"Aku terharu aja.""Maafin aku selama ini, ya?" Dewa makin mengeratkan pelukannya.Sigap kuseka jejak-jejak air mata, lalu melerai pelukan karena samar-samar kudengar suara seperti orang menarik handle pintu dan diikuti derap langkah dari arah belakang. Aku terdiam sejenak demi memastikan suara yang baru saja melintas di indera pendengaranku itu."Kayak suara orang buka pintu belakang," ucapku masih menajamkan pendengaran. Namun, perlahan suara tersebut menghilang."Mana? Aku gak dengar apa-apa," timpal Dewa sembari memicing seperti berusaha menangkap suara."Coba aku cek dulu." Aku seketika melangkah.Dewa spontan mencegahku. "Kamu di sini aja. Biar aku yang ngecek." Kemudian, dia berjalan menuju belakang.Karena penasaran, aku menyusul Dewa. Ketika di pintu dapur, kulihat suamiku itu sedang menutup kembali pintu pagar bagian belakang. Ya, halaman belakang rumah ini memang dikelilingi pagar yang terbuat dari kayu. Dewa kemudian berdiri mematung seraya mengitari sekitar."Suara apa tad
Spontan pandangan Bu Soni mengarah ke sebelah. "Lho, Bu Dar udah di sini. Perasaan tadi saya liat njenengan lagi di belakang. Tadi bikin apa, Bu Dar? Kok saya liat njenengan ke arah belakangnya Tante Dewa."Seketika aku menoleh ke arah Dewa dan suamiku itu juga ternyata menatapku. Kami pun saling pandang sesaat, lalu mengalihkan pada diri masing-masing. "Itu lho, saya nyari ayam. Pas saya liat ayamnya masuk ke halaman belakangnya Bu Dewa. Kalau saya gak liat tadi, terus saya gak tau ya bahaya. Bisa-bisa ayam saya ilang," jawab Bu Dar dengan nada sewot. Matanya celingukan ke sana kemari.Ternyata benar, yang dilihat Dewa tadi memang Bu Dar. Aku sejenak menyeringai. Bisa-bisanya masuk halaman rumah orang tanpa permisi. Dasar tetangga aneh."Ya udah, kita pamit dulu. Nanti kesorean." Akhirnya Dewa mendekatiku dan mengajak pulang."Oke lah. Saya pamit dulu, ya ibu-ibu. Besok ketemu lagi," basa-basiku. Sekilas kulihat raut wajah Bu Dar masam sambil melengos. Mungkin dia kesal karena kami t
Jeda beberapa saat, bamin keluar dari rumahnya. Sigap Dewa segera menghampiri dan aku mengekor di belakangnya. Ketimbang duduk di dekat ibu-ibu itu, mending ikut suamiku."Mau bayar baju olahraga yang kemarin itu, Bamin," ucap Dewa seraya menjulurkan sejumlah uang."Berarti gak usah potong gaji nih?" timpal Bamin sambil menerima uang dari Dewa.Suamiku menggeleng. "Siap, gak usah Bamin."Tak banyak waktu, Dewa langsung pamitan karena memang mentari telah memancarkan semburat orange-nya. Kemudian, kami berjalan melewati kerumunan ibu-ibu menuju mobil. Ketika kusapa mereka, hampir semuanya melengos. Hanya ada beberapa yang menyahut sapaanku. Ya ampun, nyesek sekali rasanya. Gimana nanti kalau aku tinggal di sini? Sepertinya aku bakal membatasi diri demi menghindari tetangga toxic.Dewa segera melajukan mobil. Di tengah perjalanan, dia menawariku mampir ke rumah Bu Danton. Namun, kutolak. Selain capek, aku sudah trauma jika harus berhadapan dengan ibu-ibu asrama. Mendingan istirahat di r
"Yang sabar, coba aku lihat SMS-nya."Dewa kembali memungut ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu menunjukkannya padaku. Setelah kubaca tulisan di ponsel tersebut, seketika rasa iba menyeruak. Bagaimana jika Dewa mengetahui kebenaran bahwa dia bukan putra kandung dari keluarga Himawan? Pasti yang melakukan ini Jems, tak ada yang lain."Enak aja ada yang mau ngaku-ngaku anak Papi! Anak Papi sama Mami itu cuma aku." Dewa tampak begitu geram.Kemudian, Dewa tampak menghubungi seseorang. Namun, yang kudengar justru suara operator menunjukkan bahwa nomor tersebut sedang tidak aktif."Sialan! Nomornya langsung gak aktif!" lanjut Dewa sembari memukul telapak tangannya sendiri."Papi harus tau tentang ini. Aku akan kasih tau. Kurang ajar!" Dewa spontan bergegas keluar.Tapi, tangannya segera kutarik. Aku tak bisa membayangkan jika Dewa mengusut tuntas dan mengetahui kebenarannya. Hatinya pasti hancur. Saat ini bukan waktu yang tepat."Tunggu dulu! Mendingan kamu pikir tentang r
