Hari wisuda Argi tiba, Dena sengaja mau menjemput bapak dan Argi di rumah yang membuatnya terkurung, juga merasakan tekanan yang hampir membuatnya gila. Ia menghela napas, bersiap menghadapi apa pun yang ada di dalam rumah itu. Ia membuka pagar, penampilan saat itu memakai kebaya warna marun, dengan kain jawa yang ia jahit model rok span semata kaki, rambut panjang lurusnya hanya ia blow ke dalam sehingga membuatnya cukup ber-volume.
"Assalamualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam," suara bapak terdengar dari arah kamar. Pintu kamar terbuka, memunculkan sosok yang Dena hormati. Ia melepas sepatu hak tingginya, lalu berjalan menghampiri bapak, mencium tangan lalu memeluk erat. "Bapak kangen kamu, Nak," lirihnya begitu sedih, terdengar dari suara bapak yang bergetar.
"Dena juga, Pak. Bapak sehat, kan?" Ia melepaskan pelukan, bapak mengangguk. "Ganteng banget, Pak, bagus baju batiknya," puji Dena.
"Kamu, ngapain?" tanya Adim dengan tatapan sinis. Lagi-lagi, sinis tapi perhatian."Adiknya Mas Tara wisuda, dia minta aku dan Bapak mertua— maksudnya mantan Bapak mertuaku datang," jawab Dena."Nggak ada mantan orang tua, Dena, walau mertua. Tetap aja orang tua." Ketus Adim lagi. Dena hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf O sambil manggut-manggut."Kalau gitu say—""Temani saya." Tangan Dena sudah di genggam Adim yang berjalan keluar hotel bintang lima itu."Mau ke mana, Pak, Adik dan Bapak saya nanti cari saya kalau saya nggak kasih kabar mau ke mana, sama siapa, dan ngap—" Dena diam. Adim berhenti berjalan, lalu berbalik badan."Telpon Adik kamu itu. Bilang, kalau kamu temani rekan kerja makan. Buruan sana. Saya laper belum makan." Perintahnya. Dena mengangguk cepat, lalu buru-buru mengelurkan ponsel, dan mengirim ch
Kedua mata ibu melirik ke amplop yang di geletakkan Dena di atas meja. Tara yang duduk di sofa ruang tamu sambil sesekali mengusap wajahnya karena mendadak, ia seperti cemburu dengan Dena yang memiliki 'pacar baru'."Maksud Dena apa begini? Rendahin kamu, Tara?" tanya ibu sambil membuka isi amplop. Pura-pura nanya, padahal penasaran juga sama isinya berapa banyak. Tara melirik."Ibu udah dengar sendiri penjelasannya, kan? Tara sekarang udah turun jabatan, gaji dan tunjangan bulanan juga di sesuaikan. Dia mau bantu Tara untuk penuhi kebutuhan Ibu." jawabnya."Emang, Dena masih suka di supply uang bulanan sama Mama Papanya?" lanjut ibu sambil menghitung uang di tangannya."Masih. Cuma sesudah menikah, Tara minta distop. Tara malu, kesannya nggak bisa kasih uang ke Dena, dan ternyata..., benar. Karena Ibu minta uang Tara yang harusnya untuk Dena, kan?" ucapnya bernada sinis. Ibu melirik taj
"Dia bukan tipe saya, Pak. Nggak ada yang PDKT juga." sanggah Adim cepat tanpa melihat ke Dena yang sudah berdiri di sebelah pria itu. Ia pamit berjalan keluar ruang rapat, lalu duduk di meja kerjanya lagi. Dena diam, mendadak kepikiran ucapan Adim tadi.Ia menggelengkan kepala dengan cepat, lalu fokus menatap monitor komputer, memeriksa pekerjaan lagi. Ternyata, masih saja kepikiran, seenaknya Adim bilang kalau Dena bukan tipenya. "Mulutnya nggak bisa nyenengin orang amat kalau ngomong, nggak tau kalau bisa nyakitin. Apa emang gue nggak bisa jadi tipe yang di mau laki-laki, ya? Mas Tara aja jadinya gini, kan? Malah..., hah..." desah Dena.Lalu, kedua matanya melirik ke layar ponsel miliknya. Pesan masuk dari Adim ia terima.Adim : "Makan siang bareng. Tungguin aku di basement dekat mobil aku. Sedan hitam ada sticker bendera Indonesia di sudut kaca belakang sebelah kanan."
