Kutatap wajah cantik Jesica, dia terlelap hingga tak mendengar pertengkaran kami. Mungkin pengaruh obat, hingga dia tidur dengan pulas.Kucium tangannya, air bening mengalir dari sudut netra. Aku tak sanggup kehilangan dia. Ya Allah persatukan kami dalam ikatan suci pernikahan."Cepat pergi dari sini! Saya muak melihat kamu!" bentak papi Jesica."Maafkan aku Jes." kubisikan di telinganya. Semoga saja dia memaafkanku."Adam, kamu tak mendengar perkataan saya!""Ba-baik Om, saya titip Jesica. Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya." kuangkat bokong dari kursi. Tak ada alasan lagi aku berada di sini.Melangkah gontai, sesekali kulirik Jesica yang masih terlelap. Andai dapat kuulang waktu. Aku akan memilih menolak perjodohan itu. Aku tak sanggup kehilangan kamu Jes. Ini terlalu sakit.*****Kuparkirkan mobil di carport. Berjalan gontai memasuki rumah."Mas Adam sudah pulang? kok tidak terdengar salam?" Aisyah berjalan mendekat mencium tanganku dengan takzim."Kamu tidak mendengarnya mungki
Kami terdiam sembari menatap Jesica, ada kebimbangan di sorot matanya. Aku tahu ini pilihan yang berat untuknya. Aku hanya bisa pasrah. Bila Jesica mau berpindah keyakinan aku siap meninggalkan Aisyah. Dan jika kemungkinan terburuk Jesica memilih mundur, aku hanya bisa menjalani biduk rumah tangga dengan Aisyah walau tanpa cinta."Aku siap berpindah keyakinan pi, mi. Maafkan Jesica.""Papi ikhlas walau berat nak, asalkan kamu sembuh dan bahagia." ucap Om Wibowo. Mereka bertiga akhirnya berpelukan.Aku bernafas lega, setelah ini aku dan Jesica akan hidup bahagia. Untuk restu Umi dan Abi biar datang seiring berjalannya waktu.****Satu bulan setelah kepulangan Jesica dari rumah sakit. Dengan mantap Jesica mengucapkan kalimat syahadat di masjid tak jauh dari kediaman Om Wibowo. Lega bercampur haru menyaksikan itu.Tante Ana berkali-kali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipi. Om Wibowo sendiri terlihat berlapang dada melepas putri kesayangannya untuk berpindah keyakinan.Sesuai kesep
Hari demi hari kulalui seorang diri. Tak terasa usia kandunganku memasuki usia empat bulan, dengan perut membukit seperti hamil usia enam bulan. Mungkin karena ada dua calon bayi di dalamnya.Kurebahkan tubuh di kasur depan televisi. Kasur di kamar ayah yang dipindahkan tetangga yang sedang memperbaiki sambungan pipa di wastafel tempo hari. Sengaja memang karena bosan tiduran di kamar. Kunyalakan televisi, tak sengaja melihat acara memasak yang di tayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Melihat ayam berpadu dengan tepung dan sambal membuat air liur menetes sendirinya. Jarum jam baru menunjukkan angka sembilan. Kusambar hijab dan dompet, berjalan perlahan menuju warung sayur mayur tak jauh dari rumah. Semoga saja masih ada ayam. Karena ingin sekali menyantap ayam dengan dengan sambal bawang. Sebenarnya ingin membeli yang sudah matang saja, tapi aku harus lebih berhemat untuk biaya kelahiran anakku nantinya. Karena aku tak mau meminta sepeserpun uang dari Mas Adam. Bagiku ayah
Mbak Bella melangkah mendekatiku, mengelus pundak. Menguatkan diri ini yang sudah rapuh. "Kamu kuat Aisyah,kamu bisa melewati semua ini. Tak usah mendengarkan omongan orang lain. Belum tentu mereka sanggup melewati semua ini jika berada diposisi kamu."Ucapan Mbak Bella mampu memberi semangat dikala diri ini terpuruk. "Terima kasih Mbak sudah mau mendengarkan curhatan saya. Dan saya minta maaf untuk laporannya. Akan segera saya perbaiki.""Jangan mencampur adukan lagi urusan pribadi dan pekerjaan Ais.""Baik Mbak."Mbak Bella melangkah meninggalkan ruanganku. Namun setelah membuka pintu dia berbalik arah menatapku kembali. "Jadwal periksa kandungan,kan? Saya izinkan kamu pulang lebih awal." ucapnya lalu pergi meninggalkanku yang masih kebingungan. Dari mana Mbak Bella tahu kalau ini jadwal periksa kandungan, aku saja hampir lupa. ****TingSatu notifikasi pesan WhatsApp masuk. Kubuka aplikasi yang berwarna hijau itu. [Aku tunggu di depan ya.]Pesan dari Daniel bikin geleng-gelen
