"Well, itu prinsip yang bagus.""Tentu dong Pak, masak saya cewek murahan yang mau dicium-cium sama yang bukan mahram sih, Pak?" sahutku kencang dan sebal. Aku berdiri menghadapnya, jarak kami mungkin hanya satu meter saja.Ia berjalan mendekatiku, meraih tanganku yang seketika kukibaskan, ia melirik dengan senyum miring, "Ayo jalan."Aku menurut seperti tawanan perang, sementara Biru berjalan di sampingku. Ia melihatku sesekali, wajahnya terlihat kaku dan sedikit tegang. Apa yang dia cemaskan?Melewati lobi dengan deretan gadis cantik sekretarisnya, sungguh menyiksa. Aku hanya menunduk, dan mengalihkan pandangan. Aku teringat gadis model yang keluar dari dalam kantor Biru saat itu, apa aku akan seperti dia?Oh. Tidak tentu saja. Itu tak akan terjadi.Aku mengintip mimik wajah Biru yang kembali kaku. Apa salahku sekarang? Kenapa dia menjadi aneh lagi?"Pak, Pak Biru nggak marah lagi kan sama saya?"Ia diam saja. Lift berdenting khas, suara tapak sepatuku dan sepatunya menggema dalam r
"Apa yang ingin kau tanyakan Jani?" mata itu berkilat lagi, sedikit jail. Ia menatap lurus ke arahku. Memandangi hijabku yang berwarna pastel, hari ini aku mirip ibu-ibu PKK."Apa Bapak dulu kenal Argo dengan baik?" tanyaku hati-hati.Tak kuduga, wajahnya mendadak tegang. Rahangnya mengatup, sepertinya ia sungguh membenci Argo, apa dia tahu Argo adalah mantan suamiku?Secara logis, dia pasti tahu. Bukankah ia juga mengerti di mana alamatku? Semua itu data-data privasi yang ada dalam database perusahaan. Tapi, itu hanya perkiraanku saja.Entahlah, siapa di antara kami yang sedang bersandiwara di sini. Apa aku yang kebingungan dengan sikapnya yang aneh, ataukah dia yang sedang tampak menimang-nimang bagaimana bersikap denganku."Aku mengenalnya, Jani. Sebab itu aku membencinya," ia berkata dengan nada dingin. Ia tersenyum tipis seperti pembunuh berantai, aku tentu akan mati di tangannya.Aku mengernyitkan dahi. Lukaku sudah selesai diobati. "Kau mirip dokter, apa Bapak dulu sekolah kedo
"Kau tahu kan, Jani. Tidak ada orang yang sempurna, saat itu aku khilaf. Aku mabuk, aku tidak begitu dekat dengan atasanmu. Aku merasa dijebak, Jani," ia berkata panjang lebar, hingga nyaris aku memercayai semuanya.Rasa-rasanya sakit dalam ulu hatiku kembali hadir, saat aku menemukan mereka bertarung di atas ranjang. Duel maut antar pasangan orang."Bagaimana dengan Mas Pram? Apa mereka bercerai?" tanyaku, sebenarnya aku tidak perlu menanyakan itu. Tapi sungguh, aku serasa tertarik dalam pusaran ini. Sungguh tidak menyenangkan.Aku berharap Julie Estelle datang ke sini, dan tertawa melihatku bersama Argo.Argo berhenti memotong stik dagingnya. Ia memandangku dengan lembut, tatapan mata itu sudah menemaniku selama bertahun-tahun, sayang sekali hanya dengan peristiwa itu aku sudah mulai melupakannya."Mereka tidak bercerai," sahutnya yakin."Oh, hebat sekali Mas Pram, tidak menceraikan istrinya yang selingkuh. Tapi justru memecatku dari radio," aku tertawa keras. Sungguh tidak terlalu
Aku tahu, kalau aku nyaris menjadi sinting saat hujan mulai merapat tapi aku masih berada di halaman kos. Aku masuk terburu-buru ketika langit semakin pekat. Hujan makin lebat. Aku merasa aneh dengan diriku yang lamban.Apa yang kupikirkan sehingga aku bisa menjadi demikian terganggu?Langit Biru sudah merusak makan malamku dengan Argo.Ya, baiklah. Akan kuperjelas, Langit Biru sudah menjadi orang ketiga ketika aku, Argo, dan meja bertaplak merah kotak-kotak serta lilin berkedip-kedip di sebuah restoran.Dia duduk di sana, memandangiku. Mengamati sendok makan Argo. Atau mencebik ketika Argo mulai gencar merayu—dalam diksi yang halus.Dia masih berada di antara kami. Di tengah-tengah menu yang tadi nyaris kulupakan, padahal aku biasanya paling doyan makan.Ketika aku sampai di pintu kosku yang besar, dan sedikit basah karena air hujan memantul ke sini—di sanalah aku menepi. Aku mengeluarkan gawai dari dalam tasku, dengan jemari sedikit basah, dan layar monitor mulai berdisko karena tet