Selepas dua gadis tadi pergi, aku menyusul Dewa masuk ke mobil. Ketika di dalam, kutuntaskan gelak tawa. Aku tak berhenti tertawa saat mengingat kejadian yang baru saja terjadi."Kamu ketawanya lepas banget. Aku seneng liatnya." Dewa berbicara sambil membenarkan posisi spion yang ada di depannya. Sejenak kuhentikan tawa. "Habisnya Mbak tadi lucu banget. Duh, gak kebayang gimana malunya, tuh."Sambil memasang seat belt, Dewa kemudian menyalakan mesin mobil. "Biarin aja. Mungkin itu cara mereka untuk membahagiakan dirinya sendiri." Suamiku itu perlahan melajukan mobil.Di sepanjang jalan, aku masih menyerocos membicarakan dua gadis tadi. Pun dengan Dewa. Sesekali kunikmati pemandangan wajah suamiku yang semakin hari semakin menyenangkan. Dewa yang sekarang di sampingku ini seperti bukan Dewa saat bersama Nindi. Dia benar-benar berubah tiga ratus delapan puluh derajat. Tak terasa kami tiba di rumah. Tampak Mang Dikin baru keluar, sepertinya beliau baru pulang menjemput Papi."Den, ditu
"Gak papa, Sayang. Gak masalah. Mami bener-bener salut sama kamu. Kamu itu berasal keluarga berada, tapi sifatmu rendah hati. Didikan mama sama papamu emang the best." Mami mengacungkan jempol ke arah Mama.Mama pun tertawa. "Ada-ada aja, Jeng. Saya itu selalu didik anak-anak buat hidup sederhana karena kehidupan ini selalu berputar. Saat ini emang kita ada, tapi gak tau ke depannya nanti. Ya, biar mereka gak kaget kalau sewaktu-waktu kita ada di bawah."Aku hanya mematung menyaksikan dua wanita bak malaikat itu berbincang. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada Diva. Sejak aku berada di sini tak tampak batang hidung adik semata wayangku itu."Diva mana, Ma? Kok, gak keliatan?" tanyaku seraya menyela obrolan Mama dan Mami.Mama sejenak menghentikan obrolannya, lalu menatap ke arahku. "Oh, adekmu ada kegiatan di kampus. Gak bisa ikut ke sini, tadi dia cuma nitip salam. Apa dia gak kasih tau kamu?""Oh, gitu ya. Gak tau juga, Ma. Soalnya dari tadi aku belum lihat HP."Kemudian, Mama dan Mami
"Kamu siap-siap duluan sana. Cewek itu kalo dandan, kan lama. Aku belakangan aja," tutur Dewa dari tempatnya berada."Iya," jawabku mengambang. Pikiranku masih tertuju pada SMS dari Winda. Tak kusangka ada wanita sepertinya. Setelah Nindi, sekarang dihadapkan dengannya lagi.Perlahan aku melangkah gontai melewati Dewa. Dalam hatiku masih bergejolak. Memang suamiku bisa menolak, tapi jika digoda terus menerus aku tak menjamin dia tidak akan goyah. Baru beberapa langkah hendak menuju kamar mandi, suara Dewa menghentikanku.Sejenak aku menoleh. "Kenapa?""Sini dulu," jawabnya sambil menepuk-nepuk tempat tidur pertanda meminta diriku duduk di sampingnya.Aku kembali. "Ada apa?" Bibir ini berusaha kutarik lebar. "Kamu kenapa? Gak kayak biasanya." Dewa menarikku hingga kuhempaskan bokong dan duduk di sebelahnya.Aku terdiam sejenak. Tak ingin Dewa tahu apa yang menjadi keganjalan hatiku. Namun, dia terus mendesak dan begitu penasaran."Suer, aku gak papa." Masih kupasang wajah datar.Seket
Ketika suamiku itu hendak mendekatkan kepalanya di dekatku, tiba-tiba ponselnya berdering. Namun, dia tak menghiraukan dan melanjutkan aksinya. Sayangnya, benda pribadinya itu tak berhenti berdering. Sepertinya memang benar-benar penting. Gegas Dewa beringsut dan menuju meja samping tempat tidur. Kulihat dia mengambil ponselnya. Ketika dia pegang benda tersebut, sepertinya panggilannya telah berakhir.Dewa pun seketika berdecak kesal sambil memandangi layar ponselnya. "Sialan!" Kemudian, dia cepat-cepat menuju lemari dan mengeluarkan seragam lorengnya."Ada apa?" tanyaku penasaran.Belum sempat dia jawab, ponselnya kembali berdering. Gegas suamiku itu menerima panggilan."Siap, siap. Saya sekarang menuju ke sana." Dewa langsung mengenakan seragam lorengnya dengan sangat cepat. Kemudian, dia mencari kaus kaki serta sepatunya. Aku masih penasaran. Sebenarnya dia mau ke mana malam-malam begini?Segera kudekati suamiku itu dan menuntaskan rasa penasaranku. "Kamu mau ke mana?"Dewa sejena