SETELAH agak jauh meninggalkan Kotaraja, baru Kridapala menyadari ada yang salah dengan pertemuannya barusan. Bekel kerajaan itu teringat satu kalimat Jayeng saat mereka baru bersitatap."Keparat! Dari mana Jayeng sialan tahu kalau aku mendapat titah dari Gusti Tumenggung untuk mencari Gusti Puteri? Jangan-jangan...."Kridapala tidak berani meneruskan. Yang jelas kecamuk pikiran yang muncul tiba-tiba memengaruhi kendali atas kuda.Tanpa sadar bekel kerajaan tersebut menarik tali kekang, sehingga membuat hewan tunggangannya memperlambat lari. Baru setelah beberapa saat Kridapala tersadar apa yang terjadi."Siapa sebetulnya Jayeng itu? Selama ini yang aku tahu dia telik sandi kerajaan yang menjadi tangan kanan Arya Agreswara. Kenapa setelah senopati sialan itu modar, Jayeng masih saja berkeliaran?" gumam Kridapala lagi."Satu hal lagi ..." Kridapala jadi teringat sesuatu. "Bagaimana mungkin Jayeng yang sering menjalin hubungan dengan Arya Agreswara bisa selamat dari upaya bersih-bersih
KRIDAPALA tak mengindahkan ucapan orang. Bahkan ia sama sekali tidak menoleh ke belakang. Alih-alih, bekel tersebut menggebah kuda tunggangannya agar berlari jauh lebih kencang lagi.Sambil terus memacu kuda, di dalam hati Kridapala memaki diri sendiri. Ia jadi menyesal telah memperturutkan rasa penasaran dan singgah ke Surawana.Kejadian yang telah berlalu puluhan tahun itu seolah masih segar dalam ingatannya. Terlebih ketika ia mendatangi kebun sayur di mana dahulu, dua dasawarsa lalu saat ia datang ke sana dengan menggendong bayi, berdiri sebuah rumah kayu."Keparat! Perasaan ini kembali memengaruhiku," keluh Kridapala, menggeram kesal. "Dulu aku memperturutkan perasaan seperti ini dan hasilnya? Aku sungguh menyesal telah menyelamatkan bayi sialan itu!"Untuk mengenyahkan segala bayangan dan juga perasaan menyesakkan dari masa lalu, Kridapala memacu kudanya kencang-kencang. Hewan itu melesat secepat angin, hanya menampakkan debu mengebul di sepanjang perjalanan.Saking cepatnya Kri
USAI berkata begitu, lelaki berpakaian hitam itu memisahkan diri dari teman-temannya. Ia memberi isyarat pada Kridapala agar mengikutinya, kemudian mendahului melangkah lurus ke arah badan sungai. Kridapala mengikuti lelaki tersebut dengan menunggang kuda yang berjalan perlahan-lahan. Mereka menyeberangi sungai yang dasarnya berbatu-batu. Suara air berkecipak ramai terdengar meningkahi langkah-langkah kaki rombongan kecil itu. Melihat kudanya beberapa kali terpeleset, Kridapala memutuskan meninggalkan hewan tersebut setiba di seberang sungai. Selepas itu mereka melalui jalan setapak yang di kanan-kirinya tertutup semak belukar rendah. Hingga sampailah di satu tempat yang sangat rimbun oleh jejeran pepohonan besar-besar. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini," ujar lelaki berpakaian hitam di depan, sembari berbalik menghadap Kridapala. Suiiiittt! Tanpa menunggu jawaban orang yang diajak bicara, lelaki tersebut tiba-tiba bersuit nyaring. Suara suitannya bergema di dalam hutan
MELIHAT Kridapala kebingungan, Sukarta kembali perdengarkan tawa. Lelaki bertubuh gempal itu lantas berdiri, sembari enak saja melemparkan jambu air yang tinggal setengah ke sembarang arah.Sambil mulutnya terus bergerak mengunyah, Sukarta berjalan perlahan-lahan mendekati Triguna dan Kridapala. Lalu kepala gerombolan perampok Kebo Cemeng itu berhenti di hadapan kedua orang tersebut."Dyah Wedasri Kusumabuwana ..." Sukarta mengembangkan seringai tipis, sembari memandangi Triguna dan Kridapala berganti-ganti. "Aku jadi penasaran apa yang sudah raja kalian lakukan untuk mencari puteri kesayangannya itu.""Gusti Prabu langsung memerintahkan Rakryan Tumenggung untuk memimpin pencarian. Dalam jangka waktu sepekan, Gusti Puteri sudah harus diketemukan atau leher Rakryan Tumenggung akan dipenggal," sahut Kridapala. Kabar itulah yang ia dengar sewaktu pertama kali tiba di Kotaraja kemarin malam.Paras Sukarta dan Triguna seketika berubah, lalu keduanya saling pandang. Sembari menyeringai penu
SEBENARNYA Kridapala merasa mengkal betul. Ia tidak keberatan jika harus mengadu kekuatan dengan Sukarta. Namun Triguna sudah terlebih dahulu menggiringnya keluar, meninggalkan Sukarta yang tengah melolot lebar dengan wajah merah padam.Tiba di teras menuju tangga, empat orang berpakaian hitam-hitam telah mengadang. Sikap mereka waspada, dengan sorot mata garang tertuju pada Kridapala. Genggaman tangan masing-masing sudah berada pada gagang golok yang tergantung di pinggang.Triguna menggoyangkan kepalanya pada keempat lelaki berpakaian hitam-hitam itu. Memberi isyarat bahwa tidak terjadi apa-apa dan mereka boleh pergi. "Jangan terbawa amarah, Ki Bekel. Ini urusan besar, tidak akan mungkin berjalan lancar kalau setiap yang terlibat di dalamnya mengumbar amarah dan kehendaknya sendiri-sendiri," ujar Triguna, membujuk Kridapala saat langkah-langkah kaki mereka berdua mulai menuruni anak tangga."Tapi aku sudah menyatakan diri ikut dengan kalian, Triguna!" balas Kridapala tak mau kalah.