Aku berangkat begitu pagi, menghindari Argo akan menjemputku. Aku mematikan gawaiku dari Subuh. Aku tidak ingin diganggu siapapun. Aku tidak ingin menjadi sinting karena Biru.Ingat, aku ini janda.Masa bisa kasmaran begitu mudahnya dengan atasan yang terkenal playboy kelas kakap?Apa kata dunia?Apa kata bapakku?Apa kata Kanjeng Mami nanti?Aku menaiki ojek yang mangkal tak jauh dari kosku. Terburu-buru meloncat ke boncengan. Mengatakan pada abang ojek agar segera membawaku ke JMTV.Karena sedikit bingung, sang abang ojek sampai mengklarifikasi beberapa kali—apa benar aku akan pergi ke JMTV. Tentu saja benar! Memangnya tampangku, tidak menunjukkan kalau aku adalah salah satu pegawai di sana?Dengan senyum masam, akhirnya aku meluncur dengan cepat ke arah yang benar. Menuju kantor.Setelah melewati protokoler pegawai di pagi hari yang sibuk. Aku masuk dengan berjalan hati-hati. Melihat ke kiri dan kanan, aku tidak ingin bertemu Biru. Ini terlalu pagi.Bagaimana perasaanmu jika kau mi
Aku masuk ke kantornya dengan canggung. Perasaanku seperti digulung ombak besar, aku seperti orang linglung. Apa dia tahu kalau aku sedang ada dalam lautan bingung?Duh, kenapa ini otak kananku malah memproduksi narasi macam syair begini? Aku tersenyum konyol dalam hati. Sementara bulu kudukku meremang, tempat ini terlalu sepi. Bahkan kalau ada kuntilanak ngadain party di sini, dijamin tidak akan ada yang tahu.Begitu."Ya, Pak?" aku bersuara seperti penyiar radio di depan microphone yang sudah dipakai puluhan orang, agak jauh tapi dengan nada suara komersil.Biru masuk, dan ia masih berdiri. Aku juga masih berdiri, aku belum dipersilakan duduk. Jadi, aku tidak duduk."Jadi, bagaimana Pak. Apa kita impas?" aku berkata manis, dengan senyum mengembang.Impas, adalah diksi paling mungkin kukatakan saat ini. Aku menjalani misi yang membingungkan, dan jelas sekali aku masuk dalam pusara itu."Hari ini kau pakai sepatu hak tinggi lagi," begitu komentarnya. Ia duduk dengan kaki menyilang mir
Aku hanya menutup mulut dan memandangnya tajam. Dia kira aku seperti perempuan lain yang gampang ditindas apa?"Ngapain sih kamu? Ganggu-ganggu terus!" Biru berkata tajam, matanya seperti memerah menatap perempuan berambut hitam panjang sepunggung dengan high lite jingga di ujungnya."Aku kan sering ke sini kalau pagi, Ru. Nemuin kamu, tapi aku nggak pernah lihat ada perempuan sepagi ini di kantormu.""Ini urusanku.""Tapi aku berhak tahu," perempuan itu nyolot."Kamu sudah bukan siapa-siapaku lagi, Mel. Kita dah selesai."Duh, sejelas itu kok nggak malu sih Mbak? Apa tidak punya kemaluan?Aku terkikik dan menutup mulutku, dasar kau Anjani!"Kamu—kamu ngapain ngetawain saya!"Duh, Mbak. Kurang akting sinetronnya. Aku hanya diam saja. Malas mencampuri urusan bos."Sebaiknya kamu keluar, Mel." Biru berkata dingin, ada emosi yang menggelegak dalam diri Biru, aku merasakan getaran suaranya yang berbeda.Perempuan itu hanya tersenyum miring, ia malah asyik memainkan kukunya yang dihiasi ma
Untuk beberapa jenak, aku hanya bengong. Rasa-rasanya tidak mungkin Langit Biru begitu saja mengatakan itu. Aku jadi curiga, dia ngomong itu hanya ingin membuat aku salah tingkah.O, kalau dia melakukan itu tentu saja dia salah. Dia belum tahu, kalau aku dulu juga suka nge-prank saat bekerja sebagai announcer di radio.Jadi, ketika ia mengatakan itu, dengan penuh keyakinan tingkat tinggi, dan suara maskulinnya yang mungkin untuk sebagian perempuan bisa termehek-mehek. Aku justru tidak memberi reaksi apa-apa.Betul sekali, aku masih memasang raut wajah sedatar teflon saat ia mengatakan kalimat-kalimat khas Don Juan itu."Ehem," aku berdehem, terbatuk dengan sengaja, seperti akan melakukan testing sebelum siaran atau live, "Bapak lagi nge-prank saya kan?"Lalu aku tersenyum lebar, dengan wajah geli, agar ia tahu kalau sekarang aksinya itu tidak akan mempan di depanku. "Nggak mempan, Pak. Saya sudah tahu."Dia pikir siapa sih aku ini? Aku ini Anjani, perempuan dewasa yang sudah makan gar