Sherlita maju dua langkah mendekat ke sisi Lukman. Dia genggam tangan papanya, memandang pria hampir enam puluh tahun itu dengan tatapan sedih.
"Maafkan aku, please ..." kata Sherlita lirih. "Karena aku Papa jadi sakit."
Lukman menggeleng lemah. "Bukan kamu, bukan, Nak. Papa yang minta maaf, kamu sedang perlu dukungan, Papa justru merepotkan kamu."
"Nggak, Papa kok mikir begitu." Sherlita ingin menangis mendengar ucapan Lukman. "Yang penting Papa cepat sehat, aku butuh Papa. Please, Pa ..."
"Ya, Papa akan cepat sehat, Papa janji." Lukman mengangguk, mencoba bicara dengan nada meyakinkan.
Fea menemani Lukman di rumah itu, sedang Sherlita harus mengurus beberapa hal di kantor. Sementara Arnon juga tidak bisa tidak mengutak-atik urusan pekerjaan sambil memastikan si kembar baik dan aman.
Sebenarnya dalam waktu beberapa hari Fea dan Arnon sudah harus balik ke kota asal, karena Fernan sudah pulih. Mereka harus sekolah, Arnon juga perlu mela
Senyum Fea lebar saat mereka sampai ke tujuan. Rumah besar keluarga Hendrawan. Rumah itu ternyata sangat Fea rindukan. Rumah tempat dia pertama melihat Arnon, bertumbuh jadi dewasa, mengenal cinta, dan arti keluarga. Semua ada di rumah besar itu. "Kita turun. Lihat, Oma dan Opa menunggu." Fea berkata pada si kembar, meminta mereka keluar dari mobil. Dari teras tampak Arnella dan Ardiansyah berjalan ke arah mereka. Kedua orang tua itu tidak sabar ingin segera memeluk cucu mereka. "Opa! Oma!" Bersahutan Fernan dan Arfen lari menghambur ke pelukan Arnella dan Ardiansyah. Tawa gembira terdengar dari kedua kakek dan nenek mereka. "Aduh ... Opa sudah kangen sekali sama kalian. Rumah sepi, tidak suara teriakan dan nyanyian dari cucu ganteng Opa." Ardiansya menggendong Arfen di pelukannya. "Opa, aku bawa oleh-oleh buat Opa." Arfen merogoh saku celananya. "Apa itu?" tanya Ardiansyah. Dia turunkan Arfen kembali. Arfen menunjukkan s
Pintu rumah cantik dan megah itu terbuka. Sherlita memandang Robby yang berdiri di depannya.Sesuai janjinya, Robby pulang."Hai ..." Robby menyapa dengan suara berat. Tampak jelas dia lelah."Masuklah." Sherlita menahan diri agar tidak menangis. Rasa rindu yang memuncak, ingin sekali memeluk suaminya, tapi tertahan marah karena luka yang menganga.Sherlita berbalik, masuk ke dalam rumah. Robby mengangkat koper kecilnya dan mengikuti langkah Sherlita."Bisa aku langsung bicara saja? Aku tidak akan tenang sebelum aku mengutarakan semuanya." Robby menahan Sherlita agar tidak terus masuk ke ruang dalam.Sherlita berhenti, dia membalikkan badan dan memandang Robby. "Oke, bicaralah. Apapun itu, aku siap."Robby bisa melihat Sherlita sedang sedih, resah, dan juga kecewa. Namun, tidak ada marah lagi di sana. Mungkin benar, Sherlita benar-benar siap dengan semua yang Robby akan ucapkan padanya.Robby meletakkan lagi koper yang ada di tangannya
Fernan melepas pelukannya dan memandang Fea dengan wajah sedikit melow. "Bu guru bilang, mau pergi mission trip," kata bocah itu. "Oya? Kenapa kamu tidak semangat?" tanya Fea. "Katanya di sana ada teman yang ga punya mama dan papa. Mereka tinggal di rumah besar dirawat orang lain. Kasihan, Mama." Fernan menjawab dengan polosnya. "Ah, kalian akan ke panti asuhan?" tanya Fea lagi. Arfen yang ada di sebelah Fernan menyahut, "Iya. Kita akan kumpulin barang untuk mereka, biar ada alat sekolah dan pakaian, juga dapat makanan." "Oke, nanti kita siapkan. Sekarang, kita pulang, ya?" Fea berdiri, menggandeng kedua kembarnya di kiri dan kanan. Masuk ke dalam mobil, Fea langsung cek catatan dari sekolah. Ada surat pemberitahuan untuk kegiatan Mission Trip yang akan dilangsungkan minggu berikutnya. Menarik juga. Sejak dini, anak-anak diajarkan untuk bisa melihat sekelling, pada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dari mereka yang leb
Fea makin menajamkan pandangan pada Ibu Tinah. Ingatan Fea dengan cepat melaju pada beberapa tahun lalu, saat dia masih remaja, di rumah besar, ketika neneknya masih ada. Ya, tidak salah lagi, Fea ingat Ibu Tinah.Wajah wanita itu memang terlihat lebih umur, tetapi guratan senyumnya Fea masih kenal. Fea tidak menyangka dia bisa bertemu dengan Ibu Tinah di panti ini. Ibu Tinah dan keluarganya meninggalkan rumah besar, saat Fea masih duduk di bangku SMP. Setelah itu tidak pernah ada lagi kabar dari Ibu Tinah maupun keluarganya."Baiklah, Anak-anak semua! Kita akan segera mulai acara kita, ya??" Ibu pimpinan membuyarkan lamunan Fea. Fea kembali mengikuti acara yang dipimpin oleh salah satu guru."Semua senang hari ini!?" Dengan senyum ceria dan semangat, guru muda dengan wajah lumayan cantik itu berdiri di depan semua anak yang hadir."Senang, Bu!!" Suara riuh menyambut sapaan ibu guru itu."Oke, semua sekarang berdiri! Coba tangan di pinggang!"
