Di rumah, Arsen tidak bisa berkata apa-apa usai membaca pesan perpisahan dari Leina. Dia memilih untuk tetap di kamar wanita itu, merebahkan diri di atas ranjangnya, serta memandangi langit-langit kamar. Dia tidak merasa kalau surat perpisahan itu ditulis dengan paksa. Tidak ada indikasi penculikan juga— artinya wanita itu memang pergi meninggalkannya dengan sukarela."Leina ..." gumamnya lirih.Aroma wangi bunga-bunga khas Leina masih tersebar di ranjang itu. Itulah yang membuat diri Arsen menjadi tenang dan ketiduran.***Leina menyewa sebuah motel di pinggiran kota untuk seminggu ke depan. Motel itu cukup sederhana sehingga harga sewanya tak mahal.Berada di dalam kamar motel sempit itu sendirian membuat diri Leina menjadi sedih. Sendirian itu menyakitkan. Perasaan yang pernah dirasakan ketika kehilangan sang ayah kini menggelayut dalam benaknya kembali.Dia tiduran di atas ranjang, menatap ke lampu di langit-langit. Tak sadar air matanya menetes berulang kali— membasahi sprei put
Leina sarapan dengan roti isi yang dia beli dari minimarket depan motel. Dia tidak tahu harus apa sekarang— tidak punya kenalan, tidak punya sanak saudara, sekarang harus apa?Hidupnya sebatang kara. Dahulu, semasa sekolah, dia tak punya teman dekat. Tidak ada seorang pun yang bisa dia andalkan di saat sulit begini.Melamar pekerjaan? Menjalani hidup baru? Tapi, dia sangat payah dalam hal mengerjakan apapun. Tidak mungkin dia mendapat pekerjaan dengan mudah.Selama tiga tahun bekerja untuk Arsen, dia lebih sering menyapu lantai, mengepel, memasak dan membuat kopi ketimbang mengatur jadwal pertemuan dengan klien. Tidak diragukan lagi— dia sangat berbakat dalam urusan bersih-bersih.Leina menghela napas panjang. "Aku memang ditakdirkan jadi pembantu."Sejak kecil, dia hanya tinggal dengan sang ayah, tak kenal sosok ibu. Karena hal tersebut, dia mengurus kegiatan rumah tangga sejak dini. Terlebih lagi, sang ayah tidak pernah mengajarkan tentang dunia medis.Iya, mendiang Dokter Gio terka
Calon suami?Lelucon macam apa ini?Leina terdiam selama satu menit lamanya hanya untuk mencerna ucapan dari Nathan. Kenapa orang yang dituduh sebagai musuh Arsen ini mendadak datang dan bicara omong kosong? Apa ini tipu muslihatnya juga?"Pergi dari sini, aku tidak mau bicara omong kosong denganmu," pinta Leina bernada serius. "Aku mohon, aku tidak mau membunuh Arsen, aku mohon— dia sudah menyelamatkanku.""Berapa kali aku bilang, aku tidak peduli padanya, aku cuma peduli denganmu. Tapi ..." Nathan tertegun sejenak, menatap Leina yang benar-benar serius. Ini membuktikan betapa cintanya kepada Arsen.Leina menahan napas. Jarak wajah di antara mereka begitu dekat sampai dia menjadi tegang.Raut wajah Nathan berubah serius, dan auranya menjadi gelap lagi. Dia melanjutkan, "aku tidak mengira kamu akan tergila-gila dengan pria itu.""Aku tidak—""Diam," potong Nathan cepat. "Aku serius saat berkata aku ini calon suamimu, Leina. Kamu sudah dijual kepada ayahku sejak kamu masih bayi untuk me
Arsen menghabiskan malam yang dingin di taman kota. Dia tertidur di bangku, sama sekali tidak takut jika banyak kriminal jalanan.Dia bangun saat instingnya merasa ada orang yang mengintai. Matanya terbuka— langsung melirik ke arah salah satu pohon dekat semak belukar tak jauh dari situ.Tetapi, tidak terlihat ada siapapun.Suasana pagi di taman kota ini sangat sunyi. Kabut tebal masih menggantung di antara pepohonan—membuat jarak pandang agak terganggu. Udara sangat dingin. Meski begitu, Arsen yang cuma menggunakan kemeja hitam dan celana panjang tidak merasa kedinginan sama sekali. Tubuh terlatihnya terbiasa dengan suhu dingin maupun panas.Sudah satu menit lamanya dia memandangi pohon yang sama. Dia yakin ada yang mengintai— tapi tidak ada ancaman. Itu artinya orang yang mengawasi tak punya niat membunuh."Amatir?" gumamnya lirih.Dia turun dari bangku tersebut. Dengan langkah yang hati-hati, dia berjalan ke arah berkabut. Dia sengaja melakukan itu agar mengelabui orang misterius
