RAKRYAN Rangga bergegas keluar dari ruang tahanan. Pintu kembali ditutup dan dikunci. Arya Lembana mengikuti kepergian atasannya itu dari lubang yang ada di daun pintu besi. Sekitar sepeminuman teh berselang, suara berisik logam beradu kembali terdengar. Ketika pintu ruang tahanan terbuka, Rakryan Rangga masuk bersama seorang lelaki bercambang bauk lebat. Karena kini di dalam tahanan ada orang ketiga, dua orang prajurit turut masuk untuk berjaga-jaga di dekat pintu. Sementara Arya Lembana langsung mendekati lelaki bercambang bauk yang tak lain Ganaseta. "Ganaseta," panggil Arya Lembana. "Kami memerlukan keteranganmu." Sekalipun hukumannya diringankan menjadi kurungan seumur hidup, tetap saja Ganaseta merasa kesal dan mendendam pada para petinggi tata keprajuritan Panjalu. Termasuk terhadap Arya Lembana. Karena itulah si perampok hanya diam menatap Arya Lembana dengan sorot mata tajam. Lagi pula, ia tidak tahu untuk apa dirinya dibawa ke ruang tahanan ini. Rakryan Rangga tidak berk
SEMENTARA itu di perbatasan Kotaraja.... Seorang lelaki tua berjalan membelah jalanan tanah menuju pusat kota Dahanapura. Sambil berjalan, si lelaki tua sambil bersiul-siul. Sesekali kaki dan pinggulnya bergoyang seirama nada siulan. Jika ditilik dari warna rambut dan jenggot serta perawakannya yang kurus kering, usia lelaki tua itu tak kurang dari 60 tahun. Namun jalannya masih sangat lincah dan kencang. "Oh, Dahanapura. Sudah puluhan tahun aku tidak menginjakkan kaki ke tempat ini," gumam si kakek, sembari memandangi sekitar. Saat itu ia tiba di satu persimpangan jalan dan berhenti dengan bimbang. Keningnya yang sudah keriput tampak berkerut-kerut kusut tak karuan. "Sekarang jalan mana yang harus kutempuh?" ujar si lelaki tua pada dirinya sendiri. "Lurus terus ke arah sana, belok kiri, atau belok kanan?" Lama termenung sendiri tak mendapat jawaban, secara tak sengaja pandangan mata lelaki tua itu terantuk pada sebuah warung makan di tepi jalan yang berbelok ke kiri. Entah isyar
MESKI sempat kaget, si lelaki tua tidak sedikit pun mengangkat wajah ke arah asal suara. Tadi sekilas ia sudah melihat sosok keempat lelaki yang baru datang itu.Empat lelaki tersebut kesemuanya bertelanjang dada, menampakkan tubuh penuh otot dengan dada bidang. Si kakek menduga, mereka adalah kalangan kesatria. Setidak-tidaknya prajurit kerajaan.Si kakek lantas berlagak masa bodoh, tetapi diam-diam mementang kedua belah telinganya lebar-lebar untuk menangkap isi pembicaraan orang. Nama yang barusan disebut salah satu dari empat orang itu menarik perhatiannya."Pelankan suaramu, Surama. Tidakkah kau tahu kita sedang berada di mana?" tegur salah satu dari keempat lelaki pada temannya yang berbicara tadi.Yang ditegur mendengus tak senang. Pelipisnya bergerak-gerak."Kita berada jauh di pinggiran Kotaraja, Sudawarman. Lagi pula, tidak ada siapa-siapa di warung ini kecuali sepasang muda-mudi kasmaran dan seorang tua pikun. Mereka tidak akan tahu dan juga tidak akan peduli dengan apa yan
SETELAH agak jauh meninggalkan Kotaraja, baru Kridapala menyadari ada yang salah dengan pertemuannya barusan. Bekel kerajaan itu teringat satu kalimat Jayeng saat mereka baru bersitatap."Keparat! Dari mana Jayeng sialan tahu kalau aku mendapat titah dari Gusti Tumenggung untuk mencari Gusti Puteri? Jangan-jangan...."Kridapala tidak berani meneruskan. Yang jelas kecamuk pikiran yang muncul tiba-tiba memengaruhi kendali atas kuda.Tanpa sadar bekel kerajaan tersebut menarik tali kekang, sehingga membuat hewan tunggangannya memperlambat lari. Baru setelah beberapa saat Kridapala tersadar apa yang terjadi."Siapa sebetulnya Jayeng itu? Selama ini yang aku tahu dia telik sandi kerajaan yang menjadi tangan kanan Arya Agreswara. Kenapa setelah senopati sialan itu modar, Jayeng masih saja berkeliaran?" gumam Kridapala lagi."Satu hal lagi ..." Kridapala jadi teringat sesuatu. "Bagaimana mungkin Jayeng yang sering menjalin hubungan dengan Arya Agreswara bisa selamat dari upaya bersih-bersih
