Semalam, saat Dena kembali pulang ke rumah, kedua orang tuanya curiga dengan wajah sembab putrinya. Setelah ditanya juga didesak, Dena akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Tanpa pikir panjang, papa segera menelpon Prabu, untuk mendaftar surat cerai putrinya. Dena menolak, ia tak ingin bercerai sebelum bisa mendengar pengakuan Tara jika ia tak mencintainya lagi. Sayangnya, hati orang tua yang sudah terluka, tak bisa Dena halau. Hanya air mata yang bisa Dena tumpahkan sambil memeluk mamanya yang juga terisak pilu.
Tragis, nasib putri yang ia kandung, lahirkan, dididik dengan baik hingga besar, giliran tiba dipinang seorang pria, disakiti dengan mudahnya, oleh keluarga sang pria. Keterlaluan. Dena akhirnya pasrah, ia melepaskan semua ke Omnya saja. Prabu yang sudah tau duduk perkara, segera mendaftarkan gugatan cerai itu.
Ia menatap pantulan dirinya pada spion tengah mobil, jam tujuh tiga puluh, ia tiba di toko roti perancis yan
Bibir Dena terkatup rapat. Bahkan saat menikmati makan siang masakan jepang itu, ia tak bersuara satu kata pun. Hal itu membuat pak Galih bingung, tapi sungkan untuk bertanya ke asprinya itu. Istri pak Galih tidak ikut makan siang, setelah mengantar obat dan vitamin, ia bergegas pergi karena harus ke sekolah anak keduanya yang masih SMP kelas tiga. Ya... bisa dikatakan pak Galih dan istrinya memang terlambat menikah, pasalnya, di masa lalu, keduanya merupakan rival di perusahaan yang sama dengan nama berbeda. Sama-sama menjabat CEO sehingga melupakan kisah asmara. Alhasil, setelah istri pak Galih merasa jika ia sudah saatnya menikah, seketika, pak Galih langsung melamar, yang ternyata, kedua sudah saling suka sejak lama. Lucu, kadang tanpa di sadari, cinta dan jodoh sedekat itu."Dena, bisa kamu hubungi orang HRD, bilang kalau dua hari lagi, Adim resmi bekerja di kantor kita, masuk departemen keuangan sebagai kepala audit intern."
Pov Adim. Terpikir olehku, siapa dia? Di mana aku pernah ketemu, ya? Dan, setelah langkah kakiku menjauh dari toko roti perancis itu, ingatan beberapa tahun silam kembali muncul. Dena. Ya, aku ingat namanya. Bagaimana lupa... gadis SMA yang menangis histeris saat hampir diperkosa laki-laki berengsek. Sengaja di buat mabuk minuman alcohol, tapi masih bisa nalar melawan. Aku rasa, alcohol itu tak berpengaruh pada kehilangan kesadaran dirinya secara penuh, atau, memang ia memiliki malaikat pelindung sehingga bisa menyelamatkannya dari nasib sial malam itu.Aku menoleh lagi, melihat ke dalam toko yang kacanya transparan, mencoba sekali lagi memastikan jika memang ia Dena. Sial, aku harus segera berjalan kaki ke arah gedung tempat ku bertemu dengan CEO perusahaan kelapa sawit multinasional. Mobil sengaja tak ku bawa, repot, ini Jakarta, men, kalian mau segaya apa bawa mobil tetap saja, kalau nggak berangkat p
"Kenapa Pak Adim tanya hal itu?" Dena mengernyitkan kedua alisnya, ia juga menatap lekat Adim yang mengalihkan pandangan ke pintu lift setelah sebelumnya melirik ke wanita itu.Ting! Suara pintu lift membuyarkan fokus Dena. Tak menjawab, Adim melenggang santai ke arah meja kerjanya yang berbelok ke kanan, sementara Dena ke kiri."Pak Adim!" panggil Dena, pria itu menoleh, menatap Dena dengan satu tangan ia masukkan ke dalam saku celananya."Jangan mau tau urusan orang lain," ucap Dena lalu tersenyum tipis. "Happy working, Pak," pamitnya lalu berjalan menuju ke meja kerjanya. Adim masih membeku di tempat, mendadak ia seperti tertampar dengan pernyataan Dena tadi. Ia diam, berjalan ke arah meja kerjanya dengan pikiran dan ia juga mengumpat dirinya di dalam hati.***"Cerai dulu, Tara. Suara Kanti membuat Tara menoleh cepat, keduanya sedang berada di keda
Hari wisuda Argi tiba, Dena sengaja mau menjemput bapak dan Argi di rumah yang membuatnya terkurung, juga merasakan tekanan yang hampir membuatnya gila. Ia menghela napas, bersiap menghadapi apa pun yang ada di dalam rumah itu. Ia membuka pagar, penampilan saat itu memakai kebaya warna marun, dengan kain jawa yang ia jahit model rok span semata kaki, rambut panjang lurusnya hanya ia blow ke dalam sehingga membuatnya cukup ber-volume."Assalamualaikum," sapanya."Waalaikumsalam," suara bapak terdengar dari arah kamar. Pintu kamar terbuka, memunculkan sosok yang Dena hormati. Ia melepas sepatu hak tingginya, lalu berjalan menghampiri bapak, mencium tangan lalu memeluk erat. "Bapak kangen kamu, Nak," lirihnya begitu sedih, terdengar dari suara bapak yang bergetar."Dena juga, Pak. Bapak sehat, kan?" Ia melepaskan pelukan, bapak mengangguk. "Ganteng banget, Pak, bagus baju batiknya," puji Dena.
