Aku hanya menutup mulut dan memandangnya tajam. Dia kira aku seperti perempuan lain yang gampang ditindas apa?"Ngapain sih kamu? Ganggu-ganggu terus!" Biru berkata tajam, matanya seperti memerah menatap perempuan berambut hitam panjang sepunggung dengan high lite jingga di ujungnya."Aku kan sering ke sini kalau pagi, Ru. Nemuin kamu, tapi aku nggak pernah lihat ada perempuan sepagi ini di kantormu.""Ini urusanku.""Tapi aku berhak tahu," perempuan itu nyolot."Kamu sudah bukan siapa-siapaku lagi, Mel. Kita dah selesai."Duh, sejelas itu kok nggak malu sih Mbak? Apa tidak punya kemaluan?Aku terkikik dan menutup mulutku, dasar kau Anjani!"Kamu—kamu ngapain ngetawain saya!"Duh, Mbak. Kurang akting sinetronnya. Aku hanya diam saja. Malas mencampuri urusan bos."Sebaiknya kamu keluar, Mel." Biru berkata dingin, ada emosi yang menggelegak dalam diri Biru, aku merasakan getaran suaranya yang berbeda.Perempuan itu hanya tersenyum miring, ia malah asyik memainkan kukunya yang dihiasi ma
Untuk beberapa jenak, aku hanya bengong. Rasa-rasanya tidak mungkin Langit Biru begitu saja mengatakan itu. Aku jadi curiga, dia ngomong itu hanya ingin membuat aku salah tingkah.O, kalau dia melakukan itu tentu saja dia salah. Dia belum tahu, kalau aku dulu juga suka nge-prank saat bekerja sebagai announcer di radio.Jadi, ketika ia mengatakan itu, dengan penuh keyakinan tingkat tinggi, dan suara maskulinnya yang mungkin untuk sebagian perempuan bisa termehek-mehek. Aku justru tidak memberi reaksi apa-apa.Betul sekali, aku masih memasang raut wajah sedatar teflon saat ia mengatakan kalimat-kalimat khas Don Juan itu."Ehem," aku berdehem, terbatuk dengan sengaja, seperti akan melakukan testing sebelum siaran atau live, "Bapak lagi nge-prank saya kan?"Lalu aku tersenyum lebar, dengan wajah geli, agar ia tahu kalau sekarang aksinya itu tidak akan mempan di depanku. "Nggak mempan, Pak. Saya sudah tahu."Dia pikir siapa sih aku ini? Aku ini Anjani, perempuan dewasa yang sudah makan gar
"Bapak tahu nggak kalau saya ini dulu pernah nikah? Nggak tahu kan? Jadi, nggak apa-apa kalau tadi ditarik omongannya," kataku dengan mimik wajah memelas, kok jadi seperti aku yang ngotot dinikahi Biru sih?Dih, malu-maluin saja!"Ya, sudah deh, Pak. Saya permisi dulu," aku berbalik meninggalkan Biru yang sedang berada di luar galaksi, di antara ribuan bintang dan terasa jauh. Mending, aku ke kafetaria buat sarapan, aku mau menu yang berat saja.Bye bye diet.OOOSudah hampir pukul tujuh malam, seharian tadi aku berolah raga di luar bersama Bang Napi dan tim. Kebetulan ada atlit golf lokal yang sedang berjaya di salah satu turnamen dunia, jadi tadi aku memburu kedatangannya di Juanda.Lalu, kami membuntutinya ke apartemennya yang berada di jantung metropolis. Aku seperti berada dalam drama Korea, karena aku masih belum bisa melupakan kejadian tadi pagi. Jiwaku melayang-layang mirip roh penasaran.Aneh soalnya, masa Biru mau nikahin aku? Kesambet apa sih dia itu? Jangan-jangan hanya un
Eh, apa maksudnya?Aku mendelik, seperti tersadar. Ini mimpi bukan sih? Aku menatap wajah Biru yang seperti terasa dekat di atasku. Kenapa posisiku seperti ini? Apakah aku tadi mau jatuh? Akan pingsan begitu?Aku meneguk ludah, terasa canggung. Debaran jantungku mirip ombak yang berlari-lari saat terjadi gempa tsunami. Oh, tidak itu terlalu berlebihan.Norak, banget sih kamu Jani.Oke, begini. Aku sedang berada dalam ancaman ideologis Biru. Ia sudah berani mengancam keyakinan dan prinsipku. Aku rasa itu tidak layak dan pantas. Masa ia harus marah-marah hanya gara-gara tadi pagi keisengannya kubongkar?Aneh benar orang ini."Apa maksud, Bapak?" suaraku seperti bergetar, sedikit ngeri bercampur takut. Aku tahu, scene mengerikan dalam film-film horor terasa begitu gelap. Tidak seterang penerangan dalam kotak kaca ini. Tapi, apapun bisa terjadi."Jani," ia menyebut namaku, seperti terasa letih, "apa yang harus aku lakukan padamu?""Saya tahu Pak. Tolong, singkirkan tangan Bapak. Karena sa
