KARENA tak sempat menghindar dan juga tak mungkin lagi menghindar, Triguna hanya terpikir satu cara nekat menghadapi serangan lawan. Ia malah maju, menyongsong datangnya tusukan pedang.Dengan cepat Triguna bergerak sedemikian rupa, sehingga tusukan pedang menelusup masuk ke dalam ketiak kirinya. Tajamnya mata pedang menggores kulit lelaki itu, tetapi ia tak ambil peduli.Lurah prajurit yang menyerang mulanya girang karena mengira serangannya masuk. Namun saat tahu genggaman tangannya kini berada di pangkal ketiak lawan, tahulah ia di mana pedangnya berada."Bedebah!" maki sang lurah prajurit yang seketika menjadi panik. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi berikutnya.Tidak salah lagi. Ketika melihat lawan kini hanya berjarak sekitar satu hasta darinya, tangan Triguna yang memegang golok cepat mengayun. Suara berkelebatnya senjata itu terdengar menggidikkan.Sriiing!Lurah prajurit yang diserang membelalak kaget. Ia segera menarik tangannya dari kempitan ketiak lawan, tetapi gagal. Pe
SELEPAS tengah hari, Rakryan Rangga membawa pasukannya meninggalkan Lembah Paria. Iring-iringan tersebut kembali ke Daha dengan membawa dua gerobak yang ditempatkan di tengah-tengah. Satu gerobak berisi jasad sebelas prajurit yang gugur dalam penyerbuan tadi. Kesemuanya akan ditunjukkan pada keluarga masing-masing sebelum diperabukan secara kehormatan oleh Kerajaan. Sementara gerobak kedua berisi Sukarta bersama empat anggota gerombolan Kebo Cemeng. Tangan dan kaki mereka diikat kencang, lalu tiap-tiap ikatan tersebut disambung-sambung menjadi satu. Lebih dari sepenanakan nasi berselang iring-iringan tersebut memasuki Kotaraja. Kedatangan mereka tentu saja menjadi pusat perhatian warga kota, terutama saat melintasi kawasan pasar gedhe. "Kirim utusan untuk memberi kabar pada Gusti Tumenggung," ujar Rakryan Rangga saat pandangan matanya menatap gapura besar Kotaraja di kejauhan. "Sendika dawuh, Gusti," sahut Arya Mandura cepat, lalu meneruskan pesan tersebut pada salah satu bekel di
SEMENTARA di Lembah Paria terjadi pertempuran sengit yang membuat sebagian besar anggota komplotan Kebo Cemeng tewas, Kridapala yang baru saja meninggalkan tempat tersebut langsung memacu kudanya kencang-kencang menuju Gunung Pawinihan.Kridapala menghindari Kotaraja, sehingga memilih jalan sedikit memutar ke utara. Jauh sebelum Rakryan Rangga dan pasukannya kembali ke Dahanapura, Kridapala sudah menyeberangi Bengawan Sigarada yang terletak di sisi barat Kotaraja.Ketika matahari mulai condong ke barat, bekel itu sampai di Lusem. Tempat yang merupakan 'pintu gerbang' menuju Gunung Pawinihan tersebut tampak lengang.Di Lusem terdapat sebatang pohon beringin besar, tumbuh tak jauh dari persimpangan jalan. Pohon itu berusia ratusan tahun, oleh karenanya batangnya sangat tinggi dan daunnya sangat lebat.Kridapala memperlambat laju kudanya dan menuju ke pohon tersebut."Mereka seharusnya sudah tiba di sana," gumam bekel tersebut, sembari menatap tajam ke arah pohon beringin tersebut. "Tapi
MESKI sebetulnya merasa lelah luar biasa, Kridapala masih menyimpan sisa-sisa tenaga untuk menuju tempat yang tadi pagi ia sebutkan pada bawahannya. Tambahan lagi kini ada satu muslihat yang harus ia tuntaskan, demi menyempurnakan rencana lamanya. Sekitar sepeminuman teh kemudian, terdengar suara gemuruh air yang begitu keras memekakkan telinga. Kridapala mengembangkan senyum. Ini berarti mereka sudah dekat dengan tujuan. "Jadi, begini rencanaku," ujar Kridapala tiba-tiba, sembari menghentikan langkah. Sudawarman dan Sepasang Rase Merah ikut berhenti pula, lalu memandang Kridapala dengan tatapan penuh tanda tanya. Mereka sudah tidak sabar ingin mendengarkan apa rencana bekel itu. "Sudawarman, apa kau tahu bagaimana rasanya menjadi seorang lurah prajurit?" tanya Kridapala kemudian, sambil memusatkan pandangan pada Sudawarman. "M-maksud Ki Bekel?" Sudawarman malah balik bertanya. Keningnya berkerut dalam, pertanda merasa terheran-heran. Kridapala terkekeh melihat raut wajah Sudawar
