Malam menjelang. Helena mengendap memastikan jika Olivia sudah tertidur. Pintu yang tidak terkunci tentu saja memudahkan dirinya untuk masuk. Setelah dirasa aman, Helena kembali ke luar. Tok tok tok! Helena mengetuk pintu kamar Bagas. "Ck! Masa jam segini udah tidur?" Helena merasa kesal karena Bagas tak kunjung membukakan pintu. Lagi, Helena mengetuk pintu lebih kencang. "Apa, sih?!" tanya Bagas kesal saat membuka pintu. Helena nyelonong masuk. "Ke luar!"Bukannya ke luar, Helena justru merebahkan diri di kasur. "Lena tau apa yang akan Anda lakukan, Tuan," ledek Helena. "Hallaahh! Sok tau!"Hening. "Lena gak mau hidup susah!"Bagas tersenyum sinis. "Lalu?""Pokoknya, Lena pastikan Darren jatuh dalam pelukan Lena!""Sudah kuduga!"Helena terkekeh-kekeh. Pun dengan Bagas yang mengatakan bahwa dirinya akan menemui Sadewo untuk meminta keadilan. Adik kakak itu akan menggunakan waktu selama tujuh hari sebaik-baiknya. ***Pagi itu Bagas dan Helena mengantar Olivia ke bandara.
Rumah megah bak istana sudah di depan mata. Mobil hitam nan mewah pun sudah memasuki gerbang. Darren bergegas turun. Kaki jenjangnya melangkah tegas menuju rumah. Tempat pertama yang Darren tuju tentu saja kamarnya. Baru saja merebahkan diri, terdengar suara ketukan pintu. "Masuk saja, tidak dikunci," ujarnya. Darren merubah posisinya menjadi duduk setelah tahu siapa yang menemuinya. "Bagas beneran datang ke kantor?" tanya Sadewo. "Iya. Meminta yang tentu saja menurutnya adalah sebagai haknya.""Tolong pertahankan apa pun yang terjadi.""Baiklah, tenang saja.""Ayah bertanya boleh?"Darren mengangguk. "Silakan!""Bagaimana kalau Ayah kembali bersama ibumu?"Darren tersenyum tipis. Ia menjawab jika keputusan itu sudah pasti ada di tangan Rossi."Aku bukan anak kecil yang harus dibujuk rayu agar menerima pinangan seseorang kepada ibunya. Itu urusan kalian.""Intinya setuju?""Kalau ibu bahagia, aku pun turut. Tapi, yang menjadi pertanyaan, apakah ibu mau?"Mendengar pertanyaan demi
Tak lama setelah mengakhiri pembicaraan dengan Bagas, dua orang direktur berikut bawahan mereka masuk ke ruangan Darren. Mereka menundukkan kepala, tak berkutik.Darren paham betul dengan sikap mereka. Ia menghubungi Abimanyu dan kepala HRD agar segera ke ruangannya. Pun kedua polisi yang sedari tadi berada di luar. Tak lupa meminta Bagas untuk turut hadir. "Baiklah, semua sudah berkumpul. Sejujurnya saya tidak mau hal seperti ini terjadi. Saya tahu, istri atau orang tua Anda semua pasti kecewa. Pun mungkin saja hati Anda semua saat ini menyimpan dendam kepada saya," ujar Darren. Darren meminta semua menyebutkan peran masing-masing. Bahkan salah satu diantara mereka mengatakan jika dirinya tidak dapat mengembalikan uang tersebut karena sudah ia kirimkan kepada ibunya di desa. "Saya siap ditahan, Tuan," ucapnya sambil mengulurkan kedua tangan siap untuk diborgol.Batin Darren berkecamuk. Sungguh miris. Ia sendiri merasakan bagaimana hidup kekurangan. Akan tetapi, menyelewengkan uang
Di balik kemudi, Darren menghubungi Sadewo. Ia memastikan keberadaan sang ayah. "Ayah masih di rumah. Sebentar lagi akan pergi. Ada apa?""Tunggu! Ada hal penting yang harus dibicarakan.""Baiklah. Ayah tunggu."Darren mengakhiri panggilan. Mobil pun ia pacu dengan kecepatan tinggi. Mobil milik Darren sudah terparkir di garasi rumah utama. Gegas ia turun dan menemui Sadewo. "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Sadewo penasaran. Darren duduk di sofa. "Bagas datang ke kantor. Tepatnya saat kita melaksanakan rapat.""Lalu?""Dia membawa surat kepemilikan perusahaan. Di sana jelas tertulis bahwa pemilik perusahaan adalah Bagas, lengkap dengan tanda tangan pemberi waris.""Apa?!" Sadewo tercengang sambil memegang dadanya. Rasa sakit menyerang. "Tidak! Tidak mungkin! Ayah tidak pernah menandatangani. Jangankan menandatangani, membuat suratnya saja tidak pernah!""Ayah! Ayah tenang dulu!" Darren menenangkan Sadewo dan menjelaskan perihal kebenaran surat itu. "Ge punya bukti jika surat
