"Fernan! Tunggu!" Teriakan Arfen terdengar lirih. Kalah dengan deburan ombak yang bergantian menerjang pantai.
"Ayo, sini!" panggil Fernan sambil melambai.
Arnon di belakang keduanya, mengawasi mereka bermain di pinggir pantai. Sedang Fea duduk di bawah pohon tak jauh dari tenda mereka, memperhatikan keseruan bapak dan anak itu.
"Jangan jauh-jauh, Fernan!" Terdengar Arnon berteriak.
Fea menghentikan tangannya yang sedang merapikan rambut, menatap pada Arnon dan Fernan. Tidak lama terdengar tawa mereka meledak.
"Ah, tidak apa-apa. Mereka baik-baik saja," gumam Fea.
Seperti janjinya, Arnon akhirnya membawa keluarganya menikmati liburan. Anak-anak mendapat libur sepuluh hari setelah menerima raport tengah semester. Tidak tanggung-tanggung, Arnon membawa mereka ke kota tempat Lukman dan Sherlita. Sudah lama mereka tidak ke sana. Tentu saja, Lukman dan Sherlita sangat gembira Arnon dan keluarganya datang.
"Fea!"
Fea makin gemetar, tubuhnya terasa oleng. Ada dua pria mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Fea menunjuk ke air sambil menceritakan yang dia pikirkan tentang kejadian itu. Kedua pria itu segera ikut terjun ke dalam air dan mencari Fernan.Hingga lima menit berikut, Arnon muncul dengan tubuh mungil dalam pelukannya. Dia terlihat pucat dan cemas. Salah satu pria yang berusaha menolong itu, memegangi Arnon dan sedikit menarik dia agar segera menepi. Satu pria lagi ikut menepi dan membantu. Fea segera mendekat. Mereka membaringkan Fernan yang tidak bergerak di atas pasir di pinggir pantai."Ya Tuhan, tolong anakku ..." doa Fea di dalam hati.Dia berjongkok di sis Arnon yang juga gemetaran. "Fernan ... Fernan ..." Arnon menggoyang-goyang tubuh mungil itu."Maaf, Pak, saya coba berikan bantuan pernapasan." Salah satu pria yang tadi bicara.Arnon menggeser posisinya. Fea segera memeluk Arnon yang lemas. Pria itu mencoba berbagai cara menolong aga
Ketegangan semakin meningkat. Arnon dan Fea segera menghampiri dokter dan menanya kondisi Fernan. “Saya harus jujur. Kondisi putra Bapak dan Ibu cukup kritis. Kami telah mencoba membersihkan paru-parunya dari pasir yang masuk, tetapi tidak sepenuhnya bersih. Saat ini dia masih sangat lemah. Kami akan menunggu reaksinya. Dari obat-obatan yang telah kami berikan, seperti apa, dari situ kami akan melakukan penanganan selanjutnya." Dokter pria berusia empat puluhan itu menjelaskan. "Dok, kami mohon, lakukan apapun, kami ingin anak kami selamat." Arnon rasanya ingin sekali menjerit mendengar yang dokter katakan. Dia menekan sakit dan sesak yang menyelinap di dadanya. "Tentu, kami akan berusaha semaksimal mungkin." Dokter menegaskan. "Seberapa kemungkinan dia bertahan, Dokter?" Fea bertanya dengan hati seperti tercabik-cabik. Tubuhnya kembali terasa gemetar. Dokter itu menarik napas dalam. "Dalam kasus seperti ini, di bawah lima puluh persen. Tetapi
"UUhhh ..." Kembali lenguhan terdengar dari Fernan. Wajahnya makin pucat, tubuhnya mulai gemetar."Ya Tuhan ... Fernan!" Fea bangun dari kursinya dan mendekat. "Sayang ... ini Mama. Fernan ...""Fernan mengedipkan matanya. "Uuhhhh ...""Tunggu, Mama panggil suster. Fernan, jangan tinggalin Mama. Fernan, kamu pasti bisa lewati ini!" Fea segera berlari keluar kamar. Dia menuju ke meja jaga perawat."Suster! Anak saya! Tolong anak saya!" Fea berteriak. Dia tidak berpikir lagi jika dia sedang di rumah sakit.Teriakan itu tentu saja membuat perawat yang berjaga dengan cepat menghampiri Fea."Kenapa, Bu?" tanya perawat muda itu."Anak saya, Suster. Dia gemetar, pucat. Tolong, Suster!" ujar Fea dengan tubuh juga mulai gemetar.Ketakutan luar biasa mendera Fea. Fernan kritis. Fea bisa melihat bocah itu semakin sulit bernapas. Bayangan-bayangan buruk mulai berkelana di kepala Fea.Perawat bergerak cepat menuju ke kamar Fern
Sepanjang malam Arnon dan Fea bergantian menjaga Fernan. Sekalipun badan sangat letih, mata terasa begitu berat, pikiran tidak juga mau beristirahat. Setiap hampir lelap, Fea akan merasa jantungnya berdebar keras, lalu kembali terjaga.Arnon pun sama. Setiap hampir tertidur, dia merasa seakan sedang masuk dalam air dan mencari-cari putranya yang tenggelam. Setiap kali kembali membuka mata, Arnon akan memastikan bahwa Fernan masih bernapas."A-ma ..." Suara kecil itu terdengar lirih. "A-ma ..."Fea yang baru saja lelap dengan cepat bangun dan menegakkan badan. Dia mendekat ke arah Fernan."Ya, Sayang. Fernan rasa apa?" tanya Fea. Dia sangat kuatir jika Fernan merasa kesakitan."Mi-num ..." Fernan memandang Fea. Fea tidak bisa menangkap jelas yang Fernan ucapkan."Kenapa?" ulang Fea. Dia makin mendekat ke telinga Fernan."Mi-num, Ma ..." ujar Fernan.Fea memegang dahi Fernan. Keringat memenuhi dahi Fernan. Tubuhnya sudah pada suh
