Lisette bersama keluarganya sudah berada di halaman depan kediaman Schulz. Keluarga Lisette yang terdiri dari ayah, ibu, kakak laki-laki, dan kakak perempuannya sudah siap untuk memberikan salam perpisahan kepada Lisette dan kedua sahabatnya. Karleen datang bersama orang tuanya setelah itu. Begitu juga dengan Edwyn, dia diantar oleh orang tua dan kakak perempuannya.Setelah memberi wejangan dan salam perpisahan, ketiga keluarga itu melepas Karleen, Edwyn, dan Lisette dengan penuh rasa haru dan suka cita. Lisette mempersilakan kedua sahabatnya masuk ke dalam kereta. Lisette dengan sengaja mengisi tempat di sampingnya dengan barang-barangnya. Karleen yang berniat duduk di samping Lisette pun mengurungkan niatnya.Dengan keterpaksaan, akhirnya Karleen duduk di samping Edwyn. Karleen memutar bola matanya ketika Edwyn menatapnya dengan tajam. Dia meletakkan tas ranselnya di tengah-tengah bangku sebagai penghalang antara dirinya dan Edwyn.Lisette memandang kedua sahabat yang duduk di seber
Karleen tidak begitu mengingat bagaimana bentuk Gedung militer saat terakhir kali mereka ke sini. Yang ada dipandangannya sekarang adalah sebuah kastil yang terawat sangat baik dengan seluruh cat putih menyelimuti permukaan dindingnya. Keadaan di depan gerbang Gedung saat ramai. Calon prajurit sudah banyak yang sampai dengan menggunakan kereta kuda mereka masing-masing. Dengan berbagai macam bentuk kereta kuda, Karleen bisa menebak bahwa sebagian dari mereka ada yang menyewa kereta kuda. Karleen, Edwyn, dan Lisette menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Dapat dibilang barang yang dibawa mereka bertiga lumayan banyak. Mereka memasuki dalam Gedung dan disambut oleh para senior mereka. Karleen mengedarkan pandangannya untuk mencari dua sosok. Dari kejauhan, laki-laki tinggi berambut merah melambaikan tangannya ke arah Karleen. Karleen membalas lambaian Gunther dan memandu kedua sahabatnya berjalan ke arah Gunther. “Selamat datang, Karleen! Mulai sekarang kau harus memanggilku Koman
Karleen dan Lisette masuk ke dalam kamar masing-masing. Mereka janjian akan bertemu setelah selesai meneta barang-barang mereka. Hal pertama yang dilakukan Karleen adalah mengelilingi ruangannya. Di dalam kamar, terdapat sebuah ranjang, lemari, dan satu set meja belajar. Dia sedikit ngeri ketika melihat pemandangan dari jendela kamarnya. Kamarnya berada di sudut lantai teratas Gedung. Dia mengusap-usap tubuhnya yang sedikit merinding. Baru pertama kali dalam hidupnya, Karleen berada di ketinggian seperti ini. Seharusnya dia berada di peringkat paling akhir saja agar mendapatkan kamar di lantai dasar. Karleen berharap dia bisa betah tinggal di asrama ini selama enam bulan. Karleen menata barang-barangnya. Dia sedikit mengeluh. Di dalam kamar ini tidak terdapat kamar mandi. Di setiap lantainya, kamar mandi berada di tengah-tengah. Setelah selesai menata, Karleen berniat untuk berkeliling asrama bersama Lisette. Jarak antara kamarnya dengan kamar Lisette tidak begitu jauh. Saat dia ber
Gunther berdeham sebentar. “Kapten sangat sibuk. Dia sedang berada di ruangannya. Apa kau ingin bertemu dengannya?”“Eh? T-tidak perlu Komandan. Tidak mungkin aku mengganggu Kapten yang sedang sibuk.” Karleen memalingkan wajahnya. Menghindari kontak mata Gunther yang tampak gemas.“Baiklah, kalau begitu aku pamit. Kalian bisa berkeliling. Jangan lupa untuk makan malam di kantin!” Gunther pergi berlawanan arah dengan mereka.“Ehem, Karleen. Kau merindukan Warren, ya?” Lisette menyenggol Karleen dengan lengannya.“Bukan Lisette, aku hanya ingin berjumpa dengannya saja. Tidak lebih dan tidak kurang.”“Jangan menyembunyikan sesuatu dariku, Karleen! Aku tahu kau pasti merindukannya!” Lisette mendekatkan wajahnya dengan wajah Karleen. Dia memandang lekat-lekat wajah Karleen, membuat Karleen semakin salah tingkah.“Astaga! Terserah kau sajalah,” balas Karleen. Dia berjalan meninggalkan Lisette.“Kau mau kemana, Karleen?” Lisette berlari mengejar Karleen. Dia bisa menebak Karleen pasti kesal