Hari demi hari kesehatan Rossi berangsur membaik. Wanita paruh baya itu menyibukkan diri di dapur. Ia kekeh ingin menyiapkan sarapan untuk putranya. "Kenapa sepagi ini ada di sini?" tanya Sadewo. "Maaf, sudah berani memakai dapur punya Mas," ujar Rossi. "Emm ... maksud Mas bukan itu. Tapi, harusnya kamu istirahat. Biarkan bibi yang memasak.""Aku sudah terbiasa. Sudah lama juga tidak membuatkan masakan kesukaan putraku."Sadewo hanya menghela napas. "Bi, tolong buatkan saya nasi goreng!" titah Sadewo kepada pembantunya. "Baik, Tuan."Sadewo pergi meninggalkan dapur. Seiring dengan kepergiannya, Rossi mengatakan kepada sang pembantu agar dirinya saja yang membuatkan nasi goreng untuk Sadewo. Ucapan Rossi samar terdengar oleh Sadewo. Senyum pun terukir lebar. Aneka menu sudah terhidang di meja makan. "Bi, tolong panggilkan Tuan. Biar saya yang panggil Darren," kata Rossi. "Baik, Nya."Tok tok tok! Rossi mengetuk pintu seraya memanggil Darren. "Ge, sarapan sudah siap!"Selang be
Di apartemen, Helena sedang asyik menghubungi Olivia. Gadis itu bercerita perihal sang kakak yang sudah menjadi pemilik perusahaan. "Apa?! Apa yang sudah kakakmu lakukan, Lena?katakan!""Ka-kalau itu, Lena tidak tau, Mi.""Jangan bohong! Selama ini kalian selalu bersekongkol!""Mi, come on! Kita seperti ini juga ikutin Mami!""Jaga mulutmu!"Brak! Pintu kamar Helena terbuka dengan kencang. "Astaga!" Helena kaget. "Mi, sepertinya Kak Bagas ada masalah," ucapnya pelan. Helena menaruh ponsel tanpa mematikannya. "Kenapa, sih?" tanya Helena kepada Bagas. Napas Bagas memburu. Rahangnya mengeras. "Bangsat! Darren dan Sadewo sudah mempermalukan aku di hadapan para investor!""Maksudnya?""Perkara tanda tangan palsu Sadewo yang sudah aku palsukan itu!""Di surat kepemilikan perusahaan itu?" Helena memastikan.Bagas mendengkus. "Ck! Di mana lagi? Banyak tanya!"Helena menepuk bantal. "Jadi, kita miskin lagi, dong?"Seketika mata Helena membola, mengingat sesuatu. Q"Uang yang sudah Kakak
Di IGD sebuah rumah sakit, tampak Bagas tengah mendapatkan pertolongan pertama. Wajah tampannya penuh luka lebam, bahkan terus meringis sambil memegang pergelangan tangan kirinya. Erangan Bagas karena sakit menggema."Aaaah! Pelan-pelan, Dokter!" seru Bagas saat mendapatkan beberapa jahitan di pelipis dan ujung bibir. "Tahan sebentar. Tangan anda juga patah. Untungnya tidak harus operasi, hanya pasang gips saja."Dokter pun membalut tangan yang patah itu. "Darren sialan!" celetuk Bagas. Pletak! Salah seorang pengawal Darren memukul kepala Bagas. "Sembarangan! Masih untung anumu tidak Tuanku patahkan!"Bagas mendengkus. "Sudah selesaikan, Dok? Tidak usah dirawat, kan?" tanya pengawal Darren. "Ti-""Rawat saja, Dok, rawat!" timpal Bagas. "Tidak usah, Tuan," lanjut dokter itu. "Ayok!" Pengawal Darren memasang borgol di tangan kanan Bagas, lalu dikaitkan dengan tangan dirinya. "Dia seorang tahanan?" tanya sang dokter. "Iya. Dia penjahat kelamin!"Dokter itu melongo, kemudian t
Semua menu sarapan akhirnya berhasil terhidang. Olivia bergegas menyendok nasi, serta lauk-pauk untuk Bagas, kemudian ia simpan di atas nampan. "Bagas, buka pintunya!" seru Olivia. Tidak berselang lama, Bagas membuka pintu. "Kenapa gak sama pembantu aja, sih, Mi?"Olivia masuk, kemudian menyimpan nampan itu di atas meja. "Di sini tidak ada pembantu. Kalau pun kamu sehat, tidak akan Mami bawakan meskipun kamu merengek minta diantar ke kamar!""Makanlah," lanjutnya. "Ck! Suapinlah, Mi. Tangan Bagas'kan lagi sakit.""Tangan kananmu, kan, bisa, Gas!""Lagi maen HP!"Olivia melotot. "Simpan dulu! Dan makanlah!"Bagas melempar ponselnya ke atas kasur. Laki-laki itu merasa sikap sang Mami berubah total."Mami kenapa, sih? Gak suka Bagas di sini?""Biasa saja! Habiskan sarapannya dan jangan lupa obatnya diminum. Mami mau siap-siap ke kantor."Olivia meninggalkan kamar Bagas. Akan tetapi, baru saja akan menutup pintu, wanita paruh baya itu berbalik dan kembali menghampiri Bagas. "Mami mau