"Jadi benar, kan, kalian akhirnya ada sesuatu?" Ucapan sinis yang terdengar dari nada suara Sherlita.
"Just listen, I am not finished." Robby melihat Sherlita, lalu kembali menengok jalan di depannya. Sedikit lagi mobil akan sampai tujuan.
"Ok, fine!" tukas Sherlita.
"Aku tidak peduli dia. Aku tegas, aku sudah menikah, dan aku punya kamu," Robby melanjutkan.
Sherlita memandang Robby, lagi-lagi dia pastikan Robby sedang tidak berdusta.
"She didn't care. Dia datang lagi, datang lagi." Robby merasa sampai pada bagian yang sulit dia ceritakan. Walau begitu dia harus jujur.
Dada Sherlita meletup. Apakah setelah itu sesuatu kemudian terjadi? Dia menunggu Robby meneruskan pengakuannya.
"But I never let my heart changes. Aku cuma sayang kamu, Sher. Aku ga bisa melakukan kebodohan itu." Robby bicara dengan suara lebih pelan.
Entah kenapa Sherlita merasa Robby tidak sepenuhnya jujur. Ada sesuatu yang seolah-olah Robby tutupi. Sherlita ti
"Aku tidak salah dengar, kan?" Arnon menatap Robby tak percaya. Dia dengan cepat duduk, dia pegang pundak Robby. Arnon memastikan Robby belum benar-benar mabuk."Aku harus gimana, Arnon? Harus apa?" Wajah Robby terlihat sangat kusut dan kuyu. Dia tuang lagi anggur dari botol yang hampir habis isinya itu ke gelas yang dia pegang.Arnon menopang dagu, mengusap keningnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Fea tidak mengatakan apa-apa tentang Robby dan Sherlita. Situasi mereka juga sedang fokus dengan Fernan, sehingga mungkin sekali Fea tidak kepikiran bercerita kepada Arnon."Kamu selingkuh, sampai Sherlita mau pisah sama kamu?" Arnon tidak bisa basa basi. Dia langsung saja mengutarakan yang muncul di kepalanya."Aku bukan laki-laki hidung belang. Aku ini pria setia, Arnon. Sherlita tidak mau percaya padaku. Dia lebih percaya pada wanita gila yang terobsesi padaku," ujar Robby dengan nada kesal. Dari suaranya terasa dia sudah sedikit oleng.Arn
Fea menggeleng keras, memegang kedua bahu Sherlita. Mata wanita dengan rambut coklat terang itu menyala. Jelas dia kesal dengan apa yang Fea katakan."Kami sangat tahu bukan itu maksudku. Kita punya prinsip yang sama. Tidak ada kamusnya dalam pernikahan kita mau dimadu. Tidak ada ceritanya aku akan setuju kalau suamiku punya wanita lain." Fea bicara tegas.Sherlita mengembuskan nafas berat, tapi tidak mengatakan apapun."Kita sama-sama yakin bahwa Tuhan memang menginginkan kita menjalani pernikahan dengan satu pria, dan pria itu hanya akan menjadi milik kita. Itu yang Dia kehendaki." Fea melanjutkan."Lalu, jika situasinya seperti yang aku hadapi? Berpisah, mungkin itu justru pilihannya. Sebab, anak membutuhkan ayah dan ibunya. Itu artinya Robby lebih tepat bersama Laurie, dan bukan aku." Nada marah Sherlita menepi, kesedihan menggantikan di sana.Fea menggeleng lagi. "Kamu masih belum menangkap yang aku maksud, Sher."Sherlita memandang Fea
Sherlita berdiri menatap ke arah pintu. Lukman di dekat pintu juga menatap ke arah Sherlita dengan wajah tampak bingung. "Eh, Papa ... sebenarnya ..." "Jadi kalian sedang bermasalah dan tidak mau bicara apa-apa padaku?" tegas Lukmasn bicara. Dia minta penjelasan dari putrinya. "Ini tidak seperti yang Papa pikirkan. Robby ..." Dada Sherlita berdetak cepat. Ini yang dia takutkan. Jika papanya tahu yang terjadi, dia akan sangat marah dan terluka. "Kalau begitu, jelaskan padaku, semuanya. Semuanya, Sherlita!" Lukman maju beberapa langkah. Dia menarik kursi yang ada di depan meja rias di kamar itu, lalu duduk. Dia masih menatap pada Sherlita, menunggu penjelasan. "Sher ... katakan saja, it will be okay." Terdengar sayup suara Fea dari ponsel yang Sherlita genggam. "Ok," kata Sherlita lalu tangannya memencet tombol mengakhiri panggilan Fea. Sherlita duduk, di tepi tempat tidur. Dia menata hatinya dan berpikir bagaimana mengatakan sem
