Fea merasa ada sentuhan di tangannya. Dia membuka mata dan mengangkat wajahnya. Arfen memandang padanya dengan wajah sedikit pucat.
"Hei, Sayang ... Sudah bangun?" Fea menegakkan badan.
"Mau minum." Arfen terbangun dan merasa haus.
Fea mengambil gelas, menuang dengan air dan memberi Arfen minum. Bocah itu meneguk isi gelas hingga setengah. Fea memegang dahi Arfen, sudah tidak sepanas semalam.
"Perut kamu masih sakit?" tanya Fea.
"Sedikit. Aku mau es krim, Mama," kata Arfen.
"Tidak bisa, Sayang. Arfen harus sembuh dulu, baru bisa makan es krim." Fea mengusap rambut dan kening Arfen lembut.
"Kalau susu?" tanya Arfen.
"Belum bisa juga." Fea menggeleng.
"Aku mau sembuh, Mama." Mata Arfen berkaca-kaca.
"Tentu, Arfen akan segera sembuh. Ini sudah tidak panas, sakit perut tinggal sedikit. Pasti segera sembuh. Ya?" Fea tersenyum.
Arfen mengangguk. Lalu dia bertanya, "Aku ga sekolah juga?"
Fea men
Wajah ceria Irvan mendadak lenyap. Kalimat tajam dan penuh kekesalan dari Arnonn membuat Irvan bingung. Dia melihat Arnon dengan mengerutkan kening, lalu beralih melihat Fea dan Stefi yang juga tampak tegang."Sudah kukatakan padamu, Fea tidak cinta sama kamu. Dia kembali ke rumah yang benar, berada di sisiku." Tatapan Arnon masih tajam pada Irvan.Fea seketika menjadi merah padam. Memori itu, saat dia sudah bersedia menjadi kekasih Irvan, lalu Arnon mengejarnya, mengajaknya menikah, dan terpaksa dia memutuskan hubungan dengan Irvan, kembali memenuhi benaknya. Tiba-tiba saja muncul rasa tidak nyaman di dada Fea."Arnon, kita harus bicara. Ikut aku," Fea menggandeng tangan Arnon dan sedikit menarik tangan Arnon agar mengikutinya."Hentikan, Fea!" sentak Arnon. "Bukankah ini kebetulan yang sangat baik? Di depan mantanmu ini, katakan, kamu tidak akan kembali padanya, bukan? Kamu hanya akan bersamaku, menikah denganku, karena kamu cinta padaku.""Arnon
"Baiklah, sepertinya memang saatnya Muti pulang. Ayo, Sayang." Stefi mengusap kepala, Mutiara mengajak putrinya pulang."Terima kasih sudah jenguk Arfen, ya?" Fea tersenyum manis pada Mutiara."Sama-sama, Tante. Bye semuanya ..." Mutiara memegang tangan Stefi dan mengikuti langkah mamanya keluar kamar itu."Aku juga balik dulu. Satu jam lagi ada meeting. Kamu ga ngantor, Arnon?" Irvan berdiri.."Kurasa hari ini kepalaku tidak bisa berpikir berat setelah melihat kamu di dekat istriku," ujar Arnon.Irvan tertawa kecil. "Masih saja bercanda. Okelah, semoga cepat sembuh, Arfen! Kalau sudah sembuh, ajak papa kamu jalan-jalan," ujar Irvan. Dia melambai pada si kembar lalu berjalan cepat mengejar Stefi dan Mutiara."Akhirnya sepi lagi." Arnon melihat pada Fea dan si kembar. Arfen berbaring di ranjang, sedang Fernan duduk di sebelah ranjang."Hai, Cucu ganteng! Pulang sekolah?"Arnon menoleh mendengar suara itu. Arnella masuk ke
"Fernan! Tunggu!" Teriakan Arfen terdengar lirih. Kalah dengan deburan ombak yang bergantian menerjang pantai. "Ayo, sini!" panggil Fernan sambil melambai. Arnon di belakang keduanya, mengawasi mereka bermain di pinggir pantai. Sedang Fea duduk di bawah pohon tak jauh dari tenda mereka, memperhatikan keseruan bapak dan anak itu. "Jangan jauh-jauh, Fernan!" Terdengar Arnon berteriak. Fea menghentikan tangannya yang sedang merapikan rambut, menatap pada Arnon dan Fernan. Tidak lama terdengar tawa mereka meledak. "Ah, tidak apa-apa. Mereka baik-baik saja," gumam Fea. Seperti janjinya, Arnon akhirnya membawa keluarganya menikmati liburan. Anak-anak mendapat libur sepuluh hari setelah menerima raport tengah semester. Tidak tanggung-tanggung, Arnon membawa mereka ke kota tempat Lukman dan Sherlita. Sudah lama mereka tidak ke sana. Tentu saja, Lukman dan Sherlita sangat gembira Arnon dan keluarganya datang. "Fea!"
