"Loh! Kok jadi gara-gara aku sih, Rin?"
Suara itu memekik di tengah tawa yang terdengar begitu menyebalkan di telinga Karina itu. Dasar temen nggak ada akhlak! Pasti dia tengah terbahak-bahak di kasur sambil guling-guling saat ini. Karina memutar bola mata dengan gemas, gara-gara Heni, Karina bisa jadi seperti ini!"Ya iyalah! Sejak kamu mulai nyerempet bahas mesum-mesum, aku ngimpi jelek terus, Hen! Bayangin kalo aku tiap merem, bayangan itu terus datang dan bikin aku nggak bisa tidur!" Kembali Karina mengomel, heran dia! Darimana Heni punya pikiran macam itu? Dia tampak polos dan tidak neko-neko! Karina sama sekali tidak menyangka bahwa di balik wajah polos itu tersimpan pikiran mesum yang tidak terkira!"Loh, aku ngomong apa adanya, Rin! Orang kalo habis nikah pasti gituan, kan? Kita belajar teori dari mana perempuan bisa hamil. Bagaimana pembuahan itu bisa terjadi? Oogenesis, spermatogenesis, ovulasi, mereka nggak bakalan bisa jadi zygot kalau nggak"Pa ... Ma, Karina pengen ngomong penting nih." Sendok dan garpu itu sudah Karina letakkan di piringnya yang kosong, matanya menatap bergantian sang mama dan sang papa yang juga sudah selesai makan. Nampak Dewi dan Ahmad kompak menatap Karina dari kursi mereka duduk. Ahmad menarik selembar tisu, menyeka mulutnya lalu menatap Karina dengan begitu serius. "Nah, katakan kalau begitu, Rin!" Titahnya lalu meraih gelas berisi air putih. Karina menghirup napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak lalu mulai bersuara. "Karin ... Karin pengen nikah, Ma ... Pah!""Uhuukk ... Uhuk!" Ahmad tersedak air yang memenuhi mulutnya, sementara Dewi terdekat dengan mulut setengah terbuka menatap Karina yang nampak takut-takut itu. Mereka kemudian kompak menatap Karina dengan tatapan terkejut, membuat Karina nyengir dengan jantung berdegup dua kali lebih cepat. "NIKAH, RIN? KAMU PENGEN NIKAH?" Dewi dan Ahmad kompak berteriak, wajah mereka masih syok, membu
"Kalian sudah lama kenal?" Ahmad membuka pembicaraan, dia duduk di sebelah Dewi sementara Karina duduk di hadapan mereka seorang diri. Karina menelan ludah, sudah lama kenal? Tentu Karina sudah mengenal sosok Yudha Anggara Yudhistira sejak dia masuk pre-klinik. Menjadi mahasiswi lelaki menyebalkan itu bagaimana bisa Karina tidak mengenal Yudha?Jadi tentu jawaban dari pertanyaan itu adalah 'iya', bukan? Karina nyengir, berusaha mengusir semua perasaan takutnya, kepalanya mengangguk perlahan, menjawab pertanyaan yang Ahmad tanyakan. "Sejak kapan sih, Rin, kamu sukanya sama om-om begitu? Kamu sama Bang Kefas aja cuma selisih sepuluh tahun. Sama Bang Kelvin selisih lima tahun, ini kamu sama pacar kamu selisihnya tiga belas tahun?" Dewi masih belum terima, sementara Ahmad masih begitu tenang. "Nggak masalah sih sebenernya selisih usia yang jauh, Ma." Jawab Ahmad yang kini mulai memberi tanda-tanda hendak mengambil alih semua pembicaraan. "Dia ini duda atau--.""Masih lajang, Pa! Bukan d
Karina sontak terbelalak. Libur lebih dari 2 hari? Mau apa memangnya papanya ini? Yudha hendak dia apakan sampai-sampai diminta libur lebih dari 2 hari? Mendadak tubuh Karina makin lemas, kini kepalanya menjadi pusing. Sibuk menerka-nerka dan berpikir mengenai masa depannya yang entah jadi macam apa semenjak peristiwa nahas itu menimpanya. "Nih!" Ahmad mengulurkan ponsel itu pada anak gadisnya. "Your Lovely Husband Papa suruh ke sini, sekalian jemput kamu besok."Karina menerima ponselnya sambil mengerucutkan bibir, "Pa ... Ini dia sendiri yang ganti nama kontak dia di hape Karin!" Tentu Karina harus menjelaskan perihal nama kontak si Bujang Lapuk itu terlebih dulu pada sang papa sebelum mama dan papanya berpikiran yang macam-macam, ya walaupun sudah bisa dipastikan kalau sekarang pun pikiran mereka sudah sampai kemana-mana. "Oh, iyakah?" Alis Ahmad berkerut, nampak terlihat sekali dia menggoda Karina. "Kalaupun benar begitu toh tidak kamu ganti, kan, na