Sherlita maju dua langkah mendekat ke sisi Lukman. Dia genggam tangan papanya, memandang pria hampir enam puluh tahun itu dengan tatapan sedih."Maafkan aku, please ..." kata Sherlita lirih. "Karena aku Papa jadi sakit."Lukman menggeleng lemah. "Bukan kamu, bukan, Nak. Papa yang minta maaf, kamu sedang perlu dukungan, Papa justru merepotkan kamu.""Nggak, Papa kok mikir begitu." Sherlita ingin menangis mendengar ucapan Lukman. "Yang penting Papa cepat sehat, aku butuh Papa. Please, Pa ...""Ya, Papa akan cepat sehat, Papa janji." Lukman mengangguk, mencoba bicara dengan nada meyakinkan.Fea menemani Lukman di rumah itu, sedang Sherlita harus mengurus beberapa hal di kantor. Sementara Arnon juga tidak bisa tidak mengutak-atik urusan pekerjaan sambil memastikan si kembar baik dan aman.Sebenarnya dalam waktu beberapa hari Fea dan Arnon sudah harus balik ke kota asal, karena Fernan sudah pulih. Mereka harus sekolah, Arnon juga perlu mela
Senyum Fea lebar saat mereka sampai ke tujuan. Rumah besar keluarga Hendrawan. Rumah itu ternyata sangat Fea rindukan. Rumah tempat dia pertama melihat Arnon, bertumbuh jadi dewasa, mengenal cinta, dan arti keluarga. Semua ada di rumah besar itu. "Kita turun. Lihat, Oma dan Opa menunggu." Fea berkata pada si kembar, meminta mereka keluar dari mobil. Dari teras tampak Arnella dan Ardiansyah berjalan ke arah mereka. Kedua orang tua itu tidak sabar ingin segera memeluk cucu mereka. "Opa! Oma!" Bersahutan Fernan dan Arfen lari menghambur ke pelukan Arnella dan Ardiansyah. Tawa gembira terdengar dari kedua kakek dan nenek mereka. "Aduh ... Opa sudah kangen sekali sama kalian. Rumah sepi, tidak suara teriakan dan nyanyian dari cucu ganteng Opa." Ardiansya menggendong Arfen di pelukannya. "Opa, aku bawa oleh-oleh buat Opa." Arfen merogoh saku celananya. "Apa itu?" tanya Ardiansyah. Dia turunkan Arfen kembali. Arfen menunjukkan s
Pintu rumah cantik dan megah itu terbuka. Sherlita memandang Robby yang berdiri di depannya.Sesuai janjinya, Robby pulang."Hai ..." Robby menyapa dengan suara berat. Tampak jelas dia lelah."Masuklah." Sherlita menahan diri agar tidak menangis. Rasa rindu yang memuncak, ingin sekali memeluk suaminya, tapi tertahan marah karena luka yang menganga.Sherlita berbalik, masuk ke dalam rumah. Robby mengangkat koper kecilnya dan mengikuti langkah Sherlita."Bisa aku langsung bicara saja? Aku tidak akan tenang sebelum aku mengutarakan semuanya." Robby menahan Sherlita agar tidak terus masuk ke ruang dalam.Sherlita berhenti, dia membalikkan badan dan memandang Robby. "Oke, bicaralah. Apapun itu, aku siap."Robby bisa melihat Sherlita sedang sedih, resah, dan juga kecewa. Namun, tidak ada marah lagi di sana. Mungkin benar, Sherlita benar-benar siap dengan semua yang Robby akan ucapkan padanya.Robby meletakkan lagi koper yang ada di tangannya
Fernan melepas pelukannya dan memandang Fea dengan wajah sedikit melow. "Bu guru bilang, mau pergi mission trip," kata bocah itu. "Oya? Kenapa kamu tidak semangat?" tanya Fea. "Katanya di sana ada teman yang ga punya mama dan papa. Mereka tinggal di rumah besar dirawat orang lain. Kasihan, Mama." Fernan menjawab dengan polosnya. "Ah, kalian akan ke panti asuhan?" tanya Fea lagi. Arfen yang ada di sebelah Fernan menyahut, "Iya. Kita akan kumpulin barang untuk mereka, biar ada alat sekolah dan pakaian, juga dapat makanan." "Oke, nanti kita siapkan. Sekarang, kita pulang, ya?" Fea berdiri, menggandeng kedua kembarnya di kiri dan kanan. Masuk ke dalam mobil, Fea langsung cek catatan dari sekolah. Ada surat pemberitahuan untuk kegiatan Mission Trip yang akan dilangsungkan minggu berikutnya. Menarik juga. Sejak dini, anak-anak diajarkan untuk bisa melihat sekelling, pada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dari mereka yang leb
Fea makin menajamkan pandangan pada Ibu Tinah. Ingatan Fea dengan cepat melaju pada beberapa tahun lalu, saat dia masih remaja, di rumah besar, ketika neneknya masih ada. Ya, tidak salah lagi, Fea ingat Ibu Tinah.Wajah wanita itu memang terlihat lebih umur, tetapi guratan senyumnya Fea masih kenal. Fea tidak menyangka dia bisa bertemu dengan Ibu Tinah di panti ini. Ibu Tinah dan keluarganya meninggalkan rumah besar, saat Fea masih duduk di bangku SMP. Setelah itu tidak pernah ada lagi kabar dari Ibu Tinah maupun keluarganya."Baiklah, Anak-anak semua! Kita akan segera mulai acara kita, ya??" Ibu pimpinan membuyarkan lamunan Fea. Fea kembali mengikuti acara yang dipimpin oleh salah satu guru."Semua senang hari ini!?" Dengan senyum ceria dan semangat, guru muda dengan wajah lumayan cantik itu berdiri di depan semua anak yang hadir."Senang, Bu!!" Suara riuh menyambut sapaan ibu guru itu."Oke, semua sekarang berdiri! Coba tangan di pinggang!"