SENOPATI Arya Lembana mengangkat sebelah tangannya ke udara. Sebuah isyarat agar rombongan prajurit berkuda di belakangnya berhenti. Debu seketika mengepul tebal di tempat tersebut. Beberapa depa di hadapan sang senopati, telah menunggu Kridapala yang juga menunggang kuda. Wajah lelaki berusia paruh baya itu mengembangkan satu senyum lebar. "Ah, Gusti Senopati. Sungguh sebuah kehormatan bagiku Gusti mau datang kemari. Aku anggap ini merupakan pertanda jika Gusti bersedia memaafkan diriku," ujar Kridapala menyambut. Pandangan mata Kridapala tak lepas-lepas dari menatap Arya Lembana. Sedangkan yang ditatap terlihat menunjukkan air muka datar, dengan sorot mata penuh selidik. "Aku datang kemari karena mendapat perintah dari Gusti Rakryan Tumenggung," jawab Arya Lembana kemudian. "Jadi, benar rupanya kau telah menemukan Gusti Puteri?" Kridapala tertawa pelan, merasa geli dengan sikap Arya Lembana yang tampak tak sabaran. "Apakah Gusti Senopati mengira aku tengah berdusta?" Kridapala
BELUM lagi gema suitan Kridapala lenyap, ramainya suara berkesiuran sudah terdengar pula di udara. Diikuti oleh belasan anak panah yang melesat dari balik semak-semak di atas lamping batu. Arya Lembana membelalakkan mata. Senopati itu langsung tahu apa yang terjadi. Namun baru saja ia hendak berteriak memberi ingat, jerit pekik para prajurit yang susul menyusul sudah mendahului. Tak kurang dari selusin prajurit Panjalu langsung tewas secara hampir bersamaan. Di tubuh mereka menancap sebatang anak panah yang sepertinya mengandung racun sangat jahat. Terlebih bagian yang diincar si pemanah rahasia merupakan titik-titik paling mematikan. Ada yang mengincar dada, punggung, tenggorokan, juga mata. "Keparat!" maki Arya Lembana sewaktu menyaksikan belasan prajuritnya jatuh bergelimpangan dari atas punggung kuda masing-masing. Gerahamnya bergemeletuk keras. Di lain tempat, Kridapala tertawa gelak-gelak melihat rona kemarahan di wajah Arya Lembana. Setelah puas tertawa, sekali lagi ia meng
USAI berkata demikian, Kridapala mengangkat tangan kanan di udara dan mengayunkannya ke depan. Sebuah isyarat bagi tiga pendekar sewaan di belakangnya untuk maju menyerang Arya Lembana.Tiga pendekar saling pandang sambil menyeringai tipis, lalu melesat ke muka. Dalam satu lompatan saja mereka sudah berdiri sejarak dua depa dari tempat Arya Lembana berdiri."Siapa kalian? Jangan coba-coba ikut campur urusanku!" bentak Arya Lembana dengan garang.Dua pendekar wanita berpakaian serba kuning sontak tertawa mendengar bentakan itu. Sedangkan pendekar lelaki berkulit gelap mengembangkan seringainya jadi lebih lebar."Senopati gagah, kami sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Kami hanya menjalankan tugas. Tidak lebih," sahut salah satu pendekar wanita.Sial dangkalan! Arya Lembana memaki dalam hati menyadari jika tiga pendekar ini pastilah disewa Kridapala. Meski tadi sempat membentak garang, itu sebenarnya ia lakukan untuk menutupi rasa jeri di dalam hati.Sejak mengadu pukulan t
DALAM bayangan kedua bekel, pedang mereka yang tajam bakal menebas putus selendang dua pendekar wanita. Namun yang terjadi kemudian justru di luar dugaan.Bukannya putus dibabat mata pedang, ujung selendang seolah berubah menjadi lempengan baja. Membuat senjata kedua bekel laksana menghantam tameng keras dan terpental lepas dari genggaman.Des! Des!Klontang!Berubah paras kedua bekel sewaktu menyadari senjata mereka terlepas. Keduanya saling berpandangan dengan wajah pucat terperangah. Satu keputusan bodoh yang membuka pertahanan sendiri.Dua pendekar wanita memanfaatkan kesempatan yang hanya sepersekian kejapan mata tersebut. Dengan cepat mereka kembali mengebutkan selendang panjang ke muka.Ujung dua selendang kuning menderu kencang. Kali ini mengarah dada kedua bekel yang masih terdiam saling berpandangan.Wuuuss! Wuuuss!Gerakan dua selendang diiringi suara menderu, membuat kedua bekel tersadar akan adanya serangan. Namun kesadaran tersebut sudah sangat terlambat.Belum sempat du
