Melihat Permana berjalan keluar, Nyi Dewi berdiri dan bergegas menyusul Permana. Wanita berusia empat puluhan tahun itu masih tak habis pikir dengan sikap kekasih gelapnya yang tiba-tiba ingin menyerahkan posisi ketua pada BimantaraSelepas Nyi Dewi pergi, Gendis langsung meluapkan semua ganjalan hatinya, dia menoleh dan menarik tangan Bimantara.“Kenapa Kakang menolak?” serunya merasa gemas dengan sikap suaminya.Bimantara menoleh ke arah Cakraraya yang sejak tadi diam mengamati, mengabaikan celotehan Gendis istrinya. “Bagaimana menurutmu, Dimas?Cakraraya berdiri bersendekap memeluk pedangnya. Dia mencoba menebak-nebak maksud dari Permana tiba-tiba menyerahkan jabatan ketua yang dulu mati-matian dia pertahankan. Tapi semakin dipikir, dia semakin tak mengerti maksud dari dari Permana. Bila Bimantara mau menerima, apa untungnya, dan bila menolak apa yang akan terjadi.“Aku juga tidak tahu, Kang. jalan pikiran Permana selalu sulit untuk ditebak!” Jawab Cakraraya sambil menggosok-gosok
Permana duduk di pinggir sungai, memasukkan tangannya ke dalam, bermain-main air, seperti menunggu kedatangan seseorang. Tak lama berselang, Bimantara muncul dan berjalan menghampiri.Permana tersenyum melihat kedatangan Bimantara. Dia berdiri menyambut kakak seperguruannya itu.“Kakang sudah benar-benar sehat rupanya...”kedua saudara seperguruan yang tak pernah akur itu kini berdiri berhadapan.“Apa maksud semua ini Permana?” tanya Bimantara langsung pada pokok masalahnya.Permana mengibas-ngibaskan tangannya yang basah, lalu menatap pedang di tangannya, melangkah lebih dekat pada Bimantara.Bimantara menatap dengan penuh waspada.“Aku ingin mencari siapa yang meracunimu, dan siapa yang sudah membuat onar di ppadepokan, Kang!” jawab Permana penuh penekanan.“Tapi kenapa kau memintaku menjadi ketua? pasti kau merencanakan sesuatu?” saut Bimantara lagi.“Ha ha… Kakang selalu curiga padaku. Hmm di pertarungan pertama kita, aku sudah jelas-jelas mengalahkanmu. Tapi kau masih tidak mau m
“Aku, Bimantara. Mulai hari ini dan seterusnya berbait setia kepada ketua padepokan segaran!” Bimantara menekuk lututnya, memberi hormat pada Permana.Sambil bersungut-sungut, Gendis menghampiri Bimantara yang masih berlutut memberi hormat.“Kakang… apa yang kakang katakan!” teriak Gendis tak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia tahu betul kalau suaminya sangat membenci Permana. Entah apa yang terjadi hingga dia menjadi seperti ini.Cakraraya juga merasa heran dengan Bimantara yang tiba-tiba berbaiat setia, tapi dia hanya mengerutkan kening menatap Permana tajam.“Gendis… berlakulah sopan,” Bimantara yang masih dalam kondisi berlutut memberi nasehat.“Kang!” saut Gendis kesal.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Cakraraya membuka suara, melirik ke arah Permana.Bukannya menjawab, Permana berjalan mendekati Bimantara yang masih berlutut. Dia mengulurkan tangannya menarik Bimantara untuk berdiri.“Bangunlah kang…”Bimantara bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang terasa nyeri.Perma
Meski sebenarnya jeri dan gemetar, dengan pamor pedang pusaka yang berkilat-kilat, Gendis yang memang berdarah panas langsung menggebrak maju dengan pedangnya.Traaang!“Kau pikir aku takut, hah! Hiaaat!’“Jangaaan!” teriak Bimantara mengingatkan, sambil memegangi dadanya yang sesak.Gendis tidak menghiraukan peringatan itu, dia langsung menyerang dengan ganas untuk melumpuhkan Permana. Gerakan Gendis yang lincah dan kuat, bisa diatasi dengan mudah oleh Permana, bahkan Gendis yang gantian terdesak dengan serangan-serangan tidak terduga dari Permana.“Hah, sikap sombongmu tak sepadan dengan ilmumu, Mbakyu…” ejek Permana membuat Gendis makin tersulut emosinyaGendis langsung memainkan jurus angin kematian. Kedua kakinya merentang, tangannya mengayunkan pedang ke kiri dan kanan dengan cepat lalu melompat menerjang Permana.Traang!Pedangnya berbenturan dengan pedang pusaka. Tangan Gendis terasa kebas dan dia terhuyung ke belakang. Tangan dan kakinya gemetaran terpengaruh pamor pedang pu
