Dengan sangat terpaksa aku mengizinkan wanita ini menginap di rumahku. Hanya satu malam ini saja, besok aku akan mengantarkannya ke terminal untuk pulang kembali ke tempatnya berasal. Bukan tak punya hati, aku hanya tak ingin membuang-buang waktuku mengurusi manusia yang tak punya hati sepertinya. "Bintang lahap sekali makannya?" ucap Ibu pada Bintang yang sesekali mencuri pandang ke arah wanita asing itu. Tak ada tanggapan dari anakku. Kurasa Ibu cukup tersinggung, tetapi saat aku menghujamkan tatapan tajam padanya, wanita itu terlihat salah tingkah. Wanita yang kulihat ini memang kini terlihat kurus, terkesan tak terawat. Beda sekali saat dulu aku masih serumah dengannya. "Berapa kau menggaji pengasuh anakmu?" Pertanyaan lanjutan itu membuatku menghentikan gerakan tanganku menyendok makanan. "Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" "Maksud Ibu… apakah tak sebaiknya Ibu yang mengasuh anakmu saja?" Seketika Bintang menatapku. Tentu saja aku tak akan bodoh menyerahkan anakku pada singa
Cerai "Yang tadi malam itu… pacarmu?" tanya Ibu saat aku tengah menyiapkan makanan untuk sarapan yang kupesan lewat jasa antar di warung makan langganan. Bukan aplikasi online, karena pemilik warungnya pun sudah sepuh. Dia tak akan paham dengan kerja sama semacam itu. Aku diam, terlalu asyik bergelut membuka bungkusan-bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma sedap. Makanan khas orangtua, tentu saja dengan aroma-aroma bumbu yang tak pelit jumlahnya. Urap sayuran hijau, sambel kacang ikan teri, orek tempe dan seperti biasa, Mbok Ruminten memberikan bonus telur dadar untuk Bintang. Padahal aku tak memesannya. "Ndu!" panggil Ibu. Aku menoleh, menatapnya dengan wajah biasa seolah tak kudengar apa yang dia katakan tadi. "Apakah pria tadi malam itu calon suamimu? Sepertinya dia sangat peduli dengan Bintang." Aku menyesap kopi sesaat. Kubiarkan rasa penasaran menguasai wanita itu. Kulihat bibirnya mencebik menatapku jengkel. "Apakah aku perlu menjelaskannya?" tantangku. "Tentu saja, Ib
"Aku harap Ibu paham dengan batasan-batasanmu, Bu. Ingatlah di antara kita tidak ada hubungan apa pun. Tidak ada dalam tubuhku mengalir setetes pun darah dari tubuhmu. Bukankah itu yang dulu kau ucapkan padaku? Jangan ikut campur urusan yang tidak kamu ketahui. Ingatlah apa yang menimpaku dengan bintang adalah turut campur tanganmu juga, Bu," ucapku pada wanita itu penuh emosi. "Apakah kau sedang menyesal pergi meninggalkan rumah? Ibu Janji bisa membantumu kembali pada Giandra tapi dengan satu syarat. Biarkan Ibu tinggal di sini bersamamu." Dengan keras aku menggebrak meja. Tak kupedulikan lagi batasan sopan santun terhadap orang tua. Wanita ini benar-benar perlu kuberi perhitungan. "Lekas berkemas aku akan mengantarmu sekarang juga! Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni setiap pembicaraanmu!" ucapku yang kuharap mampu membungkam mulut wanita itu. Hari ini migrainku kembali kambuh. Saat di restoran aku hampir menubruk mesin pembuat kopi karena kepalaku yang tiba-tiba sakit t
Sampai di rumah kudapati sebuah mobil berwarna silver terparkir rapi di depan rumahku. Bukan aku tak tahu siapa pemiliknya. Hanya saja aku benar-benar kaget dengan tujuannya kemari. Apakah masih kurang penolakan yang sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu? emosiku kembali mencuat apalagi saat melihat bintang dan Giandra duduk di teras rumah sedangkan Mbak Tini berada tak jauh dari posisi mereka. Melihat kedatanganku yang berjalan cepat kearah mereka, Mbak Tini segera berdiri wajahnya benar-benar tak nyaman. Dia begitu ketakutan karena melihat orang yang kutolak akhir-akhir ini masuk ke dalam rumah. Mbak Tini tergopoh-gopoh menyambutku setengah berbisik. " Maaf, Bu. Laki-laki itu memaksaku untuk bertemu dengan Bintang. Saya tak kuasa menolaknya apalagi saat melihat bintang yang begitu menyambut baik kedatangannya." Baiklah, bukan saatnya memarahi wanita itu. Kurasa apa yang dia lakukan beralasan. Bintang memang sudah agak dekat dengan lelaki yang merupakan ayah kandungnya. Teta