KRIDAPALA tak mengindahkan ucapan orang. Bahkan ia sama sekali tidak menoleh ke belakang. Alih-alih, bekel tersebut menggebah kuda tunggangannya agar berlari jauh lebih kencang lagi.Sambil terus memacu kuda, di dalam hati Kridapala memaki diri sendiri. Ia jadi menyesal telah memperturutkan rasa penasaran dan singgah ke Surawana.Kejadian yang telah berlalu puluhan tahun itu seolah masih segar dalam ingatannya. Terlebih ketika ia mendatangi kebun sayur di mana dahulu, dua dasawarsa lalu saat ia datang ke sana dengan menggendong bayi, berdiri sebuah rumah kayu."Keparat! Perasaan ini kembali memengaruhiku," keluh Kridapala, menggeram kesal. "Dulu aku memperturutkan perasaan seperti ini dan hasilnya? Aku sungguh menyesal telah menyelamatkan bayi sialan itu!"Untuk mengenyahkan segala bayangan dan juga perasaan menyesakkan dari masa lalu, Kridapala memacu kudanya kencang-kencang. Hewan itu melesat secepat angin, hanya menampakkan debu mengebul di sepanjang perjalanan.Saking cepatnya Kri
USAI berkata begitu, lelaki berpakaian hitam itu memisahkan diri dari teman-temannya. Ia memberi isyarat pada Kridapala agar mengikutinya, kemudian mendahului melangkah lurus ke arah badan sungai. Kridapala mengikuti lelaki tersebut dengan menunggang kuda yang berjalan perlahan-lahan. Mereka menyeberangi sungai yang dasarnya berbatu-batu. Suara air berkecipak ramai terdengar meningkahi langkah-langkah kaki rombongan kecil itu. Melihat kudanya beberapa kali terpeleset, Kridapala memutuskan meninggalkan hewan tersebut setiba di seberang sungai. Selepas itu mereka melalui jalan setapak yang di kanan-kirinya tertutup semak belukar rendah. Hingga sampailah di satu tempat yang sangat rimbun oleh jejeran pepohonan besar-besar. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini," ujar lelaki berpakaian hitam di depan, sembari berbalik menghadap Kridapala. Suiiiittt! Tanpa menunggu jawaban orang yang diajak bicara, lelaki tersebut tiba-tiba bersuit nyaring. Suara suitannya bergema di dalam hutan
MELIHAT Kridapala kebingungan, Sukarta kembali perdengarkan tawa. Lelaki bertubuh gempal itu lantas berdiri, sembari enak saja melemparkan jambu air yang tinggal setengah ke sembarang arah.Sambil mulutnya terus bergerak mengunyah, Sukarta berjalan perlahan-lahan mendekati Triguna dan Kridapala. Lalu kepala gerombolan perampok Kebo Cemeng itu berhenti di hadapan kedua orang tersebut."Dyah Wedasri Kusumabuwana ..." Sukarta mengembangkan seringai tipis, sembari memandangi Triguna dan Kridapala berganti-ganti. "Aku jadi penasaran apa yang sudah raja kalian lakukan untuk mencari puteri kesayangannya itu.""Gusti Prabu langsung memerintahkan Rakryan Tumenggung untuk memimpin pencarian. Dalam jangka waktu sepekan, Gusti Puteri sudah harus diketemukan atau leher Rakryan Tumenggung akan dipenggal," sahut Kridapala. Kabar itulah yang ia dengar sewaktu pertama kali tiba di Kotaraja kemarin malam.Paras Sukarta dan Triguna seketika berubah, lalu keduanya saling pandang. Sembari menyeringai penu
SEBENARNYA Kridapala merasa mengkal betul. Ia tidak keberatan jika harus mengadu kekuatan dengan Sukarta. Namun Triguna sudah terlebih dahulu menggiringnya keluar, meninggalkan Sukarta yang tengah melolot lebar dengan wajah merah padam.Tiba di teras menuju tangga, empat orang berpakaian hitam-hitam telah mengadang. Sikap mereka waspada, dengan sorot mata garang tertuju pada Kridapala. Genggaman tangan masing-masing sudah berada pada gagang golok yang tergantung di pinggang.Triguna menggoyangkan kepalanya pada keempat lelaki berpakaian hitam-hitam itu. Memberi isyarat bahwa tidak terjadi apa-apa dan mereka boleh pergi. "Jangan terbawa amarah, Ki Bekel. Ini urusan besar, tidak akan mungkin berjalan lancar kalau setiap yang terlibat di dalamnya mengumbar amarah dan kehendaknya sendiri-sendiri," ujar Triguna, membujuk Kridapala saat langkah-langkah kaki mereka berdua mulai menuruni anak tangga."Tapi aku sudah menyatakan diri ikut dengan kalian, Triguna!" balas Kridapala tak mau kalah.