Sampai di rumah kudapati sebuah mobil berwarna silver terparkir rapi di depan rumahku. Bukan aku tak tahu siapa pemiliknya. Hanya saja aku benar-benar kaget dengan tujuannya kemari. Apakah masih kurang penolakan yang sudah pernah kulakukan beberapa waktu lalu? emosiku kembali mencuat apalagi saat melihat bintang dan Giandra duduk di teras rumah sedangkan Mbak Tini berada tak jauh dari posisi mereka. Melihat kedatanganku yang berjalan cepat kearah mereka, Mbak Tini segera berdiri wajahnya benar-benar tak nyaman. Dia begitu ketakutan karena melihat orang yang kutolak akhir-akhir ini masuk ke dalam rumah. Mbak Tini tergopoh-gopoh menyambutku setengah berbisik. " Maaf, Bu. Laki-laki itu memaksaku untuk bertemu dengan Bintang. Saya tak kuasa menolaknya apalagi saat melihat bintang yang begitu menyambut baik kedatangannya." Baiklah, bukan saatnya memarahi wanita itu. Kurasa apa yang dia lakukan beralasan. Bintang memang sudah agak dekat dengan lelaki yang merupakan ayah kandungnya. Teta
Kau Pengecut, Giandra! Aku terbangun dan menatap sekelilingku. Ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan itu membuatku tersentak. Kepalaku masih terasa nyeri. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Sayup-sayup kudengar suara seseorang yang tengah menelepon di depan pintu kamar ruanganku. Aku yakin sekali bahwa suara itu adalah suara Satya. Suara handle pintu terdengar wajah Satya ya menyusul dari balik pintu dengan raut muka penuh khawatir Dia mendekati ranjang tempat aku berbaring saat ini. "Bagaimana kondisimu? apakah kau merasa sudah agak baikan?" tanya Satya. "Apakah kau yang membawaku kemari?" Pertanyaan Satya justru aku jawab dengan pertanyaan lagi untuknya. Kulihat dia menghela nafasnya sesaat. Ditatapnya wajahku dengan matanya yang tak bisa menyembunyikan rasa khawatir yang sangat besar itu . Kualihkan pandangan ke arah lain. Jujur saja aku mulai malu terus-menerus merepotkan dirinya. "Sepertinya aku hanya kurang istirahat saja," lanjutku seraya memijit lembut kepala
Aku menghembuskan nafas dengan lega. Apa yang dikatakan Satya membuatku mulai tenang. Aku khawatir Giandra akan memanfaatkan jabatannya kembali dan mendekati kehidupanku. "Jika tidak ada keluhan mungkin hari ini kau bisa pulang." Aku mengangguk mendapati kalimat yang dijelaskan oleh Satya. Kurasa aku sudah merasa sangat baikan. Hanya sedikit rasa sakit kepala yang pasti akan dengan mudah hilang jika kubawa beristirahat. Tiba-tiba Aku teringat dengan ponselku. Baru saja ingin kutanyakan kepada Satya, aku dikejutkan dengan suara pintu yang didorong oleh seseorang dari arah luar. Hal yang membuatku benar-benar kaget adalah seseorang yang terlihat dari balik pintu. Giandra menatapku dan Satya bergantian. Segera aku memalingkan wajah ke arah Satya. Aku memilih mengacuhkan lelaki yang datang tanpa permisi itu. "Bisakah kau memberi waktu untukku dan Rindu berbicara berdua?" tanya Giandra secara langsung kepada Satya. Tentu saja lelaki itu tak akan mudah mengabulkan permintaan lelaki itu
"Aku penasaran apakah reaksi yang akan ditunjukkan oleh mantan sahabatku itu ketika tahu suaminya mengejarku seperti ini. Apakah kesombongannya itu akan tetap bertahan di dalam tubuhnya dan bagaimana keluarga Prihandono yang begitu mengagungkan asal usul seseorang itu tahu bahwa anak satu-satunya dalam keluarga itu mengejar-ngejar wanita yang pernah diusirnya dengan cara yang begitu memalukan?" ucapku dengan nada tegas. "Bagaimana wajah ibumu yang sombong itu? Wajah seorang wanita yang mengatakan keturunannya harus lahir dari rahim wanita yang setara dengan keluarganya? sungguh aku penasaran, Giandra!" "Rindu, sekarang aku sudah berhasil mewujudkan keinginan mereka untuk menjadi seorang dokter. Aku yakin jika saat ini aku memilih kembali menjalin hubungan denganmu mereka tak akan mempermasalahkannya. Lagi pula sudah ada Bintang. Mereka akan bahagia karena keberadaan anak itu.""Sungguh darah kesombongan dari mereka benar-benar mengalir dalam tubuhmu, Giandra. Kau sombong sekali, bah
