Antara Aku, Suami, dan Maduku – 41‘Aku sangat lelah dengan pernikahan semacam ini … Ah sudahlah, Esha. Kamu hanya perlu bertahan sampai beberapa waktu lagi nanti sampai tiba saatnya kamu bisa kembali menuntut cerai Mas Bram,’ batin Esha. Keningnya kembali berkerut setiap kali dirinya harus memikirkan sang suami.Belum sampai Esha menemukan titik temu atas kegelisahan dan keresahannya, ponsel yang berada di genggamant tangannya kembali berdering.DrtDrtTertulis jelas di depan layar notifikasi panggilan yang berasal dari Mas Bram. Esha enggan untuk mengangkatnya. Namun semakin lama dibiarkan, panggilan itu seolah tak pernah berhenti. Bram terus saja menghubungi Esha berkali – kali.“Mau apa sih kamu, Mas?” Esha terpaksa mengangkat panggilan dari Bram. ia tak bisa membiarkannya begitu saja karena Esha tak bisa melakukan aktivitas yang lain. Ia jadi benar – benar merasa terganggu karena suara panggilan dari Bram. Tanpa basa – basi, Bram lantas mengatakan sesuatu dari dalam panggilan
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 42“Bagaimana keadaan mama, Mas?”Esha baru saja tiba, deru napasnya masih terdengar kacau dan berantakan. Mungkin, memang Esha berjalan dengan sangat terburu – buru untuk sampai di tempat ini. “Sebentar lagi mama juga baikan, dokter hanya bilang kalau mama perlu banyak istirahat,” tukas Bram.Esha mengangguk sembari menatap wajah mama Lidya. Meski sejujurnya Esha merasa sakit hati dengan perlakuan mama Lidya selama ini kepada dirinya, namun itu semua tidak lantas membuat Esha mmebenci mama mertuanya itu.Ada perasaaa sayang dan kasihan yang melingkupi diri Esha. Ia merasa tak sampai hati untuk membiarkan mama Lidya merasakan betapa sakitnya tusukan jarum yang kini memberinya kekuatan seperti itu. Ya, jarum infus bukan hanya jarum kecil, rasanya bahkan perih dan sakit. “Mama sakit apa, Mas? bagaimana kejadian sebenarnya? Dan, dimana yang lain? Alysa? Kemudian papa dan semua kakakmu, dimana?” Bram secara to the point langsung saja di terjang dengan per
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 43“Ma, aku tinggal sebentar ya. ada Esha yang akan menjaga mama. Aku tidak akan pergi terlalu lama, aku harap mama juga bisa segera siuman. Maafin aku ya, Ma.” Bram membisikkan kalimat perpisahan di telinga mama Lidya.Bukan untuk berpisah untuk selama – lamanya, melainkan hanya untuk sekedar pamit. Bram harus pergi ke suatu tempat. Bram benar – benar meninggalkan tubuh mama Lidya ynag saat ini sedanng terbaring tak sadarkan diri di pembaringan rumah sakit. ‘Mau kemaana coba Esha tadi? Kenapa dia … begitu buru – buru. Apa aku salah mengatakan sesuatu? Tapi kan memang aku sudah mengatakan apa adanya. Bagaimana bisa dia pergi begitu saja. Rasa – rasanya juga memang karena memang Esha terlihat tidak menyukai Alysa…’ batin Bram sembari berjalan ke arah pintu luar rumah sakit.Bram sengaja tak lagi menemui Esha setelah perempuan itu memilih untuk tidak lagi menanggapi soal pembelaan Bram untuk Alysa. Bram juga sengaja tidak memperjelas bagaimana keadaan ya
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 44“Tapi .. bagaimana bisa dokter tahu kalau aku disini?” ujar Esha dengan ekspresi yang menunjukkan banyak sekali tanda tanya.Dokter Haris tersenyum tipis, sembari menganggukan kepalanya lembut. “Yah … itu pun sebelumnya aku banyak bertanya dengan orang disini. Maksut saya, siapa tahu ada pasien atau perawat yang melihat kamu berjalan ke arah kemari. Dan ternyata aku benar. Benar bahwa kamu ternyata ada di sini kan?”Esha masih belum bisa menangkap ucapan dokter Haris. Karena baginya, cukup aneh jika hanya mengandalkan feeling atau bertanya dengan orang lain. Memangnya, selain Bram, mama Lidya siapa lagi orang yang mengenali Esha di rumah sakit ini?‘Atau mungkin … yah bisa jadi perawat yang mengurus mama selama ini lah yang memberi tahu. Benar sekali, rasanya tidak mungkin kalau tidak ada satupun orang yang mengenal atau mengetahuiku. Ah sudahlah … kenapa aku jadi negative thingking begini sih dengan dokter Haris?’ batin Esha sembari berusaha menyemb