Senyum kecut muncul di wajah Bu Tinah. Melihat itu, Fea merasa tidak nyaman untuk meneruskan pembicaraan."Bu, maaf, kalau Ibu rasa ...""Tidak apa-apa, Fea. Semua sudah terjadi. Meskipun disesali, tidak mungkin diulang." Bu Tinah menjawab, memotong perkataan Fea. "Kami keluar dari rumah besar dan tinggal di kontrakan kecil. Kupikir suamiku akan bertobat dan menyesali kesalahannya."Fea menatap Bu Tinah. Kalimat yang dia katakan seolah membuka kisah yang lebih pilu."Dia mencoba mencari kerja ke sana sini, hanya bertahan beberapa waktu, selalu saja dipecat. Sebab kebiasaan minum dan berjudinya sulit dia lepaskan. Aku juga tidak habis pikir, bagaimana bisa dia begitu terikat dengan dua hal bodoh itu. Sejak kenal dia tidak pernah aku melihat dia bersikap buruk. Tapi ternyata ..."Tatapan Bu Tinah kembali sedih. "... dia tak berdaya, tahu dia salah, tetapi tak mampu menjauh dari kebiasaan buruknya. Sedang aku tidak bisa kerja penuh seperti saat
Fea yang baru muncul tahu mengapa Arnon cukup kaget dengan ucapan Fernan. Dia tersenyum dan menghampiri suaminya."Ada kisah serunya, Ar. Tanya saja dua kembar kita.""Oya?" Arnon menoleh pada Fea.Fea bergeser menyambut Sherlita dan Robby. Memeluk mereka dengan hangat, penuh kelegaan. Yang lalu, terakhir kali mereka bertemu Robby dan Sherlita sedang bersitegang karena keusilan wanita yang terobsesi dengan Robby. Hampir saja pernikahan mereka buyar. Melihat keduanya kembali mesra, hati Fea terasa sejuk."Bagus kalian datang pas mau makan malam. Yuk, sekalian. Sambil ngobrol, sambil kangen-kangenan." Fea mengajak mereka ke ruang makan.Suasana meriah berlanjut di meja makan. Apalagi Arnella dan Ardiansyah ikut bergabung dengan mereka. Cerita ini dan itu membuat kegembiraan lengkap. Termasuk cerita si kembar tentang teman-temannya di panti. Mereka punya teman baru yang menyenangkan dan akan jadi teman selamanya.Arnon seolah-olah dibawa
Fea tidak bisa menahan keinginan Wati untuk ikut menemui Bu Tinah di panti. Fea tetap minta Wati tidak bicara apa-apa lebih dulu tentang pertemuan dengan Bu Tinah selama di rumah. Mereka akan pergi ke panti sepulang Sherlita dan Robby dari bulan madu kedua mereka.Sementara menunggu waktu itu, Fea berkomunikasi dengan Bu Tinah. Dia bicara tentang hal-hal biasa, kabar, kegiatan, dan soal-soal umumnya hari-hari yang yang mereka lalui. Juga Fea menanyakan Danar. Dan benar, Danar memant anak kedua Bu Tinah, yang ditinggal pergi suaminya saat dalam kandungan."Dia senang sekali bisa berkenalan dengan anak kamu, Fea. Danar bilang anak-anak kamu lucu seperti boneka. Kalau dia punya adik pingin seperti itu. Aku tertawa saja mendengar Danar cerita tentang anak-anak kamu." Itu yang Bu Tinah ucapkan saat bertelpon dengan Fea."Iya, Bu. Siapa yang menduga kan, anak-anak kita bisa berteman," kata Fea. "Oya, Bu, kalau di panti apa yang paling diperlukan selain kebutuhan sehar
Panti masih ramai dengan suara anak-anak bermain. Si kembar tampak senang di antara anak-anka itu. Bahkan Robby, Sherlita, dan Arnon tidak canggung ikut bermain dengan mereka. Sedangkan Fea, Wati, dan Tinah, duduk di taman samping melanjutkan kisah lama yang belum tuntas dikupas. "Setelah suamiku meninggal, aku kacau. Aku bingung dan panik. Dengan anak masih bocah, lalu bayi dalam kandungan, aku tidak tahu harus berbuat apa. Di tengah keputusasaan aku tidak sengaja bertemu Bu Liani, pimpinan panti ini. Saat itu aku sedang memeriksakan kandungan, yang terakhir kali menurut pikiranku. "Bu Liani begitu baik dan ramah. Tanpa sengaja saja kami berbincang, bercerita, hingga dia mengetahui keadaanku. Dia dengan tangan terbuka mengajak aku ke sini. Aku boleh bekerja di sini, tinggal selama kapanpun aku mau." Air mata menitik di ujung mata Tinah. "Tuhan tak pernah terlambat memberi pertolongan, meskipun tampaknya sangat lambat." Wati menyahut. "Mbak Wati benar