TAK lama setelah Kridapala meninggalkan lembah di mana gerombolan Kebo Cemeng bersarang, sepasukan prajurit Panjalu ganti mendatangi tempat tersebut. Kedatangan mereka dipimpin langsung oleh Rakryan Rangga. Tentu saja Rakryan Rangga tak sendiri. Wakil panglima Kerajaan Panjalu itu membawa serta seorang senopati, dua orang bekel, ditambah dua lurah prajurit sebagai pemimpin pasukan. Kekuatan pasukan itu sendiri sebanyak 30 prajurit magalah dan 20 prajurit pemanah. Satu jumlah yang sebetulnya terlalu banyak kalau hanya untuk menggerebek gerombolan perampok. Namun ini menunjukkan betapa pentingnya penyerbuan tersebut. "Gusti Rangga, lihat orang-orang itu!" seru Senopati Arya Mandura, perwira menengah yang turut memimpin pasukan tersebut. "Mereka berpakaian sama seperti gerombolan penculik Gusti Puteri!" Rakryan Rangga mengertakkan rahang. Sepasang matanya menatap marah pada empat lelaki berpakaian hitam-hitam di depan sana. Begitu tiba di dasar lembah tadi, pandangan mata Arya Mandur
LELAKI berpakaian serba hitam yang kabur dari kalangan pertempuran itulah yang mendatangi Sukarta. Ia harus menahan rasa sakit akibat beberapa luka tusukan tombak demi melaporkan keadaan.Paras Sukarta seketika menjadi tegang mendengar ucapan anak buahnya. Terjawab sudah perasaan tidak enak yang tadi mendadak menjalari dirinya. Ternyata ada marabahaya yang mendatangi mereka.Sementara Triguna, entah mengapa bekas prajurit Panjalu itu langsung terpikir pada Kridapala. Ia jadi bertanya-tanya sendiri, apakah bekel tersebut benar-benar sejenis ular berkepala dua?"Sudah aku duga, bekel keparat itu memang mata-mata!" ujar Sukarta kemudian dengan geram. Tatapannya yang nyalang tertuju pada Triguna."T-tidak, tidak mungkin," sergah Triguna dengan raut muka tak pecaya. "Aku tidak yakin Bekel Kridapala mengkhianatiku, mengkhianati kita. Dia justru sangat bersemangat mendukung rencana kita.""Pertemanan di masa lalu telah membutakan penilaianmu, Triguna!" balas Sukarta dengan sengit. "Jelas-jel
PERTEMPURAN meletus tanpa dapat dihindari. Para prajurit Panjalu mengejar sosok-sosok berpakaian serba hitam yang juga berlarian menyongsong mereka.Debu tebal membumbung ke udara akibat puluhan kaki yang bergerak secara bersamaan. Ketika mata tombak para prajurit Panjalu bertemu dengan golok anggota gerombolan Kebo Cemeng, suara berdentrangan terdengar ramai.Trang! Trang! Trang!Hiruk pikuk terdengar di sana-sini. Pertarungan yang rata-rata satu lawan dua menyebar ke mana-mana tempat. Ada yang di teras rumah panggung, di anak tangga, serta yang paling banyak berlangsung di halaman.Dua lurah prajurit turut bergabung dalam pertempuran. Mereka berkeliling, membantu prajurit-prajurit yang tengah dalam keadaan terdesak. Beberapa lawan berhasil dirobohkan ke tanah oleh keduanya.Begitu tahu Triguna memiliki kepandaian di atas rata-rata, kedua bekel lantas menyerbu bekas prajurit Panjalu tersebut. Sesaat mereka tercekat saat melihat luka panjang yang melintang di dada dan perut calon lawa