Fea makin gemetar, tubuhnya terasa oleng. Ada dua pria mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Fea menunjuk ke air sambil menceritakan yang dia pikirkan tentang kejadian itu. Kedua pria itu segera ikut terjun ke dalam air dan mencari Fernan.Hingga lima menit berikut, Arnon muncul dengan tubuh mungil dalam pelukannya. Dia terlihat pucat dan cemas. Salah satu pria yang berusaha menolong itu, memegangi Arnon dan sedikit menarik dia agar segera menepi. Satu pria lagi ikut menepi dan membantu. Fea segera mendekat. Mereka membaringkan Fernan yang tidak bergerak di atas pasir di pinggir pantai."Ya Tuhan, tolong anakku ..." doa Fea di dalam hati.Dia berjongkok di sis Arnon yang juga gemetaran. "Fernan ... Fernan ..." Arnon menggoyang-goyang tubuh mungil itu."Maaf, Pak, saya coba berikan bantuan pernapasan." Salah satu pria yang tadi bicara.Arnon menggeser posisinya. Fea segera memeluk Arnon yang lemas. Pria itu mencoba berbagai cara menolong aga
Ketegangan semakin meningkat. Arnon dan Fea segera menghampiri dokter dan menanya kondisi Fernan. “Saya harus jujur. Kondisi putra Bapak dan Ibu cukup kritis. Kami telah mencoba membersihkan paru-parunya dari pasir yang masuk, tetapi tidak sepenuhnya bersih. Saat ini dia masih sangat lemah. Kami akan menunggu reaksinya. Dari obat-obatan yang telah kami berikan, seperti apa, dari situ kami akan melakukan penanganan selanjutnya." Dokter pria berusia empat puluhan itu menjelaskan. "Dok, kami mohon, lakukan apapun, kami ingin anak kami selamat." Arnon rasanya ingin sekali menjerit mendengar yang dokter katakan. Dia menekan sakit dan sesak yang menyelinap di dadanya. "Tentu, kami akan berusaha semaksimal mungkin." Dokter menegaskan. "Seberapa kemungkinan dia bertahan, Dokter?" Fea bertanya dengan hati seperti tercabik-cabik. Tubuhnya kembali terasa gemetar. Dokter itu menarik napas dalam. "Dalam kasus seperti ini, di bawah lima puluh persen. Tetapi
"UUhhh ..." Kembali lenguhan terdengar dari Fernan. Wajahnya makin pucat, tubuhnya mulai gemetar."Ya Tuhan ... Fernan!" Fea bangun dari kursinya dan mendekat. "Sayang ... ini Mama. Fernan ...""Fernan mengedipkan matanya. "Uuhhhh ...""Tunggu, Mama panggil suster. Fernan, jangan tinggalin Mama. Fernan, kamu pasti bisa lewati ini!" Fea segera berlari keluar kamar. Dia menuju ke meja jaga perawat."Suster! Anak saya! Tolong anak saya!" Fea berteriak. Dia tidak berpikir lagi jika dia sedang di rumah sakit.Teriakan itu tentu saja membuat perawat yang berjaga dengan cepat menghampiri Fea."Kenapa, Bu?" tanya perawat muda itu."Anak saya, Suster. Dia gemetar, pucat. Tolong, Suster!" ujar Fea dengan tubuh juga mulai gemetar.Ketakutan luar biasa mendera Fea. Fernan kritis. Fea bisa melihat bocah itu semakin sulit bernapas. Bayangan-bayangan buruk mulai berkelana di kepala Fea.Perawat bergerak cepat menuju ke kamar Fern
Sepanjang malam Arnon dan Fea bergantian menjaga Fernan. Sekalipun badan sangat letih, mata terasa begitu berat, pikiran tidak juga mau beristirahat. Setiap hampir lelap, Fea akan merasa jantungnya berdebar keras, lalu kembali terjaga.Arnon pun sama. Setiap hampir tertidur, dia merasa seakan sedang masuk dalam air dan mencari-cari putranya yang tenggelam. Setiap kali kembali membuka mata, Arnon akan memastikan bahwa Fernan masih bernapas."A-ma ..." Suara kecil itu terdengar lirih. "A-ma ..."Fea yang baru saja lelap dengan cepat bangun dan menegakkan badan. Dia mendekat ke arah Fernan."Ya, Sayang. Fernan rasa apa?" tanya Fea. Dia sangat kuatir jika Fernan merasa kesakitan."Mi-num ..." Fernan memandang Fea. Fea tidak bisa menangkap jelas yang Fernan ucapkan."Kenapa?" ulang Fea. Dia makin mendekat ke telinga Fernan."Mi-num, Ma ..." ujar Fernan.Fea memegang dahi Fernan. Keringat memenuhi dahi Fernan. Tubuhnya sudah pada suh
Mata Fea memandang lebih lekat pada Sherlita. Ada genangan air mata, dan Sherlita mengusapnya cepat-cepat. Dia berusaha menahan sedih agar tidak menangis di depan Fea."Ada apa, Sher?" tanya Fea."Robby ... dia punya wanita lain. Itulah mengapa dia berat pindah ke sini. Alasannya selalu soal pekerjaan." Dengan suara sendu, Sherlita menjawab."Kamu serius?" Fea memajukan badan sedikit mendekat pada Sherlita.Sherlita mengangguk, kembali mengusap matanya. "Aku juga ingin ga percaya. Tapi ... mau gimana?""Robby mengaku? Dia yang bilang?" tanya Fea lagi. Dada Fea merasa sesak seketika.Sherlita bukan mengangguk, dia menggeleng."Dia mengelak? Kamu punya bukti?" Fea makin penasaran. Dia berharap semua ini hanya kesalahpahaman. Fea tahu Sherlita dan Robby sangat saling sayang satu sama lain. Aneh sekali begitu cepat, hanya dalam waktu empat tahun pernikahan mereka harus mengalami goncangan ini."Ada berita masuk ke ponselku. D