"Kamu, ngapain?" tanya Adim dengan tatapan sinis. Lagi-lagi, sinis tapi perhatian."Adiknya Mas Tara wisuda, dia minta aku dan Bapak mertua— maksudnya mantan Bapak mertuaku datang," jawab Dena."Nggak ada mantan orang tua, Dena, walau mertua. Tetap aja orang tua." Ketus Adim lagi. Dena hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf O sambil manggut-manggut."Kalau gitu say—""Temani saya." Tangan Dena sudah di genggam Adim yang berjalan keluar hotel bintang lima itu."Mau ke mana, Pak, Adik dan Bapak saya nanti cari saya kalau saya nggak kasih kabar mau ke mana, sama siapa, dan ngap—" Dena diam. Adim berhenti berjalan, lalu berbalik badan."Telpon Adik kamu itu. Bilang, kalau kamu temani rekan kerja makan. Buruan sana. Saya laper belum makan." Perintahnya. Dena mengangguk cepat, lalu buru-buru mengelurkan ponsel, dan mengirim ch
Kedua mata ibu melirik ke amplop yang di geletakkan Dena di atas meja. Tara yang duduk di sofa ruang tamu sambil sesekali mengusap wajahnya karena mendadak, ia seperti cemburu dengan Dena yang memiliki 'pacar baru'."Maksud Dena apa begini? Rendahin kamu, Tara?" tanya ibu sambil membuka isi amplop. Pura-pura nanya, padahal penasaran juga sama isinya berapa banyak. Tara melirik."Ibu udah dengar sendiri penjelasannya, kan? Tara sekarang udah turun jabatan, gaji dan tunjangan bulanan juga di sesuaikan. Dia mau bantu Tara untuk penuhi kebutuhan Ibu." jawabnya."Emang, Dena masih suka di supply uang bulanan sama Mama Papanya?" lanjut ibu sambil menghitung uang di tangannya."Masih. Cuma sesudah menikah, Tara minta distop. Tara malu, kesannya nggak bisa kasih uang ke Dena, dan ternyata..., benar. Karena Ibu minta uang Tara yang harusnya untuk Dena, kan?" ucapnya bernada sinis. Ibu melirik taj
"Dia bukan tipe saya, Pak. Nggak ada yang PDKT juga." sanggah Adim cepat tanpa melihat ke Dena yang sudah berdiri di sebelah pria itu. Ia pamit berjalan keluar ruang rapat, lalu duduk di meja kerjanya lagi. Dena diam, mendadak kepikiran ucapan Adim tadi.Ia menggelengkan kepala dengan cepat, lalu fokus menatap monitor komputer, memeriksa pekerjaan lagi. Ternyata, masih saja kepikiran, seenaknya Adim bilang kalau Dena bukan tipenya. "Mulutnya nggak bisa nyenengin orang amat kalau ngomong, nggak tau kalau bisa nyakitin. Apa emang gue nggak bisa jadi tipe yang di mau laki-laki, ya? Mas Tara aja jadinya gini, kan? Malah..., hah..." desah Dena.Lalu, kedua matanya melirik ke layar ponsel miliknya. Pesan masuk dari Adim ia terima.Adim : "Makan siang bareng. Tungguin aku di basement dekat mobil aku. Sedan hitam ada sticker bendera Indonesia di sudut kaca belakang sebelah kanan."
Suara Kanti yang mual muntah terdengar di dalam kamar mandi rumah kedua orang tuanya. Mamanya menghampiri, langsung melempar pertanyaan tanpa basa basi lagi. "Kamu hamil? Anak Tara, kan?" tanyanya dingin."Belum tau pasti hamil apa nggak, Ma, masuk angin kali," jawabnya santai sambil melanjutkan kumur-kumur."Nti, jangan bikin Mama Papa makin senewen sama kalian. Nikah... nikah...! Nggak... ya nggak! Kalian tuh udah kumpul kebo dari dulu. Jangan kira Mama nggak tau, apalagi Papa. Mama capek lihat anak perempuan Mama satu-satunya begini amat hidupnya." Kalimat teguran itu membuat Kanti melirik ke wanita itu sedikit kesal."Ma..., udah lah, Ma, sekarang Mama fokus urus Kak Yanuar, Kanti bisa urus diri sendiri," ucapnya sambil berjalan keluar dari kamar mandi itu. Mama mengikuti di belakangnya."Kanti! Kamu disainer hebat, Mama juga punya butik yang harus Mama jaga nama baiknya, jangan samp