"Apa kau harus membawa pacarmu itu ke sini sepagi ini?" hardik Biru, tiba-tiba. Ia berdiri dari kursinya, dan menatapku lurus-lurus.Aku balik menoleh, apa ia bicara padaku. Tentu saja, ya Tuhan. Keributan belum berakhir."Aku tidak membawanya Pak, dia membuntutiku sejak dari kos," bagus sekali sekarang Biru mengerti kalau Argo menjemputku dari sana."Oh, jadi sopir pribadi, tukang antar jemput?"Aku mengkerut di tempatku. Aku masih belum menyalakan computer meja, jadi rangkaian tulip ini terasa menyolok sekali. Sesekali mata Biru menatap rangkaian bunga di mejaku.Bagus benar, pagi ini.Beruntung, hanya ada aku dan dia serta para petugas kebersihan yang lalu lalang dengan cuek. Di mana Bos Tisu? Atau Mbak Tina, mungkin? Yang bisa menyelamatkan aku dari amukan Biru yang aneh."Jadi, begini Pak. Argo tiba-tiba ke kos, lalu menjemput. Dia masuk, saya mendaftarkannya sebagai tamu di lobi, dia sudah mendaftar secara resmi sebagai tamu. Di masuk lift, lalu dia ikut ke sini. Hanya itu saja,
Aku sudah menyelesaikan proses editing film documenter bersama Bang Napi dan tim. Aku yang memberikan suara narasi pada video tentang Taman Asoka, dan Juan de Borgh. Aku menggelengkan kepala di ruang editing yang dingin dan penuh perangkat elektronik."Ini liputan yang bagus, belum ada media yang meliput. Jadi kita yang terdepan," seloroh Bang Napi, ia mengamati suara narasi yang kurekam seharian tadi di dalam studio rekaman.Aku mengangguk lelah."Kau masih agak pucat, An.""Iya, Bang. Aku sedikit pusing ini.""Kau istirahat sajalah dulu, makan siang dulu saja. Atau ngeteh di kafetaria sebentar," ia memberi saran.Karena aku merasa sedikit limbung dan tidak terlalu kuat lagi berada di dalam ruangan pengap dan super dingin itu, aku mengangguk cepat. Jadi, aku keluar ruang rekaman, dan segera menghampiri mejaku.Membuka pintu kantor divisi yang begitu ramai dan riuh mirip peternakan ayam, dengan berpuluh orang yang bekerja dengan tenggat dan tim masing-masing. Kepalaku menjadi sedikit
Dia menatapku dengan wajah penuh kemenangan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Mata cokelatnya berkilat jahil. Aku seperti baru tersadar kalau sudah masuk perangkap yang kubuat sendiri."Ke mana, Pak?""Ya, ke toko, mal, atau butik. Kamu mau ngajak saya ke mana buat beli kemeja?"Aku meremas jemariku, cemas. "Kan ini kemeja Bapak, saya kan nggak tahu kesukaan Bapak bagaimana?""Lho kemarin kapan itu, katamu kemeja dan dasiku ngebosenin. Itu-itu saja kan?""Iya, sih Pak," sahutku sedikit tolol. Aku merasa seperti orang dungu."Nah, kan sudah tahu." Ia menjentikkan jarinya.Aku masih duduk tak merasa nyaman di tempatku. Sepertinya, ada yang salah, tapi apa ya?"Apa harus sekarang sih, Pak?" tanyaku lagi, ada rasa tak enak untuk keluar bersama atasan di jam kantor. Semacam apa ya? Kok kayak mirip orang lagi bikin skandal?"Tadi, kan sudah kubilang Jani. Saya butuhnya sekarang, bukan tahun depan," ia berkata dengan nada tenang, meyakinkan, dan berwibawa seperti biasanya.Aku menganggu
"Well, itu prinsip yang bagus.""Tentu dong Pak, masak saya cewek murahan yang mau dicium-cium sama yang bukan mahram sih, Pak?" sahutku kencang dan sebal. Aku berdiri menghadapnya, jarak kami mungkin hanya satu meter saja.Ia berjalan mendekatiku, meraih tanganku yang seketika kukibaskan, ia melirik dengan senyum miring, "Ayo jalan."Aku menurut seperti tawanan perang, sementara Biru berjalan di sampingku. Ia melihatku sesekali, wajahnya terlihat kaku dan sedikit tegang. Apa yang dia cemaskan?Melewati lobi dengan deretan gadis cantik sekretarisnya, sungguh menyiksa. Aku hanya menunduk, dan mengalihkan pandangan. Aku teringat gadis model yang keluar dari dalam kantor Biru saat itu, apa aku akan seperti dia?Oh. Tidak tentu saja. Itu tak akan terjadi.Aku mengintip mimik wajah Biru yang kembali kaku. Apa salahku sekarang? Kenapa dia menjadi aneh lagi?"Pak, Pak Biru nggak marah lagi kan sama saya?"Ia diam saja. Lift berdenting khas, suara tapak sepatuku dan sepatunya menggema dalam r