"Hah, yang bener? Masa bosmu yang ganteng itu ngelamar kamu, Jani? Katanya dulu dia ogah dijodohin sama kamu kan? Kok aku ngerasa aneh begini ya. Rasa-rasanya kayak apa begitu?"Lupita mencerocos sembari mengudap kedelai Jepang pilihannya. Kata dia, kedelai itu tidak akan menaikkan bobot tubuhnya ketimbang cake. Betul juga sih, tapi kenapa semakin hari kulihat dia makin gemuk?Aku memasang headband di kepalaku, mulai mengoleskan cream pembersih wajah. "Kok kamu jadi agak gemukan ya, Pit? Harusnya yang gendut kan aku?""Ih, mulai deh. Iya iya, tahu yang sekarang makin kurus. Kamu disuruh kerja apa sama bosmu kok bisa begitu cepat turun bobot, jangan-jangan dia itu jahat banget kan?"Aku mengedikkan bahu, "Aku kerja sama Bang Napi sih, dia suka lari-lari kalau siang. Jadi mungkin aku ikutan gitu, marathon kadang lari spint sampai bengek."Lupita tertawa keras-keras, "Bagus juga tapi ya buat nurunin bobot. Buktinya bosmu bisa kesemsem gitu, An.""Kesemsem apaan. Mencurigakan iya.""Loh
"Kau kesiangan, Jani. Apa kau tidak apa-apa?"Begitu kalimat yang dilontarkan Biru ketika aku membuka pintu kamar. Ia tampak santai dengan kemeja yang belum pernah kulihat sebelumnya, kemeja hitam lengan pendek.Sepertinya, ia ingin memamerkan bentuk lengannya yang bagus padaku. Ia pasti menyukai berolahraga di dalam gym, ia pasti orang seperti itu."Nggak apa-apa kok, Pak." Sahutku canggung, sembari menenteng tas besar."Kau mau menginap di rumahmu nanti?""Pak, saya kan mau pulang. Ini akhir pekan, jadi mungkin saya balik ke sini baru Senin pagi besok.""Lalu aku pulang sendirian begitu?""Ya, kan terserah Bapak.""Panggil Biru, ini bukan di kantor.""Hem, gimana ya?""Kenapa sih Jani, kamu biasa memanggil Argo, kalau sama aku kok nggak gitu?""Kan dia man—"Eh, hampir keceplosan.Ups."Oh, enggak Pa—eh Biru."Aku menunggunya bereaksi aneh. Jangan-jangan dia akan balik badan, meninggalkan aku di sini. Lalu, aku bisa kembali bekerja dan menghabiskan waktu di kantor nanti. Masalah pun
Aku melotot, tapi aku tahu ia paham."Aku tahu itu, jadi aku ucapkan terima kasih. By the way, kamu pucat. Pasti gula darahmu rendah lagi."Aku hanya meringis, entahlah. Aku seperti menjauh dari makanan beberapa hari ini. Apa karena taruhan itu? Sikap Argo, sikapnya, pekerjaan yang beruntun, aku sungguh seperti tidak ingin makan apa-apa."Kau harus banyak makan."Pesanan kami datang, ternyata ia memesan nasi. Aku makan nasi pecel, empal daging, ada telur, tempe tahu bali, dan peyek juga. Aku makan seolah-olah baru saja berpuasa selama berbulan-bulan.Biru dengan wajah geli dan menahan senyum tertawa melihatku, "Aku tidak pernah melihat perempuan makan seenak kau ini, Jani.""Oh, hobiku memang makan.""Iya kan? Kenapa kau tak membuat channel Youtube, kau bisa membuat ASMR- di sana." Ia berseloroh."Aku rasanya tak makan seminggu ini, Biru. Kelaparan banget.""Pantas wajahmu pucat.""Benar," kataku merasa tubuhku terisi energi yang begitu banyak."Kau terlihat kurus belakangan ini, apa
Saat menjelang pukul sepuluh pagi, kami sampai di jalanan beraspal kasar dan sedikit berlubang yang mengarah ke dusun Kanigoro. Itu salah satu dusun kecil, dan terletak jauh dari jalan provinsi. Melewati sekian sawah dan kebun-kebun rimbun di sepanjang jalan yang sepi.Hujan tidak meninggalkan bekas di tempat ini, hujan sudah lenyap saat kami memasuki kota Bangil, lalu masuk dan mengikuti lekukan jalan-jalan kecil meliuk dan memanjang di kecamatan Rembang.Hawa panas menyengat namun dihiasi oksigen melimpah membuat udara segar, namun itu semua terasa tidak berarti karena jantungku dari tadi sudah berdebar demikian keras. Aku takut menghadap Bapak. Duh, serem sekali siang ini.Saat azan membelah langit, kami berhenti sebentar di sebuah masjid di pinggir jalan. Biru langsung meloncat dan bergegas menunaikan Jumat. Aku terdiam di dalam mobil.Karena tidak ada yang kulakukan akhirnya aku menelpon kanjeng mami. Aku memberitahunya jika kami akan datang—iya kami. Aku dan Biru. Lalu, kukatak