Arsen tidak pernah emosi sebelumnya. Dokter Gio selalu menasehati untuk menyingkirkan segala macam pemikiran negatif. Sebagai orang yang mengalami masa lalu kelam, hal-hal negatif hanya akan membuat dirinya hancur dari dalam.Karena itulah, selama bertahun-tahun, dia jarang sekali serius, apalagi stress. Dia harus tetap berpikiran positif dan tenang. Semua demi menyingkirkan rasa trauma di masa lalu. Tetapi, sekarang— dia benar-benar dilanda kegilaan. Tidak adanya Leina membuat kepalanya seakan ingin pecah.Dengan kondisi tak stabil begitu, dia masuk ke dalam kawasan rumah Nathan lewat pagar depan. Dia berhasil menghajar petugas di pos jaga, lalu berjalan di halaman depan.Satu per satu penjaga yang sedang berpatroli berdatangan. Ada sekitar dua puluh orang menghadangnya."JANGAN BERGERAK!" teriak salah satu dari mereka sambil mengancam dengan senjata api. "BERANINYA MASUK KE SINI!"Tindakan pria itu diikuti oleh yang lain. Beberapa orang mengeluarkan senjata api mereka.Arsen sama
Dada Leina terasa sakit, sesak, hidung dan tenggorokan juga.Seseorang memberikan napas buatan untuknya. Dia perlahan membuka mata— dan kemudian perlahan menyadari siapa yang melakukan itu.Arsen.Rambut, wajah, sekujur tubuh dan bajunya telah basah oleh air kolam. Dia menahan punggung Leina, berusaha untuk menyadarkan wanita itu."Leina? Leina— kamu baik-baik saja? Leina?" Arsen takut dan cemas. Jemari tangannya menyentuh lembut pipi Leina. "Leina ..."Pandangan mata Leina sudah jelas. Dia kini tahu kalau kilauan yang dilihat di bawah air saat itu memang japit rambut. Japit yang dijadikan liontin kalung oleh Arsen. Arsen tersenyum lega. "Akhirnya kamu bangun juga, Putri Tidur."Pipi Leina memerah. Barusan dia masih bisa sedikit merasakan sensasi keras nan dingin dari bibir dari Arsen. Baginya, ini adalah ciuman pertama mereka. Dia ikut tersenyum. "Arsen, kamu ... beraninya ... menciumku?""Mau bagaimana lagi, aku harus memberimu napas buatan 'kan? Atau kamu mau mati, Dasar gadis b
Arsen, Leina dan Hans makan siang bersama. Untuk beberapa menit pertama, tidak ada yang bicara. Tetapi tak lama berselang— Hans berhenti makan, lalu menatap Leina. Ada banyak sekali pertanyaan dalam benaknya."Leina, apa mungkin kamu terkena hipnotis lagi? kamu sudah bersama Nathan semalaman," ucap Hans.Leina menjawab, "yang menghipnotisku bukan Nathan. Orang yang menelpon di telepon rumah waktu itu suaranya berbeda dengan Nathan."Arsen tidak kaget. Dia sendiri sudah curiga kalau mungkin bukan Nathan pelakunya. "Kalau beda berarti memang bukan dia pelakunya. Kata Ritta, orang yang menghipnotis Leina harusnya bersuara sama. Efek hipnotisnya tidak akan terjadi jika berbeda. Lagipula—“"Lagipula?” Hans menunggu.Arsen masih berpikir sejenak. Setelah satu menit, dia melanjutkan, “lagipula saat aku berhadapan dengannya, dia tidak kelihatan seperti ahli dalam hal hipnotis.""Mungkin dia menyuruh orang lain.""Tidak ada orang lain lagi di rumahnya. Hanya dia dan para penjaganya yang patah.
Arsen pulang dengan menggunakan taksi tak lama setelah mengantarkan Serena pulang. Dia sedikit sedih— jauh di lubuk hatinya, dia tidak mau melukai hati siapapun, apalagi Serena. Ini bukan keinginannya. Bagaimana pun, Serena itu teman dekatnya sejak sepuluh tahun silam.Arsen kepikiran itu hingga sampai di rumah.Ternyata, Hans sudah pulang. Aneh memang. Kenapa pria itu pulang? Bukankah mereka akan membahas hal penting?Leina sendiri tidak memberitahu apapun. Dia hanya senyum-senyum, lalu masuk kamar. Berkat Hans, dia bisa mempersiapkan ulang tahun Arsen.Di malam hari, setelah makan— dia membuat adonan kue ulang tahun. Segala jenis masakan sudah dikuasai, jadi tak ada masalah membuat kue semacam itu.Arsen heran Leina masih betah di dapur. "Kamu sedang buat apa?""Aku mau buat kue.""Kenapa tidak besok saja? Sekarang sudah malam, loh. Sudahlah, tidur saja— besok lanjutkan.""Kamu saja yang tidur, aku tidak mengantuk, kok. Aku sedang ingin makan kue, sudah lama aku tidak makan.""Baga