yang melakukan ini Jems, tak ada yang lain."Enak aja ada yang mau ngaku-ngaku anak Papi! Anak Papi sama Mami itu cuma aku." Dewa tampak begitu geram.Kemudian, Dewa tampak menghubungi seseorang. Namun, yang kudengar justru suara operator menunjukkan bahwa nomor tersebut sedang tidak aktif."Sialan! Nomornya langsung gak aktif!" lanjut Dewa sembari memukul telapak tangannya sendiri."Papi harus tau tentang ini. Aku akan kasih tau. Kurang ajar!" Dewa spontan bergegas keluar.Tapi, tangannya segera kutarik. Aku tak bisa membayangkan jika Dewa mengusut tuntas dan mengetahui kebenarannya. Hatinya pasti hancur. Saat ini bukan waktu yang tepat."Tunggu dulu! Mendingan kamu pikir tentang r