Suara Kanti yang mual muntah terdengar di dalam kamar mandi rumah kedua orang tuanya. Mamanya menghampiri, langsung melempar pertanyaan tanpa basa basi lagi. "Kamu hamil? Anak Tara, kan?" tanyanya dingin."Belum tau pasti hamil apa nggak, Ma, masuk angin kali," jawabnya santai sambil melanjutkan kumur-kumur."Nti, jangan bikin Mama Papa makin senewen sama kalian. Nikah... nikah...! Nggak... ya nggak! Kalian tuh udah kumpul kebo dari dulu. Jangan kira Mama nggak tau, apalagi Papa. Mama capek lihat anak perempuan Mama satu-satunya begini amat hidupnya." Kalimat teguran itu membuat Kanti melirik ke wanita itu sedikit kesal."Ma..., udah lah, Ma, sekarang Mama fokus urus Kak Yanuar, Kanti bisa urus diri sendiri," ucapnya sambil berjalan keluar dari kamar mandi itu. Mama mengikuti di belakangnya."Kanti! Kamu disainer hebat, Mama juga punya butik yang harus Mama jaga nama baiknya, jangan samp
Pelukan itu terlepas, Dena meminta maaf karena menerima sikap Adim yang memeluknya seperti tadi. Tak etis, ia masih istri Tara."Pak, sekali lagi saya minta maaf. Saya mohonnn... dengan sangat, Pak Adim jangan bersikap seperti ini ke saya. Jujur, Pak, saya nggak siap untuk hadapin semua bersamaan. Pak Adim jelas paham, saya ada dititik terendah hidup saya, jangan memperkeruh dengan sikap Pak Adim yang beg—""Aku suka kamu," ucap Adim kemudian. Dena yang sebelumnya tertunduk, seketika mendongak lalu menatap lekat dua mata dengan sorot yang tajam itu. Ia menggeleng."Maaf, saya menolak perasaan Pak Adim. Saya nggak bisa, Pak, sekali lagi saya minta ma—""Take your time. Aku tau ini berat. Tapi ucapan aku barusan benar, dan jujur. Kita sama, aku juga gagal memiliki hubungan dengan mantan istriku, sejak dua tahun lalu, dan nggak mudah untuk bisa bangkit," ucapan Adim membuat Dena
Prabu merangkul bahu Dena, ia tak sendiri, dua anak buahnya para pengacara muda juga hadir. Dena sejak berangkat dari rumah hanya bisa diam. Papa dan Mamanya ikut hadir, tapi... nanti, karena menunggu Elmer menjemput. Semua seolah bersiap pasang badan untuk Dena.Belum lagi, Loli, Karin dan Prita mendadak muncul di pengadilan, dengan pakaian kerja. Ketiganya gemas ingin bertemu kubu Tara. Seru, seperti mau perang, dua kubu bersatu.Pak Galih hanya bisa mengiyakan saat tiga karyawannya izin datang siang, mereka mau memberi dukungan ke Dena. Beliau hanya berpesan, untuk tidak memancing keributan di sana. Namanya perempuan kan, pasti ada aja mulutnya komentar."Om, nanti Dena jawab apa?" tanyanya saat Prabu baru selesai lapor diri lalu membawa Dena duduk di ruang tunggu yang ada di tengah-tengah ruangan dengan banyak pintu ruang sidang."Bilang aja yang jujur. Dan jangan lupa, kalau kamu se
Dena turun dari taksi yang membawanya ke bandara, ia dan pak Galih janjian bertemu di lobi bandara, mereka akan melakukan perjalanan dinas ke pabrik kelapa sawit yang ada di pulau Sumatera. Tak lama, rencana empat hari, di pangkas menjadi dua hari alias satu malam oleh pak Galih yang memang ada jadwal berangkat ke Malaysia untuk bertemu beberapa kolega, Dena rencananya akan menemani, tapi tak tau nanti saat waktu tiba, pak Galih suka tak tega dengan asprinya itu."Pagi, Pak," sapa Dena sumringah."Pagi, Den," jawabnya."Pagi Ibu," sapa Dena ke istri pak Galih yang selalu ikut jika suaminya perjalan dinas."Pagi cantik," jawab istri pak Galih."Saya check in dulu, ya, Pak, Bu," pamit Dena berjalan ke counter check in maskapai yang akan mereka gunakan, sementara pasangan suami istri itu tetap berdiri di tempat. Kurang drai setengah jam, Dena sudah selesai meng
Makan malam bersama itu, berlangsung penuh gelak tawa dari pasangan suami istri yang selalu romantis. Dena sesekali ikut tersenyum saat istri pak Galih bercerita tentang dirinya yang rela melepaskan karirnya untuk menjadi ibu rumah tangga saja."Nggak semua soal uang, Dena, tapi memang saya mau di rumah, urus suami dan anak-anaknya. Kalau pun suami saya ini bukan CEO perusahaan ternama, saya juga mau di rumah aja. Saya sudah lelah bekerja dan mengejar karir, karena jujur, untuk perempuan apalagi istri, lebih nyaman berkarir di rumah, karena ya... tidak bersingungan terlalu sering dengan lawan jenis, terus anak-anak terkontrol, kalau memang kita suka bekerja, jadi konsultan atau membantu orang aja tapi kerjanya di rumah.Saya karena basicnya bisnis, saya memilih membuka jasa konsultan UMKM untuk masyarakat, saya sampai belajar self branding dan iklanin jasa saya di medsos. Uangnya memang sedikit, tapi karena saya nggak cari uang,