Kau Pengecut, Giandra! Aku terbangun dan menatap sekelilingku. Ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan itu membuatku tersentak. Kepalaku masih terasa nyeri. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Sayup-sayup kudengar suara seseorang yang tengah menelepon di depan pintu kamar ruanganku. Aku yakin sekali bahwa suara itu adalah suara Satya. Suara handle pintu terdengar wajah Satya ya menyusul dari balik pintu dengan raut muka penuh khawatir Dia mendekati ranjang tempat aku berbaring saat ini. "Bagaimana kondisimu? apakah kau merasa sudah agak baikan?" tanya Satya. "Apakah kau yang membawaku kemari?" Pertanyaan Satya justru aku jawab dengan pertanyaan lagi untuknya. Kulihat dia menghela nafasnya sesaat. Ditatapnya wajahku dengan matanya yang tak bisa menyembunyikan rasa khawatir yang sangat besar itu . Kualihkan pandangan ke arah lain. Jujur saja aku mulai malu terus-menerus merepotkan dirinya. "Sepertinya aku hanya kurang istirahat saja," lanjutku seraya memijit lembut kepala
Aku menghembuskan nafas dengan lega. Apa yang dikatakan Satya membuatku mulai tenang. Aku khawatir Giandra akan memanfaatkan jabatannya kembali dan mendekati kehidupanku. "Jika tidak ada keluhan mungkin hari ini kau bisa pulang." Aku mengangguk mendapati kalimat yang dijelaskan oleh Satya. Kurasa aku sudah merasa sangat baikan. Hanya sedikit rasa sakit kepala yang pasti akan dengan mudah hilang jika kubawa beristirahat. Tiba-tiba Aku teringat dengan ponselku. Baru saja ingin kutanyakan kepada Satya, aku dikejutkan dengan suara pintu yang didorong oleh seseorang dari arah luar. Hal yang membuatku benar-benar kaget adalah seseorang yang terlihat dari balik pintu. Giandra menatapku dan Satya bergantian. Segera aku memalingkan wajah ke arah Satya. Aku memilih mengacuhkan lelaki yang datang tanpa permisi itu. "Bisakah kau memberi waktu untukku dan Rindu berbicara berdua?" tanya Giandra secara langsung kepada Satya. Tentu saja lelaki itu tak akan mudah mengabulkan permintaan lelaki itu
"Aku penasaran apakah reaksi yang akan ditunjukkan oleh mantan sahabatku itu ketika tahu suaminya mengejarku seperti ini. Apakah kesombongannya itu akan tetap bertahan di dalam tubuhnya dan bagaimana keluarga Prihandono yang begitu mengagungkan asal usul seseorang itu tahu bahwa anak satu-satunya dalam keluarga itu mengejar-ngejar wanita yang pernah diusirnya dengan cara yang begitu memalukan?" ucapku dengan nada tegas. "Bagaimana wajah ibumu yang sombong itu? Wajah seorang wanita yang mengatakan keturunannya harus lahir dari rahim wanita yang setara dengan keluarganya? sungguh aku penasaran, Giandra!" "Rindu, sekarang aku sudah berhasil mewujudkan keinginan mereka untuk menjadi seorang dokter. Aku yakin jika saat ini aku memilih kembali menjalin hubungan denganmu mereka tak akan mempermasalahkannya. Lagi pula sudah ada Bintang. Mereka akan bahagia karena keberadaan anak itu.""Sungguh darah kesombongan dari mereka benar-benar mengalir dalam tubuhmu, Giandra. Kau sombong sekali, bah
Siapa yang Bersama Satya? "Jadi, Bintang. Hari ini Mama tetap di rumah sementara waktu. Dia harus benar-benar beristirahat untuk memulihkan tenaganya. Dan tugasmu adalah memastikan dia tak terlalu banyak bekerja. Kamu paham apa yang harus dilakukan saat dia tak mau diam bukan?" Satya melirikku yang duduk di sofa tepat di depannya duduk. Dia memegang kedua tangan anakku saat berpesan seperti itu. "Kau tahu kemana harus menelepon saat Mama tak mau istirahat bukan?" Kembali Satya memberi pesannya pada Bintang. "Tahu dong, telepon Om Satya," jawab Bintang dengan penuh semangat. Kedua laki-laki beda generasi itu terbahak bersama-sama. Sedangkan aku hanya bisa melirik sekilas sambil mengerucutkan bibir karena merasa dipermainkan oleh keduanya. Kusenderkan tubuhku ke sofa. "Baiklah, Om pulang dulu. Ada pekerjaan di restoran. Jaga mama dan ingat dengan pesan Om yang tadi." Satya mengacak kemas rambut putraku gemas. Sedangkan Bintang sendiri terlihat hendak protes saat tahu Satya berpamita