Karina sontak terbelalak. Libur lebih dari 2 hari? Mau apa memangnya papanya ini? Yudha hendak dia apakan sampai-sampai diminta libur lebih dari 2 hari? Mendadak tubuh Karina makin lemas, kini kepalanya menjadi pusing. Sibuk menerka-nerka dan berpikir mengenai masa depannya yang entah jadi macam apa semenjak peristiwa nahas itu menimpanya. "Nih!" Ahmad mengulurkan ponsel itu pada anak gadisnya. "Your Lovely Husband Papa suruh ke sini, sekalian jemput kamu besok."Karina menerima ponselnya sambil mengerucutkan bibir, "Pa ... Ini dia sendiri yang ganti nama kontak dia di hape Karin!" Tentu Karina harus menjelaskan perihal nama kontak si Bujang Lapuk itu terlebih dulu pada sang papa sebelum mama dan papanya berpikiran yang macam-macam, ya walaupun sudah bisa dipastikan kalau sekarang pun pikiran mereka sudah sampai kemana-mana. "Oh, iyakah?" Alis Ahmad berkerut, nampak terlihat sekali dia menggoda Karina. "Kalaupun benar begitu toh tidak kamu ganti, kan, na
Karina berdercak kesal ketika berkali-kali ponselnya berdering. Entah sudah berapa kali ponselnya berbunyi, Karina membiarkan saja ponsel itu meraung-raung. Menutupi wajahnya dengan bantal berharap tidak mendengar suara berisik itu. Namun, kesabaran Karina habis. Karina akhirnya meraih ponsel yang berisik setengah mati. 'My Lovely Husband'Sudah Karina duga, Bujang Lapuk itu yang menelepon! Dengan kesal Karina mengangkat panggilan itu, emosinya membuncah, apa lagi yang hendak dia bicarakan dengannya? "Apaan sih, Dok? Nggak bisa besok aja gimana?" Semprot Karina kesal. "Kalau besok beda cerita, Rin. Besok juga paling saya udah sampai sana kok."Emosi Karina yang tadi siap meledak-ledak sontak surut, matanya membulat mendengar apa yang tadi ia dengar. Besok? Yudha bilang besok dia sudah sampai sini? "Lah? Serius, Dok?" Tentu Karina terkejut, dia langsung mau datang kemari setelah disuruh papanya? Bukan main! Terdengar
“Seriusan?” terdengar jelas suara itu begitu terkejut. “Papa kamu nyuruh dokter Yudha langsung ke sana?”Karina mencebik, ia tengah rebahan malas di atas kasur dengan ponsel menempel di telinga. Siapa lagi yang dia telepon kalau bukan Heni? Menceritakan semua nasib sial yang tidak kunjung berhenti semenjak Karina mengucapkan sumpah itu secara sembarangan.“Seriuslah, Hen! Aku sendiri nggak tahu papa pengen ketemu dia buat apa.”Tentu Karina tidak tahu, bukankah papanya sama sekali tidak buka suara perihal tujuannya memanggil Yudha menghadap? Katanya suruh lihat nanti, apanya yang mau dilihat? Yudha? Ah ... ketemu lelaki itu hanya akan membuat migrain Karina kambuh!“Langsung dikawinin paling, Rin!” ujar Heni asal. “Udah dikroscek sama papamu, kan?”“HUS!” Karina melotot, untung saja Heni ada jauh di sana, kalau tidak, sudah Karina pastika bantal akan melayang dan membungkam mul
Yudha meraih ranselnya, segera melangkah keluar kamar begitu semua barang-barang bawaannya siap. Setelah pulang nanti, ia perlu berterimakasih banyak-banyak pada sejawatnya yang dengan sukarela mau menggantikan jadwalnya tiga hari ini. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa mangkir? Stevan memang sejawat paling the best dalam sepanjang karier Yudha sebagai dokter!“Bu, Yudha pamit nggak balik, ya?” ia menemui sang ibu yang sibuk di dapur membantu asisten rumah tangganya memasak.Ningsih sontak terbelalak, ia membalikkan badan dan menatap Yudha yang nampak santai dengan celana jeans hitam dan kaos polos warna hitam ini. Mata Ningsih menyorot, menatap Yudha dari ujung kaki sampai ujung kepala.“Yud ... mau kemana?” tentu itu yang Ningsih tanyakan ketika ia mendapati tas ransel itu sudah bertengger di pundak anak lelakinya. Bukan apa-apa, tas itu lebih besar dari yang biasa Yudha bawa mengajar.“Yudha mau nyusul Karin, Bu.” Ja
Karina tengah rebahan malas di atas kasur, ketika pintu kamarnya diketuk. Tanpa beranjak ataupun merubah posisinya, Karina berteriak mempersilahkan siapapun orang yang mengetuk pintunya itu masuk ke dalam kamar. Dari posisinya yang terbaring dengan kepala menjutai ke bawah itu, Karina bisa lihat Mbok Iin masuk ke dalam.“Astaga, Non! Ngapain?” tentu wanita paruh baya itu terkejut dengan posisi Karina rebahan yang terlihat begitu absurb.Sebodoh amat! Selain tengah meratapi nasib, Karina juga memanfaatkan waktu yang dia punya untuk goleran malas sebelum dia kemudian disibukkan dengan segala macam tetek-bengek urusan perkoasan.“Meratapi nasib, Mbok! Nggak tahu juga mau ngapain!” balas Karina tanpa beranjak dari posisinya.Mbok Iin lantas geleng-geleng kepala, masuk kemudian duduk di tepi ranjang, tepat berada di sisi Karina.“Kalau gitu mending turun deh, ada tamu nyariin bapak, Non!”Mata Karina membulat.
