"AAAAA!" Citrakara terpekik kaget saat merasakan tubuh Ganduswa tiba-tiba saja menegang. Ketika ia membuka mata, ternyata lelaki bejat tersebut sudah tidak lagi menindihnya di atas. Terdengar suara erangan dari samping. Citrakara cepat palingkan kepala ke arah sana dan sekali lagi dibuat memekik kaget. Rupanya Ganduswa sudah berpindah tempat. Tampak tengah mendesis-desis kesakitan dalam keadaan menekuk badan di atas tanah. Kedua tangannya memegangi selangkangan. "Mau lagi, hah?" tanya satu suara serak, membuat Citrakara mendongak dan menyadari kehadiran sosok ketiga. Seorang lelaki tua tengah berdiri berkacak pinggang di dekat Ganduswa. Wajahnya yang keriput dihias rambut putih panjang menjela bahu. Kumis dan jenggotnya juga berwarna putih keperakan semua. Meski sikapnya tengah mengancam Ganduswa, tetapi mimik lelaki tua itu tampak lucu. Citrakara sulit menebak apakah orang tersebut tengah marah atau justru melawak. Jangan-jangan, orang tua ini temannya lelaki mesum itu? Pura-pu
"ELADALAH! Dia malah kabur," gerutu si lelaki tua, sembari memandangi kepergian Ganduswa.Namun setelahnya lelaki tua itu tidak ambil peduli. Ia memilih berbalik badan, mendekati Citrakara yang duduk berjongkok. Perempuan itu melongo melihat Ganduswa kabur ketakutan."Anak Cantik, kau tidak apa-apa?" tanya si lelaki tua begitu tiba di hadapan Citrakara."O-oh, Kakek...."Citrakara tergeragap, antara kaget dan malu kalau-kalau dadanya yang tak terlindung pakaian dilihat orang. Cepat-cepat ia merapatkan kedua kaki dan tangan yang sedari tadi dipakai menutupi bagian tersebut."A-aku tidak apa-apa, Kek. Lelaki tadi belum sempat berbuat apa-apa padaku," jawab Citrakara setengah berbohong. Ia jelas malu mengakui kalau sudah diciumi Ganduswa dan bahkan pakaiannya dirobek."Terima kasih kau sudah menolongku, Kek," lanjut Citrakara.Si lelaki tua lagi-lagi tertawa mengekeh. Sambil terus tertawa ia meloloskan kain panjang yang sedari tadi tersampir melingkar di bahunya. Diulurkannya benda terse
"KI BEKEL, yang kita tunggu-tunggu sudah datang."Kridapala yang tengah bersandar di batu dengan terkantuk-kantuk, seketika membuka mata saat mendengar bisikan tersebut. Kepalanya sontak menoleh ke samping, di mana seorang lelaki bertelanjang dada tengah membungkuk di dekat telinganya."Siapa maksudmu, Daksa?" tanya Kridapala yang masih belum sepenuhnya sadar. "Ganduswa atau Paladhu yang sudah datang?"Lelaki yang dipanggil Daksa langsung menoleh. "Bukan, Ki Bekel, tapi salah satu orang yang kita pancing dari Kotaraja," jawabnya, masih dengan berbisik.Paras Kridapala berubah seketika. Sebuah seringai senang terbit di wajah lelaki paruh baya itu. "Senopati keparat itukah maksudmu?""Benar sekali, Ki Bekel," sahut Daksa."Bagus!" Kridapala meninju telapak tangannya sendiri, lantas bangkit dari atas batu tempatnya beristirahat. "Sudah sampai mana dia? Seberapa banyak kekuatan pasukan yang dia bawa?""Tadi ketika aku diberi kabar, rombongan mereka baru saja melintasi balai penjagaan terd
SENOPATI Arya Lembana mengangkat sebelah tangannya ke udara. Sebuah isyarat agar rombongan prajurit berkuda di belakangnya berhenti. Debu seketika mengepul tebal di tempat tersebut. Beberapa depa di hadapan sang senopati, telah menunggu Kridapala yang juga menunggang kuda. Wajah lelaki berusia paruh baya itu mengembangkan satu senyum lebar. "Ah, Gusti Senopati. Sungguh sebuah kehormatan bagiku Gusti mau datang kemari. Aku anggap ini merupakan pertanda jika Gusti bersedia memaafkan diriku," ujar Kridapala menyambut. Pandangan mata Kridapala tak lepas-lepas dari menatap Arya Lembana. Sedangkan yang ditatap terlihat menunjukkan air muka datar, dengan sorot mata penuh selidik. "Aku datang kemari karena mendapat perintah dari Gusti Rakryan Tumenggung," jawab Arya Lembana kemudian. "Jadi, benar rupanya kau telah menemukan Gusti Puteri?" Kridapala tertawa pelan, merasa geli dengan sikap Arya Lembana yang tampak tak sabaran. "Apakah Gusti Senopati mengira aku tengah berdusta?" Kridapala