"Apa yang ingin kau tanyakan Jani?" mata itu berkilat lagi, sedikit jail. Ia menatap lurus ke arahku. Memandangi hijabku yang berwarna pastel, hari ini aku mirip ibu-ibu PKK."Apa Bapak dulu kenal Argo dengan baik?" tanyaku hati-hati.Tak kuduga, wajahnya mendadak tegang. Rahangnya mengatup, sepertinya ia sungguh membenci Argo, apa dia tahu Argo adalah mantan suamiku?Secara logis, dia pasti tahu. Bukankah ia juga mengerti di mana alamatku? Semua itu data-data privasi yang ada dalam database perusahaan. Tapi, itu hanya perkiraanku saja.Entahlah, siapa di antara kami yang sedang bersandiwara di sini. Apa aku yang kebingungan dengan sikapnya yang aneh, ataukah dia yang sedang tampak menimang-nimang bagaimana bersikap denganku."Aku mengenalnya, Jani. Sebab itu aku membencinya," ia berkata dengan nada dingin. Ia tersenyum tipis seperti pembunuh berantai, aku tentu akan mati di tangannya.Aku mengernyitkan dahi. Lukaku sudah selesai diobati. "Kau mirip dokter, apa Bapak dulu sekolah kedo
"Kau tahu kan, Jani. Tidak ada orang yang sempurna, saat itu aku khilaf. Aku mabuk, aku tidak begitu dekat dengan atasanmu. Aku merasa dijebak, Jani," ia berkata panjang lebar, hingga nyaris aku memercayai semuanya.Rasa-rasanya sakit dalam ulu hatiku kembali hadir, saat aku menemukan mereka bertarung di atas ranjang. Duel maut antar pasangan orang."Bagaimana dengan Mas Pram? Apa mereka bercerai?" tanyaku, sebenarnya aku tidak perlu menanyakan itu. Tapi sungguh, aku serasa tertarik dalam pusaran ini. Sungguh tidak menyenangkan.Aku berharap Julie Estelle datang ke sini, dan tertawa melihatku bersama Argo.Argo berhenti memotong stik dagingnya. Ia memandangku dengan lembut, tatapan mata itu sudah menemaniku selama bertahun-tahun, sayang sekali hanya dengan peristiwa itu aku sudah mulai melupakannya."Mereka tidak bercerai," sahutnya yakin."Oh, hebat sekali Mas Pram, tidak menceraikan istrinya yang selingkuh. Tapi justru memecatku dari radio," aku tertawa keras. Sungguh tidak terlalu
Aku tahu, kalau aku nyaris menjadi sinting saat hujan mulai merapat tapi aku masih berada di halaman kos. Aku masuk terburu-buru ketika langit semakin pekat. Hujan makin lebat. Aku merasa aneh dengan diriku yang lamban.Apa yang kupikirkan sehingga aku bisa menjadi demikian terganggu?Langit Biru sudah merusak makan malamku dengan Argo.Ya, baiklah. Akan kuperjelas, Langit Biru sudah menjadi orang ketiga ketika aku, Argo, dan meja bertaplak merah kotak-kotak serta lilin berkedip-kedip di sebuah restoran.Dia duduk di sana, memandangiku. Mengamati sendok makan Argo. Atau mencebik ketika Argo mulai gencar merayu—dalam diksi yang halus.Dia masih berada di antara kami. Di tengah-tengah menu yang tadi nyaris kulupakan, padahal aku biasanya paling doyan makan.Ketika aku sampai di pintu kosku yang besar, dan sedikit basah karena air hujan memantul ke sini—di sanalah aku menepi. Aku mengeluarkan gawai dari dalam tasku, dengan jemari sedikit basah, dan layar monitor mulai berdisko karena tet
Aku berangkat begitu pagi, menghindari Argo akan menjemputku. Aku mematikan gawaiku dari Subuh. Aku tidak ingin diganggu siapapun. Aku tidak ingin menjadi sinting karena Biru.Ingat, aku ini janda.Masa bisa kasmaran begitu mudahnya dengan atasan yang terkenal playboy kelas kakap?Apa kata dunia?Apa kata bapakku?Apa kata Kanjeng Mami nanti?Aku menaiki ojek yang mangkal tak jauh dari kosku. Terburu-buru meloncat ke boncengan. Mengatakan pada abang ojek agar segera membawaku ke JMTV.Karena sedikit bingung, sang abang ojek sampai mengklarifikasi beberapa kali—apa benar aku akan pergi ke JMTV. Tentu saja benar! Memangnya tampangku, tidak menunjukkan kalau aku adalah salah satu pegawai di sana?Dengan senyum masam, akhirnya aku meluncur dengan cepat ke arah yang benar. Menuju kantor.Setelah melewati protokoler pegawai di pagi hari yang sibuk. Aku masuk dengan berjalan hati-hati. Melihat ke kiri dan kanan, aku tidak ingin bertemu Biru. Ini terlalu pagi.Bagaimana perasaanmu jika kau mi