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 46“Percayalah, Esha … tidak ada yang tidak mungkin selagi kita tak pernah berhenti berusaha. Dan aku kemari karena aku hendak menyampaikan bahwa kondisi ibu mertuamu sudah membaik. Mari kita temui dia. Jangan sampai dia menunggu terlalu lama,” ujar dokter Haris dengan penuh kelembutan. “Sungguh, dok? Mama sudah sadarkan diri?” Dokter Haris mengangguk cepat, dan membentangkan tangan kanannya guna mempersilahkan Esha untuk segera pergi. Tak ketinggalan, senyum manis yang kiranya masih merekah indah di sudut bibirnya meski itu hanya beberapa detik saja. Sementara Esha juga tak bisa berkata banyak. Selain memang suasana menjadi canggung, Esha juga enggan bertanya lebih jauh. Keterangan dari Dokter Haris sudah cukup untuk membawanya khawatir dan cemas dengan keadaan sang Ibu mertuanya sehingga Raline segera bergegas untuk pergi.Padahal, pada dasarnya Esha masih begitu penasaran dengan apa yang bisa ia peroleh dari diskusinya bersama dengan dokter Haris,
ANTARA AKU, SUAMI, DAN MADUKU – 46“Jangankan untuk mengurus saya sakit, hal mudah yang hanya sekedar memberikan saya cucu pun dia tidak bisa. Lalu apa yang harus saya harapkan dari dia dokter?”Mama Lidya memang keras. Dari sorot matanya pun sudah sangat jelas terlihat. Yang semula terkesan bodoamat dan enggan berbicara banyak karena Esha, kini mama Lidya justru terkesan bersikukuh menjelaskan semua rasa kesal dan bencinya dia terhadap sang menantu tertuanya.Jujur, dokter Haris pun sempat terkejut barang sebentar mendengar penuturan mama Lidya yang seperti itu. Namun, karena memang dokter Haris sudah tahu sebelumnya bagaimana sifat dan watak keluarga Bram, maka dokter Haris menanggapinya dengan santai. “Maaf … menurut saya, apa yang Anda bicarakan sudah sangat keterlaluan. Bukankah ini tidak pantas untuk di dengar?” ujar dokter Haris sembari menarik senyum simpul di wajahnya.Bukannya mengalah dan menyadari kekhilafan dari ucapannya, mama Lidya justru semakin menjadi – jadi. Kedua
ANTARA AKU, SUAMI, DAN MADUKU – 48“Kalau kamu memang tidak bisa mengurus perusahaan dan tidak pernah ada di lokasi perusahaan seperti ini, aku akan mengambil alih perusahaan ini!” ujar Alysa setengah memekik seperti orang yang memang setengah memaksa. “Bicara apa kamu, Alysa? Jangan mengatakan hal – hal yang bisa membuatku marah. Kamu pikir kamu siapa? dan jangan bicara omomg kosong ya, saya ini selalu di kantor. baru kali ini saya pergi keluar itupun karena panggilan dari Mas Bram,” balas Esha yang tak mau kalah. “Ya sudah kalau kamu masih akan tetap bersikukuh seperti itu. Tunggu saja perusahaan ini akan jatuh ke tanganku.”TUT!Panggilan Alysa untuk Esha telah berakhir. Padahal, Esha masih ingin mengatakan sesuatu yang mungkin sangat perlu untuk dia katakan.Esha belum bicara banyak. Ia juga tak lantas marah atau mengamuk tak karuan. Yang Esha lakukan saat ini masih diam berdiri sembari kembali mengingat ucapan Alysa.‘Kenapa … kenapa Alysa bisa – bisanya mengatakan hal semacam
ANTARA AKU, SUAMI, DAN MADUKU – 49“Mulai besok aku yang akan gantikan mbak Esha disini. Yah, lebih tepatnya di ruangan ini.”Esha masih tak bisa percaya. Ekspresi wajahnya menunjukkan betapa ia sangat bingung dengan ucapan Alysa. “Hey. Saya tidak sedang bercanda. Kamu, jangan main – main dengan saya, Alysa. Sekarang kamu angkat kaki dari ruangan saya dan kantor saya. Saya tidak sedang berbicara dengan istri dari suamiku atau siapapun itu. Saat ini, kamu adalah orang lain bagi saya. Silahkan pergi!” Bukannya berhenti berulah dan keluar dari ruangan kerja Esha, Alysa justru semakin berani dan menjadi – jadi. Ia kini melipat kedua lengan panjangnya yang lentik itu ke depan dadanya sembari menatap tajam ke arah Esha.“Seharusnya kamu itu sadar diri mbak … kamu bukan siapa – siapa lagi di perusahaan ini. justru aku lah yang sebenarnya berhak untuk mengusir kamu dari sini. Bagaimana pun, perusahaan ini sudah menjadi milik aku, bukan milik kamu. Kamu lah yang menjadi orang asing di sini,