Mata Fea memandang lebih lekat pada Sherlita. Ada genangan air mata, dan Sherlita mengusapnya cepat-cepat. Dia berusaha menahan sedih agar tidak menangis di depan Fea."Ada apa, Sher?" tanya Fea."Robby ... dia punya wanita lain. Itulah mengapa dia berat pindah ke sini. Alasannya selalu soal pekerjaan." Dengan suara sendu, Sherlita menjawab."Kamu serius?" Fea memajukan badan sedikit mendekat pada Sherlita.Sherlita mengangguk, kembali mengusap matanya. "Aku juga ingin ga percaya. Tapi ... mau gimana?""Robby mengaku? Dia yang bilang?" tanya Fea lagi. Dada Fea merasa sesak seketika.Sherlita bukan mengangguk, dia menggeleng."Dia mengelak? Kamu punya bukti?" Fea makin penasaran. Dia berharap semua ini hanya kesalahpahaman. Fea tahu Sherlita dan Robby sangat saling sayang satu sama lain. Aneh sekali begitu cepat, hanya dalam waktu empat tahun pernikahan mereka harus mengalami goncangan ini."Ada berita masuk ke ponselku. D
Rumah besar itu masih indah dan asri seperti dulu. Masih dihiasi bunga berwarna kuning dan putih. Tampak tenang, tidak terlihat kesibukan yang berarti. Namun, di lantai atas, dari balkon salah satu kamar terlihat sepasang anak manusia berdiri berhadapan dan saling menatap.Sang pria memandang pada si wanita dengan tatapan terkejut. Sementara si wanita menghujam pandangan pada pria berjambang tipis di depannya dengan wajah campur aduk. Antara marah, sedih, dan juga rindu menjadi satu di dadanya."Apa? Ini gila! Aku tidak mungkin melakukan itu, Sher!" Pria itu mengerutkan kening. Dia masih sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan istrinya."Aku benci pembohong!" sentak Sherlita geram. Dia mengepalkan kedua tangan yang tergantung di kiri dan kanan tubuhnya."Dari mana kamu dapat kabar itu? Tidak masuk akal!" ujar Robby. "Aku pulang karena ingin bersama kamu. Setelah perjalanan panjang, bekerja keras, ini yang aku dapati? Kamu menuduhku berselingkuh
"Jadi benar, kan, kalian akhirnya ada sesuatu?" Ucapan sinis yang terdengar dari nada suara Sherlita."Just listen, I am not finished." Robby melihat Sherlita, lalu kembali menengok jalan di depannya. Sedikit lagi mobil akan sampai tujuan."Ok, fine!" tukas Sherlita."Aku tidak peduli dia. Aku tegas, aku sudah menikah, dan aku punya kamu," Robby melanjutkan.Sherlita memandang Robby, lagi-lagi dia pastikan Robby sedang tidak berdusta."She didn't care. Dia datang lagi, datang lagi." Robby merasa sampai pada bagian yang sulit dia ceritakan. Walau begitu dia harus jujur.Dada Sherlita meletup. Apakah setelah itu sesuatu kemudian terjadi? Dia menunggu Robby meneruskan pengakuannya."But I never let my heart changes. Aku cuma sayang kamu, Sher. Aku ga bisa melakukan kebodohan itu." Robby bicara dengan suara lebih pelan.Entah kenapa Sherlita merasa Robby tidak sepenuhnya jujur. Ada sesuatu yang seolah-olah Robby tutupi. Sherlita ti
"Aku tidak salah dengar, kan?" Arnon menatap Robby tak percaya. Dia dengan cepat duduk, dia pegang pundak Robby. Arnon memastikan Robby belum benar-benar mabuk."Aku harus gimana, Arnon? Harus apa?" Wajah Robby terlihat sangat kusut dan kuyu. Dia tuang lagi anggur dari botol yang hampir habis isinya itu ke gelas yang dia pegang.Arnon menopang dagu, mengusap keningnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Fea tidak mengatakan apa-apa tentang Robby dan Sherlita. Situasi mereka juga sedang fokus dengan Fernan, sehingga mungkin sekali Fea tidak kepikiran bercerita kepada Arnon."Kamu selingkuh, sampai Sherlita mau pisah sama kamu?" Arnon tidak bisa basa basi. Dia langsung saja mengutarakan yang muncul di kepalanya."Aku bukan laki-laki hidung belang. Aku ini pria setia, Arnon. Sherlita tidak mau percaya padaku. Dia lebih percaya pada wanita gila yang terobsesi padaku," ujar Robby dengan nada kesal. Dari suaranya terasa dia sudah sedikit oleng.Arn