Pov DanielMengantar bumilku memeriksakan kandungan adalah rutinitas yang paling menyenangkan bagiku. Walau sering kali Aisyah melarang, tapi aku tetap setia menemaninya. Momen seperti ini sangat di nantikan bagi sepasang suami istri.Seperti hari ini aku mengantarnya ke rumah sakit. Saat berjalan ke poli kandungan aku melihat sepasang suami istri berjalan bergandengan dan sesekali suami itu mengelus perut istrinya yang telah membukit.Aku membayangkan jika Aisyah adalah istriku. Pasti aku akan melakukan hal yang sama, mengelus dan mencium perutnya yang telah membukit.Tak lupa mengajak berbicara janin yang ada di dalam perutnya. Ah, pasti sangat menyenangkan."Dan," panggil Aisyah."Iya sayang." Kutatap Aisyah. Dia menyatukan kedua alisnya.Apa ada yang salah dengan ucapanku? Kenapa ekspresi Aisyah seperti itu?"Sayang...?" tanya Aisyah memastikan.Astaga, aku kelepasan. Kugaruk kepala yang tak gatal dan pasti mukaku sudah merah menahan malu."Maaf Ais." Aisyah justru tersenyum meliha
Aisyah mengunci pintu rumah, tak lupa menyimpannya di dalam tas. Duduk termenung sembari menunggu ojek online yang telah di pesannya beberapa menit yang lalu.Sudah hampir lima belas menit dia menunggu, namun posisi ojek masih sama, belum ada pergerakan. Itu tandanya ojek masih setia di tempatnya.KriiiinggKriiiinggPonsel Aisyah menjerit-jerit, tanpa menunggu lama Aisyah menggeser ke atas tombol hijau yang tertera di layar ponsel."Sampai mana Pak?" tanya Aisyah dengan suara sedikit meninggi."Maaf Mbak, dicancel saja ya, ban sepeda motor saya bocor terkena paku. Ini baru mencari bengkel mbak." jawab ojek dengan suara serak, merasa bersalah karena harus mengecewakan pelanggan. Meski ini buka sepenuhnya kesalahannya,semua murni musibah."Aduh, ya sudah kalau begitu." dengan raut kecewa Aisyah mematikan sambungan telepon. Membatalkan pesanan dari aplikasi online.Aisyah kembali mengotak atik benda pipih miliknya. Memesan kembali ojek online. Tapi belum ada juga yang menerima orderann
Bella mulai membicarakan pokok-pokok kerjasama yang akan dilakukan dengan Putra. Dengan seksama Aisyah memperhatikan. Berbeda dengan Putra yang lebih fokus memperhatikan wanita yang ada di hadapannya.Putra terdiam, bukan mendengarkan ucapan Bella tapi justru memikirkan cara meminta maaf dan merebut hati Aisyah kembali. Bagi Putra Aisyah lebih penting dari meeting saat ini."Apakah ada pertanyaan Pak Putra mengenai kerja sama kita yang baru?" tanya Bella.Netra Putra berputar-putar, kebingungan mau menjawab apa? Bagaimana dia bisa menjawab sedang yang dibicarakan saja dia tidak tahu menahu."Tidak Bu Bella, saya sangat setuju dengan apa yang ada ucapkan barusan."ucap Putra lantang.Walau di dalam hatinya ada keraguan, tapi Putra malu memperlihatkannya di hadapan Aisyah."Baiklah kalau begitu, meeting hari ini selesai. Untuk kontrak kerja samanya akan di berikan Aisyah besok Pak." ucap Bella menutup meeting pagi ini."Baik Bu." ucap Putra.Aisyah berjalan perlahan meninggalkan ruang me
"Mbak Tiara Aisyah ya?" tanya driver taxi online yang kupesan."Iya Pak," ku buka pintu belakang mobil, perlahan ku jatuhkan bobot di kursi penumpang "sesuai aplikasi ya Pak.""Baik Mbak."Sang driver mulai melajukan mobil, meninggalkan restoran berserta Putra. Tanpa bisa di tahan bulir bening mengalir begitu saja. Dada terasa sesak kalau mengingat tingkah Putra dan Mas Adam.Apakah lelaki sama saja? Hanya memikirkan ego dan keinginannya saja. Tak pernahkan mereka merasakan apa yang kaum hawa rasakan?Samar-samar terdengar suara adzan magrib. Teringat ayah yang selalu mengingatkanku agar shalat tepat waktu. Selalu ingat pada Sang Pencipta."Ayah..." lirihku sambil terisak. Aku merasa tak bisa menjalankan amanat terakhir yang beliau ucapkan padaku."Jadilah istri yang sholehah nak." ucapnya kala itu sebelum ijab qabul dilaksanakan.Maafkan anakmu ini yah.Maafkan Aisyah yang tak bisa menjadi istri sholehah."Sudah sampai Mbak."ucap Pak driver menyadarkanku dari lamunan."Terima kasih P