Gunther memerhatikan Warren dan Karleen bergantian. Melihat adanya sosok Jaye bersama Karleen, tentu membuat Warren salah paham dengan apa yang dilihatnya.“Kapten kami izin pamit dahulu,” kata Jaye. Karleen yang mendengarnya terlihat gusar. Gunther mengetahuinya karena dia sangat lihai dalam memerhatikan sesuatu.“Komandan Jaye, tunggu sebentar. Anda bisa melanjutkan perjalanan anda, sepertinya barang saya ada yang tertinggal di dalam.” Karleen terpaksa berbohong untuk menghindari Jaye. Tadi saat berada di dalam dia tidak tahu bagaimana cara menolak tawaran Jaye mengantarkannya ke asrama putri.“Benarkah? Kau tidak apa kembali sendiri ke asrama?” Jaye terdengar menaruh perhatian lebih kepada Karleen. Gunther dan Warren yang mendengarnya tidak merasa aneh lagi. Sudah menjadi kebiasaan Jaye memberi perhatian lebih kepada prajurit perempuan.“Tidak apa Komandan. Terima kasih atas perhatiannya.” Karleen memberi hormat. Setelah Jaye pergi, Karleen merasa nyaman. Dia tidak bisa membayangka
Karleen tidak bertemu dengan Lisette saat dia kembali ke kamar. Masih dalam keadaan murung, Karleen mengambil perlengkapan mandinya dan bergegas ke kamar mandi. Saat tiba di sana, Karleen hanya seorang diri. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Dia tidak menyangka bahwa kamar mandinya sangat luas dan bersih. Karleen membersihkan dirinya dengan waktu yang singkat. Dia kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sedikit mendingan.Jam poket yang dibawa Karleen masih menunjukkan pukul lima sore. Karleen menghela napasnya panjang. Seperti biasanya dia ingin menulis jurnal. Hal yang dilaluinya hari ini tidak semenyenangkan yang Karleen kira. Padahal awalnya dia ingin mengobrol dengan Warren. Akan tetapi, Warren tampak bersikap dingin terhadapnya.Sambil mengisi waktu kosong, Karleen mencoba mempelajari buku yang diberikan oleh Conrad. Lembar demi lembar Karleen balikkan. Otaknya seakan ingin meledak. Tulisan-tulisan kuno itu berbentuk seperti bangun datar. Bahkan ada yang berbentuk garis luru
Rahang Karleen seakan mengeras. Meskipun dia senang Warren menghampiri dan meminta maaf, dia tidak menyangka akan menjadi pusat perhatian di kantin. Bisik-bisikan semakin jelas di telinga Karleen. Dia bisa mendengar apa saja yang dikatakan orang-orang di ruangan itu. Karleen sangat tidak senang dengan situasi sekarang. Dia ingin cepat-cepat keluar dari kantin dan kembali ke kamarnya.Mereka meletakkan piring kotor secara bersamaan. Telinga Karleen terasa nyaman setelah sukses keluar dari Kantin. Kecanggungan seakan memenuhi koridor. Edwyn masih dalam keadaan belum bisa menerima apa yang didengarnya dari Lisette. Sementara Lisette memandang Edwyn dengan prihatin.“Karleen,” panggil Warren dengan pelan. Dia menghentikan langkahnya dan membalikkan badan menatap Karleen yang berjalan menunduk.Karleen mendongakkan kepalanya ketika melihat kaki Warren yang ditutupi oleh sepatu, berdiri di hadapannya. “Iya, Kapten.”“Apa kau punya waktu? Ada yang ingin kusampaikan kepadamu,” tanya Warren. K
Ruangan berukuran 4x5 meter itu terasa sangat luas bagi Karleen yang sedang duduk berhadapan dengan Warren. Tidak seperti kamarnya, ruangan Warren sangat hangat. Karleen mengedarkan pandangannya. Matanya mendapati sebuah pemanas. Pantas saja ruangan Warren sangat hangat. “Hmm, Warren? Apa yang ingin kau katakan kepadaku?” tanya Karleen selepas menyesap teh buatan Warren. “Besok, aku minta tolong jangan terlalu menonjol. Kau sudah tahu pakaian apa yang harus dikenakan besok, bukan? Jangan berdandan berlebihan,” ucapnya yang tidak berani menatap mata Karleen. “Eh? M-maksudnya?” Karleen tidak menyangka akan mendengar perintah seperti itu dari bibir Warren. “Pokoknya kau harus bersikap seperti biasanya.” Warren menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya. “Baiklah Kapten,” balas Karleen. “Jangan memanggilku kapten di saat kita hanya berdua. Atau mungkin kau bisa memanggilku Arren?” Karleen membulatkan matanya. Dia seperti pernah mendengar nama Arren di suatu tempat. “A