“Pangeran… bolehkah saya bertanya sesuatu?”Pangeran Gardapati yang tadinya mengamati pertarungan yang sudah pada tahap puncak, kembali menoleh pada Mbayang.“Tentu saja, apa yang ingin kau tanyakan?”Mbayang tampak ragu, dia seperti mengumpulkan keberanian untuk bicara. meski dengan kelu dan terbata, dia mengungkapkan ganjalan hatinya.“Sebenarnya, yang meracuni Paman guru Bimantara adalah ketua padepokan sendiri. Dari awal saya sudah tahu karena mendengar langsung dia memberi perintah pada Kang Jalasanda, tapi saya tidak berani bicara karena tidak punya bukti. Yang saya heran adalah, kenapa dalam waktu bersamaan, Paman Guru Permana juga menawarkan diri mengobati, padahal dia yang meracuni, mohon Pnageran memberi penjelasan?” tanya Mbayang dengan wajah bingung dan takut.Pangeran Gardapati tersenyum mendengar cerita dari Mbayang. tentu saja hal itu membuat Mbayang jadi sedikit kesal. Dia sudah mengumpulkan keberaniannya untuk menguak rahasia ini. Tapi pangeran Gardapati seperti biasa
Traang!Sebuah keris membentur pedang pusaka. Pedang itu mencelat dan menancap ke sebuah pohon. Tak lama berselang, seorang pria meloncat dan mengambil keris yang tadi di gunakakan untuk melempar pedang pusaka.Permana yang awalnya sangat murka ada yang ikut campur urusannya, terpaksa harus menahan diri saat tahu yang ikut campur adalah Pangeran Gardapati. Meski begitu, dia tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.“Kenapa Pangeran Ikut campur!”“Apa harus seperti ini, Wahai ketua Padeokan?” jawab Pangeran Gardapti sambil membersihkan keris lalu menyarungkannya ke dalam warangka.Permana melengos, dia kemuadian mengerahkan tenaga dalamnya, menarik pedang pusaka yang menancap di pohon.Slllup!Dengan cepat pedang itu melesat kembali ke tangan Permana. Ketua padepokan segaran itu menarik napas panjang menenteng pedang pusaka padepokan segaran.“Aku hanya sedikit memberi pelajaran, Pangeran. Agar mereka sedikit menghargai aku. Sama sekali tidak ada niat untuk mencabut nyawanya. Pedang pus
Sukesih berlari dan langsung menghambur memelu begitu melihat Mbayang berdiri seorang diri membelah kayu. Sudah beberapa hari saat kekacauan di padepokan terjadi, dia tidak punya kesempatan bertemu dengan Mbayang dan rindu itu pecah sudah. Gadis bertubuh sintal itu pun menenggelamkan wajahnya pada dada bidang lelaki yang dia cintai itu, tanpa ada rasa malu atau canggung, terlebih berita tentang Mbayang yang akan pergi meninggalkan padepokan membuat Sukesih makin tidak bisa mengendalikan dirinya.“Sukesih... tolong jangan seperti ini, bila ada yang melihat, kita berdua akan terkena masalah!” Mbayang perlahan melepas pelukan Sukesih. Matanya celinguan mengamati sekitar takut ada melihat.“Kang... aku takut sekali, hiks.. hiks,” jawab Sukesih mendongakkan kepala menatap wajah Mbayang yang memang lebih tinggi darinya.“Takut kenapa?” jawab Mbayang sambil mengelus-elus bahu Sukesih.“Kata Iyem dan Bondan, kau akan ikut pergi ke kota raja? Jangan pergi kang...”Sukesih kembali memeluk era
Sebagai ketua padepokan, Permana buru-buru menjelaskan tentang alasan Mbayang dan Sukesih dicurigai sebagai kaki tangan pengacau karena memang mereka berdua tidak ada di padepokan di malam dimana Begawan Wirasena tewas. Pangeran Gardapati pun kemudian memeriksa mayat sang Begawan disertai dengan beberapa orang pengikutnya. Pangeran Gardapati mengeryitkan kening saat seorang anak buahnya membisikkan sesuatu padanya. “Kau yakin?” “Hamba sangat yakin pangeran!” “Ya sudah, kau pergi dulu. aku harus bicara dengan para pemimpin padepokan ini.” Pangeran Gardapati lalu berjalan menuju aula padepokan. Di sana sudah ada Mbayang, sukesih dan para tokoh-tokoh utama padepokan. Diantaranya, Cakraraya, Gendis dan Bimantara. Nyi Dewi juga ikut menyambut kedatangan Pangeran yang terkenal sakti mandraguna itu. “Aku hanya kebetulan lewat, mengunjungi Mbayang, sama sekali tak ada niatan untuk membelanya. Ceritakan, apa kau benar-benar terlibat atau tidak! Bila memang terbukti, aku sendiri yang aka