“Takut wanita itu melukai dirinya sendiri kalau tahu Abang pergi dengan wanita lain yang tidak dia kenal.” Arsya kembali meringis. Ia bicara sangat hati-hati.“Melukai diri sendiri? Aku…nggak ngerti. Apa maksudnya ancaman bunuh diri atau tindakan seperti melukai diri sendiri gitu? Menyayat tangan? Atau lompat dari gedung?” Indah mendeskripsikan semua hal yang terlintas di benaknya. Andai semua yang dikatakannya benar ia tidak mengerti pria cerdas seperti Arsya bisa terlibat dalam hubungan seperti itu.“Hampir seperti itu. Kadang dia mengancam akan mendatangi kantor dan berbuat keributan. Awalnya Abang heran kenapa dia selalu tahu apa yang terjadi di kantor. Jam berapa Abang keluar kantor dan pergi dengan siapa. Sekarang Abang sudah mengerti semuanya.” Arsya mengulas senyum tipis agar Indah yang terlihat tegang kembali santai dalam obrolan ranjang mereka. Sepintas tadi ia juga mengingat Tio yang pernah kedapatan membuntutinya mulai dari depan gedung perkantoran.“Aku nggak nyangka,” gu
Indah bergeming selama beberapa detik sebelum tersadar karena belaian tangan Arsya di pipinya. “Yakin mau ketemu Mayang?” tanya Arsya lembut. Dahi Indah mengernyit. “Nggak terlalu yakin tapi aku penasaran dengan keperluannya. Jauh-jauh ke sini dan yang paling penting dia udah usaha banget buat nyari alamat Abang. Nanya sama siapa dia?” Indah menoleh ke arah suara samar-samar Deden yang sedang bicara dari arah depan. “Boleh ketemu Mayang kalau kamu habiskan mangga ini lebih dulu. Abang juga harus temani kamu. Istri Abang sedang hamil,” kata Arsya dengan nada ringan. Ia ingin menghalau kilat emosi yang terlihat di sepasang mata Indah.“Apa boleh aku ketemu Mayang berdua aja lima belas menit pertama? Mungkin Mayang bakal sungkan kalau ada Abang.” Indah tersenyum untuk meyakinkan Arsya. Ia memang ingin Mayang menjadi dirinya sendiri saat mereka bicara. Terlebih ia ingin melihat Mayang yang pernah bercinta dengan suaminya di ruang keluarga. Mayang yang garang dan angkuh.Ketika Arsya men
Tadinya Indah merasa telinganya salah menangkap perkataan Arsya. Tapi melihat bagaimana senyum Mayang melengkung, ternyata ia tidak salah. Mayang bahagia dan tujuannya datang ke rumah mereka pagi itu sudah terpenuhi. Wanita itu mau Panca keluar tahanan untuk menunggui persalinan ia dan bayinya. Diamnya Indah membuat Arsya cepat melirik ke arahnya. Ia sadar kalau wajahnya saat itu pasti menyiratkan ketidaksukaan yang amat jelas. “Ini serius, Pak? Bisa?” ulang Mayang karena tak yakin dengan reaksi kaku Indah. “Kalau istri saya menyetujuinya, hal itu bisa diwujudkan. Tapi karena melihat ekspresi istri saya seperti ini, saya jadi sedikit ragu. Sebelum saya meminta Anda keluar dari sini karena sedikit mengacaukan pagi kami, sepertinya Anda dan suami Anda harus mengingat-ingat hal apa yang harusnya kalian lakukan untuk istri saya. Hal yang sudah sepantasnya kalian lakukan dari dulu. Bagaimana?” Karena wajah Indah berubah menegang, Arsya mengkhawatirkan perubahan suasana hati yang begitu
Indah menajamkan ingatannya soal Mika. Tidak mungkin dia salah orang. Wanita yang omongannya selalu ceplas-ceplos dan terakhir kali bertemu di kediaman keluarga Subianto. Mika yang mendorong stroller bayi ke kolam renang? Perempuan yang ia rasa punya angry issue dan naksir Arsya dari dulu? Indah masih berjalan pelan sambil menunggu Mika menghilang ke dalam lift. Setelah memastikan hal itu, Indah bergegas ke depan lift untuk melihat lantai yang dituju Mika. Lantai lima? Lantai lima cuma ada PT. Pelita Sentosa. Mau ke mana Mika? Apa Mika memang kerja di sana? Apa ini yang dimaksud Mika kemarin? Pindah ke Indonesia karena mendapat tawaran pekerjaan?Banyak pertanyaan muncul di kepala Indah. Ada rasa takut saat pintu lift kemudian terbuka dan kakinya melangkah ke dalam. Bagaimana kalau Mika mengenali dan mengulitinya di depan direksi perusahaan itu. Hari itu ia memang mau berpamitan. Tapi tetap saja tidak nyaman bertemu Mika di sana. Tapi … apa yang dilakukan Mika di perusahaan Eric?