REMBANG petang baru saja jatuh saat sepasang anak manusia yang menunggang seekor kuda itu memasuki Hantang. Kabut putih nan tebal mulai turun, membawa hawa dingin mencucuk tulang.Hantang memang dataran tinggi yang dikepung gunung. Di barat daya berbatasan dengan Gunung Kampud, lalu di tenggara berbatasan dengan Gunung Kawi, sedangkan di sepanjang sisi timur dan utara terbentang barisan pegunungan.Karena hawa dingin dan serbuan kabut itulah, tak seorang pun yang dijumpai pasangan anak muda tadi. Sepanjang jalan yang mereka lalui benar-benar sangat sepi. Semua rumah juga sudah tertutup rapat."Sepi sekali perkampungan ini," ujar si pemuda, seraya memandang berkeliling. "Kau tidak salah tujuan kan, Kara?"Perempuan yang dipanggil Kara, tak lain adalah Citrakara, tertawa kecil. "Aku tidak mungkin salah, Kakang. Ini kampung halamanku, bagaimana bisa salah?""Tapi kenapa sepi sekali? Sejak tadi kita tidak menjumpai satu orang pun," kata si pemuda yang tak lain adalah Tumanggala."Bukankah
KENING keriput tuan rumah seketika berkerut mendengar ucapan Citrakara barusan. Mata kelabunya memandangi keponakan perempuannya dan juga Tumanggala. Seolah ingin menelisik apa isi di dalam hati mereka berdua."Butuh pertolonganku, katamu?" ulang si wanita tua. "Pertolongan seperti apa?"Kembali Citrakara melirik Tumanggala sebelum menjawab."Kami ... kami bermaksud merepotkanmu, Bibi," ujar Citrakara, sembari mengulum senyum. "Kami ingin menumpang tinggal di sini bersamamu selama beberapa hari. Apakah Bibi tidak keberatan?"Seulas senyum lebar langsung merekah di wajah si wanita tua. Kepalanya digoleng-golengkan, seakan-akan ingin berkata jika dirinya tidak setuju dengan ucapan Citrakara barusan."Kalau itu pertolongan yang kau butuhkan, jangan merasa sungkan," jawab wanita tua itu. "Aku justru sangat senang sekali jika kau, jika kalian berdua, tinggal bersamaku di sini.""Terima kasih, Bibi." Citrakara balas tersenyum dan memegang telapak tangan bibinya. "Harap ampuni aku kalau kamu
USAI berkata begitu, Tumanggala langsung menyesal. Ia sadar betul jika nada bicaranya tadi terdengar menyindir. Sebuah penyesalan datang terlambat. Ucapan yang sudah keluar tak mungkin ditarik kembali. Sementara paras cantik Citrakara sontak berubah. Tatapan mata perempuan itu jadi berkilat-kilat tajam. Ujung bibirnya terungkit sedikit. "Apa maksud Kakang berkata begitu?" tanya Citrakara dengan nada tak senang. Tumanggala menelan ludah. Ia sadar betul telah salah bicara. Untuk beberapa lama prajurit itu jadi serba salah sendiri. "Mmm, maksudku...." Belum sempat Tumanggala menuntaskan ucapan, Citrakara sudah mendengus kasar dan berlalu. Perempuan itu melengos sebelum kembali naik ke pembaringan. Seolah semua itu belum cukup, Citrakara mengempaskan tubuhnya dengan keras ke atas tilam. Ranjang kayu sampai bergoyang dan berderit keras karenanya. Begitu tubuhnya berbaring di atas tilam, Citrakara langsung menyambar bantal dan menutupi kepala. Tumanggala jadi garuk-garuk kepala meliha
SEKUJUR tubuh Tumanggala seolah menjadi kaku mendapati kenyataan. Napas prajurit Panjalu itu terengah-terangah karena rasa kaget yang amat sangat. Wajah Citrakara begitu dekat saat Tumanggala membuka mata tadi. Embusan napas perempuan itu terasa begitu hangat, merayapi seluruh kulit muka sang wira tamtama dengan penuh gairah. Rasa kaget Tumanggala bertambah-tambah manakala mengetahui Citrakara dalam keadaan polos. Tak ada sehelai benang pun yang menutupi lekuk-lekuk indah perempuan cantik itu. Ini gila! Benar-benar gila! Tumanggala jadi merutuk di dalam hati. Apalagi pandangannya sempat menangkap dua gundukan bulat bergoyang-goyang di dada Citrakara. Satu perasaan aneh seketika bergelora di dalam diri sang prajurit. "A-apa yang kau lakukan, Kara?" ujar Tumanggala dengan suara bergetar. Citrakara hanya menanggapi dengan satu senyum manja. Sepasang mata perempuan itu tampak sayu, memandangi Tumanggala dengan tatapan sedemikian menggoda. Tumanggala jadi bergidik ngeri. Pasalnya ia m