Karina berdercak kesal ketika berkali-kali ponselnya berdering. Entah sudah berapa kali ponselnya berbunyi, Karina membiarkan saja ponsel itu meraung-raung. Menutupi wajahnya dengan bantal berharap tidak mendengar suara berisik itu. Namun, kesabaran Karina habis. Karina akhirnya meraih ponsel yang berisik setengah mati. 'My Lovely Husband'Sudah Karina duga, Bujang Lapuk itu yang menelepon! Dengan kesal Karina mengangkat panggilan itu, emosinya membuncah, apa lagi yang hendak dia bicarakan dengannya? "Apaan sih, Dok? Nggak bisa besok aja gimana?" Semprot Karina kesal. "Kalau besok beda cerita, Rin. Besok juga paling saya udah sampai sana kok."Emosi Karina yang tadi siap meledak-ledak sontak surut, matanya membulat mendengar apa yang tadi ia dengar. Besok? Yudha bilang besok dia sudah sampai sini? "Lah? Serius, Dok?" Tentu Karina terkejut, dia langsung mau datang kemari setelah disuruh papanya? Bukan main! Terdengar
“Seriusan?” terdengar jelas suara itu begitu terkejut. “Papa kamu nyuruh dokter Yudha langsung ke sana?”Karina mencebik, ia tengah rebahan malas di atas kasur dengan ponsel menempel di telinga. Siapa lagi yang dia telepon kalau bukan Heni? Menceritakan semua nasib sial yang tidak kunjung berhenti semenjak Karina mengucapkan sumpah itu secara sembarangan.“Seriuslah, Hen! Aku sendiri nggak tahu papa pengen ketemu dia buat apa.”Tentu Karina tidak tahu, bukankah papanya sama sekali tidak buka suara perihal tujuannya memanggil Yudha menghadap? Katanya suruh lihat nanti, apanya yang mau dilihat? Yudha? Ah ... ketemu lelaki itu hanya akan membuat migrain Karina kambuh!“Langsung dikawinin paling, Rin!” ujar Heni asal. “Udah dikroscek sama papamu, kan?”“HUS!” Karina melotot, untung saja Heni ada jauh di sana, kalau tidak, sudah Karina pastika bantal akan melayang dan membungkam mul
Yudha meraih ranselnya, segera melangkah keluar kamar begitu semua barang-barang bawaannya siap. Setelah pulang nanti, ia perlu berterimakasih banyak-banyak pada sejawatnya yang dengan sukarela mau menggantikan jadwalnya tiga hari ini. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa mangkir? Stevan memang sejawat paling the best dalam sepanjang karier Yudha sebagai dokter!“Bu, Yudha pamit nggak balik, ya?” ia menemui sang ibu yang sibuk di dapur membantu asisten rumah tangganya memasak.Ningsih sontak terbelalak, ia membalikkan badan dan menatap Yudha yang nampak santai dengan celana jeans hitam dan kaos polos warna hitam ini. Mata Ningsih menyorot, menatap Yudha dari ujung kaki sampai ujung kepala.“Yud ... mau kemana?” tentu itu yang Ningsih tanyakan ketika ia mendapati tas ransel itu sudah bertengger di pundak anak lelakinya. Bukan apa-apa, tas itu lebih besar dari yang biasa Yudha bawa mengajar.“Yudha mau nyusul Karin, Bu.” Ja
Karina tengah rebahan malas di atas kasur, ketika pintu kamarnya diketuk. Tanpa beranjak ataupun merubah posisinya, Karina berteriak mempersilahkan siapapun orang yang mengetuk pintunya itu masuk ke dalam kamar. Dari posisinya yang terbaring dengan kepala menjutai ke bawah itu, Karina bisa lihat Mbok Iin masuk ke dalam.“Astaga, Non! Ngapain?” tentu wanita paruh baya itu terkejut dengan posisi Karina rebahan yang terlihat begitu absurb.Sebodoh amat! Selain tengah meratapi nasib, Karina juga memanfaatkan waktu yang dia punya untuk goleran malas sebelum dia kemudian disibukkan dengan segala macam tetek-bengek urusan perkoasan.“Meratapi nasib, Mbok! Nggak tahu juga mau ngapain!” balas Karina tanpa beranjak dari posisinya.Mbok Iin lantas geleng-geleng kepala, masuk kemudian duduk di tepi ranjang, tepat berada di sisi Karina.“Kalau gitu mending turun deh, ada tamu nyariin bapak, Non!”Mata Karina membulat.
Karina sudah duduk di jok yang ada tepat di sebelah sosok itu. Nampak Yudha yang kini memakai hem lengan panjang warna abu dan celana bahan, membawa mobilnya melintasi jalanan Jakarta yang cukup padat. Papanya sudah memberi titah, meminta agar Yudha diantar menemui dirinya di rumah sakit untuk kemudian bicara banyak hal sekalian makan siang. Firasat Karina tidak enak, jangan-jangan sang papa akan setuju dan memberi ACC mereka menikah? Tidak! Karina tidak mau! Tapi daripada nanti dihamili dulu, bukankah lebih baik mereka memang menikah? Toh mereka sudah buat perjanjian, Karina akan aman sampai nanti waktunya dia meminta cerai. "Tumben diem, sariawan?"Karina menoleh, mengerucutkan bibirnya sambil bersandar malas di mobil. Katanya Yudha selalu pusing yang berujung hipertensi kalau dengar dia ngoceh, kenapa sekarang Karina diam, Yudha bingung? "Ntar kalo saya ngomong Dokter sakit kepala lagi!" Jawab Karina apa adanya. Dari sudu