Karina sudah duduk di jok yang ada tepat di sebelah sosok itu. Nampak Yudha yang kini memakai hem lengan panjang warna abu dan celana bahan, membawa mobilnya melintasi jalanan Jakarta yang cukup padat. Papanya sudah memberi titah, meminta agar Yudha diantar menemui dirinya di rumah sakit untuk kemudian bicara banyak hal sekalian makan siang. Firasat Karina tidak enak, jangan-jangan sang papa akan setuju dan memberi ACC mereka menikah? Tidak! Karina tidak mau! Tapi daripada nanti dihamili dulu, bukankah lebih baik mereka memang menikah? Toh mereka sudah buat perjanjian, Karina akan aman sampai nanti waktunya dia meminta cerai. "Tumben diem, sariawan?"Karina menoleh, mengerucutkan bibirnya sambil bersandar malas di mobil. Katanya Yudha selalu pusing yang berujung hipertensi kalau dengar dia ngoceh, kenapa sekarang Karina diam, Yudha bingung? "Ntar kalo saya ngomong Dokter sakit kepala lagi!" Jawab Karina apa adanya. Dari sudu
Karina menatap nanar lelaki yang tengah nyengir lebar ke arahnya itu. Nampak gigi putih dan rapi miliknya terlihat begitu indah berpadu dengan senyumannya. Apa tadi dia bilang? Seret? Ah ... sedetik kemudian Karina menyesal sudah menyentuh dan menarik tangan lelaki menyebalkan ini! Karina bergidik, segera lari masuk ke dalam lift begitu pintu lfit terbuka. Yudha melangkah masuk, berdiri tepat di sisi Karina dengan jarak yang begitu dekat, membuat perpaduan aroma lavender, jeruk dan lemon kembali memanjakan indra penciuman Karina. Karina sendiri heran, parfum apa yang lelaki ini pakai? Kenapa baunya bisa seenak ini? Mungkin kalau tidak ilfeel setengah mati dengan si pemakai parfum, Karina ingin berada terus di dekatnya. Tapi masalahnya, tiap dekat dengan Yudha, kepala Karina bisa dipastikan auto pusing! Tidak peduli seenak ini bau parfum yang menguar dari tubuhnya. Tidak ada percakapan yang terjadi sampai kemudian pintu lift kembali terbuka. Secepat kilat Karina melan
Yudha tidak peduli dengan penolakan keras Karina dan bagaimana masamnya wajah gadis itu ketika dia menggenggam dan menarik Karina keluar dari ruangan. Yang jelas, entah mengapa ketika tangannya mengenggam tangan Karina seperti ini, rasanya begitu lain dan damai.Tangan itu cukup mungil, sangat kecil malah jika dibandingkan dengan telapak tangannya yang besar. Ya ... sepadanlah dengan postur tubuh Karina yang mungil menggemaskan. Yudha mencengkeram tangan itu dengan sedikit kuat, tidak mau buruannya lepas begitu saja.Dengan langkah santai ia melewati antrian pasien, tidak dia hiraukan tatapan mereka yang nampak dia dan Karina dengan tatapan menyelidik. Langkah Yudha terus menuju sosok itu, lelaki paruh baya dengan snelli lengan panjang yang nampak tengah berbincang dengan sesama sejawatnya.“Nah ini anak gadisku, Gung. Alhamdulilah sudah beres skripsi tinggal nunggu wisuda lalu lanjut koas.”Yudha segera melepaskan tangan Karina, tidak s