Indah membutuhkan waktu beberapa detik untuk mencerna semua apa yang baru saja diucapkan oleh Mika. Ternyata wanita yang disebut-sebut supel dan berhati baik sudah menjelma menjadi sosok berbeda sekembalinya ke tanah air. Tapi kenapa semua bisa sangat kebetulan seperti itu. Kalau Mika mengatakan ia baru-baru ini kembali ke tanah air, apa itu berarti sebelumnya ia memang tidak mengenal Zhang Ma? Genggamannya semakin terasa basah. Indah mundur dua langkah dari pintu ruangan yang sedikit terbuka. Susah payah ia menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Saat sedang mempertimbangkan untuk langsung meninggalkan tempat itu dengan sebuntalan berisi hasil kerja Mika di Halmahera, Indah menemukan kesadarannya. SB Industrial Energy bisa menjadi tertuduh dan Arsya bisa dipenjara kalau ia langsung membawa semua kertas itu. CCTV ada di mana-mana. Sepenggal kesadaran membuat Indah kembali bertindak hati-hati dan mengatur perencanaan pelan-pelan. Kalau bisa, tidak perlu seorang pun tahu
Saking gugupnya, Indah merasa bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Gemetar di tangannya semakin kentara dengan selembar kertas yang bagian ujungnya mulai basah karena keringat. “A-ku belum selesai. Sedikit lagi ini ….” Indah meratakan satu set dokumen terakhir yang akan distaples. Sudut matanya melihat proses penyalinan data tersisa satu persen lagi. “Ayo, cepat … please …,” bisik Indah. Di bawah meja, kaki Indah sudah bergoyang tak henti sejak tadi. Seumur hidup, itu adalah saat paling menggugupkan buat dia. Suara Mika yang semakin mendekat membuat tangannya yang gemetar menyentuh mouse komputer dan menyentak-nyentaknya. “Via, mana Via?” jerit Mika. Bersamaan dengan suara Mika yang semakin memggelegar dan munculnya wanita itu di pintu, Indah melepas flashdisk dan menggenggamnya dengan tangan kiri. Genggamannya sangat erat sampai ia merasa kelima kuku menekan telapak tangannya hingga sakit. “Mana Via?” tanya Mika yang memandang pegawai pria di depannya. “Via menyerahkan peker
Peristiwa pagi di PT. Pelita Sentosa sebenarnya tidak lama. Namun Indah merasa dirinya sudah menghabiskan seharian penuh di perusahaan itu. Walau tampilannya sangat tenang dan dandannya rapi seperti tidak terjadi apa-apa, Indah harus menenangkan dirinya di toilet lantai dasar. Duduk di closet yang tertutup, Indah mengatur napas seraya mencoba menghubungi Arsya. “Halo, Abang?” “Indah di mana? Sudah selesai? Galih masih menunggu. Kamu keluar dan tunggu di teras semenit. Galih pasti segera muncul.” Indah menarik napas lega karena ternyata ia tak butuh waktu lama menghubungi Arsya. Dan ternyata apa yang disampaikan pria itu benar, Galih sang ajudan yang merangkap supir muncul sebegitu Indah keluar gedung. “Tidak ada terjadi apa-apa, Bu? Bu Indah baik-baik aja?” Galih langsung bertanya saat Indah baru saja menghempaskan tubuh di jok belakang. “Kenapa nanyanya gitu, Pak Galih? Memangnya Pak Arsya ada ngomong apa?” Indah melihat raut waspada di wajah Galih. “Kayaknya Pak Galih udah
Perintah Arsya barusan malah membuat Indah semakin tegang dan berkurang rasa percaya dirinya. “Aku nggak tahu apa yang kusampaikan ini bakal penting atau enggak. Tapi mengingat apa yang dilakukan Mika dengan stroller bayi Laras, aku jadi mulai menghubung-hubungkan meski nggak tahu....” “Kamu gugup. Indah duduk ke sini,” ajak Arsya, menggandeng tangan Indah ke salah satu sofa sementara Sarah mendekati pintu dan menguncinya. “Kita bisa bicara?” kata Sarah, duduk di seberang Indah dengan sikap tubuh condong. “Saya yakin apa pun yang Bu Indah sampaikan akan sama pentingnya.” Sarah mengulas senyum menenangkan. Indah menarik napas. “Abang, sekali lagi aku nggak tahu ini bakal berguna atau enggak. Aku juga nggak tahu kalau … maksudnya bisa aja aku salah dengar. Bisa aja ini semua nggak seperti yang aku pikirkan. Aku takut kalau hal yang aku sampaikan malah membuat Abang gegabah atau semacamnya.” Arsya menggenggam tangan Indah dan menyelipkan segumpal rambut ke belakang telinga istr