Siapa yang Bersama Satya? "Jadi, Bintang. Hari ini Mama tetap di rumah sementara waktu. Dia harus benar-benar beristirahat untuk memulihkan tenaganya. Dan tugasmu adalah memastikan dia tak terlalu banyak bekerja. Kamu paham apa yang harus dilakukan saat dia tak mau diam bukan?" Satya melirikku yang duduk di sofa tepat di depannya duduk. Dia memegang kedua tangan anakku saat berpesan seperti itu. "Kau tahu kemana harus menelepon saat Mama tak mau istirahat bukan?" Kembali Satya memberi pesannya pada Bintang. "Tahu dong, telepon Om Satya," jawab Bintang dengan penuh semangat. Kedua laki-laki beda generasi itu terbahak bersama-sama. Sedangkan aku hanya bisa melirik sekilas sambil mengerucutkan bibir karena merasa dipermainkan oleh keduanya. Kusenderkan tubuhku ke sofa. "Baiklah, Om pulang dulu. Ada pekerjaan di restoran. Jaga mama dan ingat dengan pesan Om yang tadi." Satya mengacak kemas rambut putraku gemas. Sedangkan Bintang sendiri terlihat hendak protes saat tahu Satya berpamita
Baru saja akan memejamkan mata setelah merebahkan tubuhku di atas kasur, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi berlogo hijau. Segera kuambil ponsel pintar milikku untuk mengetahui siapa yang mengirimkan pesan untukku. Alis mataku bertaut saat melihat sebuah nomor tanpa nama mengirimiku pesan tersebut. [ Silakan pilih ingin viral atau tahu diri menjauhi suamiku]Pikiranku langsung tertuju kepada Aluna. Entah mengapa aku begitu yakin dialah yang mengirimiku pesan tersebut, apalagi saat akhirnya sebuah foto pun dikirimkannya untukku. Mataku terbuka lebar saat melihat sebuah foto di mana Giandra tengah menggendongku masuk ke dalam mobil. Kurasa kejadian ini adalah pada saat aku pingsan di ruang tamu. Entah bagaimana orang yang mengambil foto tersebut tak membidik gambar Satya yang seharusnya berada di lokasi yang sama denganku dan Giandra. Bahkan secara nyata foto tersebut memperlihatkan bagaimana wajah Giandra yang begitu khawatir. [ Memang foto tersebut hanya memperl
Selama beberapa hari setelah Aluna mengirimiku pesan bernada ancaman itu aku masih rutin menerima pesan-pesan beruntun yang isinya kurang lebih sama. Wanita itu nampaknya hilang akal memilih untuk mengancamku daripada memberi pengertian pada suaminya sendiri. Tentu saja hal ini membuatku makin yakin bahwa pernikahan mereka tidak baik-baik saja. Namun kutegaskan pada diriku sendiri aku tak akan membuang-buang waktu untuk memikirkan hal-hal yang bukan menjadi prioritasku kali ini. Kondisiku yang sudah seperti semula membuatku sudah mulai beraktivitas kembali. Kali ini ku fokus kan perhatian untuk meninjau proses pembangunan cafe yang makin hari makin membuatku berdecak kagum. Aku rasa kerjasamaku dan Satya dengan pak Rama benar-benar diberkahi. Terkadang aku tak percaya langkahku semudah ini untuk mewujudkan mimpi mendirikan sebuah cafe dengan view alam yang begitu mempesona. Siang ini setelah puas berkeliling di proyek pembangunan Cafe aku memutuskan untuk kembali ke restoran. Bayan
Selama beberapa hari setelah Aluna mengirimiku pesan bernada ancaman itu aku masih rutin menerima pesan-pesan beruntun yang isinya kurang lebih sama. Wanita itu nampaknya hilang akal memilih untuk mengancamku daripada memberi pengertian pada suaminya sendiri. Tentu saja hal ini membuatku makin yakin bahwa pernikahan mereka tidak baik-baik saja. Namun kutegaskan pada diriku sendiri aku tak akan membuang-buang waktu untuk memikirkan hal-hal yang bukan menjadi prioritasku kali ini. Kondisiku yang sudah seperti semula membuatku sudah mulai beraktivitas kembali. Kali ini ku fokus kan perhatian untuk meninjau proses pembangunan cafe yang makin hari makin membuatku berdecak kagum. Aku rasa kerjasamaku dan Satya dengan pak Rama benar-benar diberkahi. Terkadang aku tak percaya langkahku semudah ini untuk mewujudkan mimpi mendirikan sebuah cafe dengan view alam yang begitu mempesona. Siang ini setelah puas berkeliling di proyek pembangunan Cafe aku memutuskan untuk kembali ke restoran. Bayan