BELUM lagi gema suitan Kridapala lenyap, ramainya suara berkesiuran sudah terdengar pula di udara. Diikuti oleh belasan anak panah yang melesat dari balik semak-semak di atas lamping batu. Arya Lembana membelalakkan mata. Senopati itu langsung tahu apa yang terjadi. Namun baru saja ia hendak berteriak memberi ingat, jerit pekik para prajurit yang susul menyusul sudah mendahului. Tak kurang dari selusin prajurit Panjalu langsung tewas secara hampir bersamaan. Di tubuh mereka menancap sebatang anak panah yang sepertinya mengandung racun sangat jahat. Terlebih bagian yang diincar si pemanah rahasia merupakan titik-titik paling mematikan. Ada yang mengincar dada, punggung, tenggorokan, juga mata. "Keparat!" maki Arya Lembana sewaktu menyaksikan belasan prajuritnya jatuh bergelimpangan dari atas punggung kuda masing-masing. Gerahamnya bergemeletuk keras. Di lain tempat, Kridapala tertawa gelak-gelak melihat rona kemarahan di wajah Arya Lembana. Setelah puas tertawa, sekali lagi ia meng
USAI berkata demikian, Kridapala mengangkat tangan kanan di udara dan mengayunkannya ke depan. Sebuah isyarat bagi tiga pendekar sewaan di belakangnya untuk maju menyerang Arya Lembana.Tiga pendekar saling pandang sambil menyeringai tipis, lalu melesat ke muka. Dalam satu lompatan saja mereka sudah berdiri sejarak dua depa dari tempat Arya Lembana berdiri."Siapa kalian? Jangan coba-coba ikut campur urusanku!" bentak Arya Lembana dengan garang.Dua pendekar wanita berpakaian serba kuning sontak tertawa mendengar bentakan itu. Sedangkan pendekar lelaki berkulit gelap mengembangkan seringainya jadi lebih lebar."Senopati gagah, kami sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Kami hanya menjalankan tugas. Tidak lebih," sahut salah satu pendekar wanita.Sial dangkalan! Arya Lembana memaki dalam hati menyadari jika tiga pendekar ini pastilah disewa Kridapala. Meski tadi sempat membentak garang, itu sebenarnya ia lakukan untuk menutupi rasa jeri di dalam hati.Sejak mengadu pukulan t
DALAM bayangan kedua bekel, pedang mereka yang tajam bakal menebas putus selendang dua pendekar wanita. Namun yang terjadi kemudian justru di luar dugaan.Bukannya putus dibabat mata pedang, ujung selendang seolah berubah menjadi lempengan baja. Membuat senjata kedua bekel laksana menghantam tameng keras dan terpental lepas dari genggaman.Des! Des!Klontang!Berubah paras kedua bekel sewaktu menyadari senjata mereka terlepas. Keduanya saling berpandangan dengan wajah pucat terperangah. Satu keputusan bodoh yang membuka pertahanan sendiri.Dua pendekar wanita memanfaatkan kesempatan yang hanya sepersekian kejapan mata tersebut. Dengan cepat mereka kembali mengebutkan selendang panjang ke muka.Ujung dua selendang kuning menderu kencang. Kali ini mengarah dada kedua bekel yang masih terdiam saling berpandangan.Wuuuss! Wuuuss!Gerakan dua selendang diiringi suara menderu, membuat kedua bekel tersadar akan adanya serangan. Namun kesadaran tersebut sudah sangat terlambat.Belum sempat du
"ASTAGA! Suara apa itu, Mbok?" seru Dyah Wedasri ketika satu dentuman dahsyat terdengar. Mengalahkan gemuruh air terjun yang terletak tak jauh dari gua tempatnya berada."A-ampun, Gusti, h-hamba juga tidak tahu," sahut simbok emban dengan wajah kebingungan bercampur ketakutan.Dyah Wedasri menajamkan indera pendengaran. Ia yakin sekali suara dentuman tadi berasal dari luar gua. Dari arah asalnya, sang puteri menebak ada ledakan tak jauh dari air terjun.Tak lama kemudian Dyah Wedasri tampak mengerutkan kening. Paras ayunya berubah, seperti tengah bertanya-tanya sendiri. Pasalnya, ia kemudian juga menangkap suara-suara lain.Selain dentuman mengagetkan tadi, liang telinga Dyah Wedasri mendengar bentakan-bentakan yang disusul jerit-pekik kesakitan. Lalu ada pula suara seperti senjata beradu."Sepertinya terjadi peperangan di luar sana, Mbok," kata Dyah Wedasri lagi, seraya menelengkan kepala untuk memastikan pendengarannya tidak salah."Gusti mau ke mana?" tanya simbok emban dengan pani