"ASTAGA! Suara apa itu, Mbok?" seru Dyah Wedasri ketika satu dentuman dahsyat terdengar. Mengalahkan gemuruh air terjun yang terletak tak jauh dari gua tempatnya berada."A-ampun, Gusti, h-hamba juga tidak tahu," sahut simbok emban dengan wajah kebingungan bercampur ketakutan.Dyah Wedasri menajamkan indera pendengaran. Ia yakin sekali suara dentuman tadi berasal dari luar gua. Dari arah asalnya, sang puteri menebak ada ledakan tak jauh dari air terjun.Tak lama kemudian Dyah Wedasri tampak mengerutkan kening. Paras ayunya berubah, seperti tengah bertanya-tanya sendiri. Pasalnya, ia kemudian juga menangkap suara-suara lain.Selain dentuman mengagetkan tadi, liang telinga Dyah Wedasri mendengar bentakan-bentakan yang disusul jerit-pekik kesakitan. Lalu ada pula suara seperti senjata beradu."Sepertinya terjadi peperangan di luar sana, Mbok," kata Dyah Wedasri lagi, seraya menelengkan kepala untuk memastikan pendengarannya tidak salah."Gusti mau ke mana?" tanya simbok emban dengan pani
"BUKAN begitu, Gusti. Senopati itu sebenarnya berkomplot dengan Ki Bekel Wikutama."Ucapan yang seolah menjawab pertanyaannya itu membuat Dyah Wedasri seketika menolehkan kepala. Ternyata Sudawarman sudah berdiri tepat di belakangnya, bersama dua prajurit tadi.Dengan raut muka tak percaya, Dyah Wedasri memandangi Sudawarman lekat-lekat. Namun sulit baginya membaca apakah kaki tangan Kridapala itu berdusta atau tidak, sebab kepala lelaki tersebut menunduk dalam.Wajah Sudawarman tak terlihat, sehingga Dyah Wedasri tak dapat membaca air muka maupun sorot mata lelaki itu. Padahal dua bagian tubuh tersebut dapat menunjukkan apakah ucapan tadi dusta belaka atau memang benar adanya."Bagaimana bisa kau menuduh Paman Lembana seperti itu?" tanya Dyah Wedasri kemudian."B-bukan tuduhan, Gusti Puteri," sahut Sudawarman cepat, meski tergagap. Otaknya juga secepat mungkin memeras alasan untuk mendukung ucapannya tadi."Kalau bukan tuduhan, apa itu tadi namanya?" sergah Dyah Wedasri. Jelas sekali
"HABISI mereka semua! Jangan beri ampun!" seru Kridapala kepada tiga pendekar sewaan. Satu tawa puas lantas terdengar dari mulutnya.Sementara di gelanggang pertempuran, dua bekel Panjalu terlihat sudah sangat kepayahan. Sudut bibir mereka bercelemongan noda darah, sedangkan wajah keduanya tampak pucat pasi.Baru saja dada kedua bekel tersebut kena hantam ujung selendang milik dua pendekar wanita. Sebuah serangan yang berkali-kali membuat mereka mati kutu dan terus mendapat luka dalam.Dalam keadaan kaki gemetar, kedua bekel tersebut memaksakan diri tetap berdiri tegak. Menunggu gempuran susulan dari dua pendekar wanita berpakaian serba kuning yang sudah bersiap dengan selendang di tangan."Kalian dengar itu?" ujar salah satu pendekar wanita, sembari menyeringai bengis. "Tidak ada ampunan untuk kalian berdua. Jadi, bersiaplah menyerahkan nyawa!""Cuih!" Salah satu bekel meludah ke samping. Air liurnya berwarna kemerahan, pertanda bercampur darah. "Kami kesatria Panjalu tidak takut mat
RENCANA cadangan yang dimaksud Kridapala adalah melarikan Dyah Wedasri dari kawasan air terjun. Maka diiringi Daksa yang berlari di belakang kudanya, bekel pengkhianat itu cepat menuju gua."Cepat habisi mereka bertiga! Jangan main-main lagi!" seru Kridapala pada tiga pendekar sewaan, sebelum menggebah kudanya dan pergi.Tepat ketika Kridapala dan Daksa tiba di mulut gua, terdengar suara bergemuruh ramai dari arah seberang jembatan. Kedua orang itu sontak menoleh dan melebarkan bola mata.Di sana, di jalan menuju jembatan kayu yang jadi penghubung ke arah gua, tampak sepasukan besar prajurit berderap mendekat. Meski wajahnya tidak terlihat jelas, tetapi Kridapala dan Daksa langsung dapat mengenali sosok yang memimpin pasukan tersebut."Gawat!" desis Kridapala. "Kita tidak punya waktu banyak. Cepat, cepat!"Dengan benak dibungkus ketakutan, Kridapala dan Daksa bersicepat masuk ke dalam gua. Begitu menemui dua prajurit yang tadi mengiringi Sudawarman, mereka langsung menghentikan langka