Pesta ulang tahun Rayyanza masih berlangsung dengan meriah. Musik lembut mengalun di antara gelak tawa dan percakapan para tamu. Namun, di sudut taman yang agak tersembunyi dari keramaian, suasana terasa berbeda."Ma, mungkin sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini sekarang. Ini kan pesta ulang tahunku," kata Rayyanza dengan lembut namun tegas sembari meraih tangan Amanda dan membawanya menjauh dari ibunya."Aku tidak mengerti kenapa Mamamu tidak suka aku berteman dengan Luna hanya karena dia bukan berasal dari kalangan seperti kita. Sudah lebih dari 10 tahun Luna menjadi sahabatku, tentu saja aku tidak mungkin melepasnya begitu saja!" bisik Amanda penuh penekanan."Aku tahu, Sayang. Luna adalah sahabatmu, dan dia sangat berarti bagimu. Aku juga tidak setuju dengan Mama, tapi mari kita coba untuk tidak memperkeruh suasana," jawab Rayyanza, memeluk Amanda untuk memberinya rasa nyaman.Mereka kembali ke tengah pesta, berusaha menikmati malam yang seharusnya penuh kebahagiaan. Karena
Masih berdiri di samping mobil Rayyanza, Nikita menatapnya dengan wajah serius. Udara pagi yang sejuk seakan tidak mampu meredakan ketegangan di antara mereka."Kak Rayyan, aku sudah memperingatkanmu berkali-kali," suara Nikita terdengar tegas. "Jangan pernah mendekati kakakku lagi. Selain karena Kak Manda, keluargamu juga tidak akan pernah menerima Kak Luna. Mereka tidak suka dengannya hanya karena dia berasal dari keluarga miskin."Rayyanza menarik napas panjang, berusaha menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya. "Nikita, aku tahu ini sulit. Tapi perasaanku pada Luna tidak bisa hilang!"Nikita menggeleng, tetap pada pendiriannya. "Ini bukan tentang perasaan, Kak. Ini tentang kenyataan!"Saat itu, suara bus sekolah terdengar mendekat. Nikita mengambil langkah mundur, bersiap untuk naik ke dalam bus."Aku harus pergi. Ingat dengan apa yang kukatakan barusan, Kak Rayyan," kata Nikita sebelum masuk ke dalam bus, meninggalkan Rayyanza yang terpaku di dalam mobilnya.Pria tampan itu t
Dimalam yang begitu sunyi, hampir tidak ada kendaraan yang melintas di jalan sekunder. Amanda dan Rayyanza berkeliling, menyusuri setiap sudut jalan yang biasa dilalui oleh Luna. Rasa cemas semakin mendalam, mereka terus mencari keberadaan Luna."Dia selalu pulang melewati jalan ini. Jalan satu-satunya menuju halte bus," ujar Amanda sambil memandangi jalanan yang lengang. "Tapi, jika sudah jam segini, bus juga sudah tidak beroperasi.""Mungkin kita harus mencarinya di tempat lain!"Mereka terus mengitari jalan, berharap menemukan tanda-tanda keberadaan Luna. Namun, pencarian mereka belum membuahkan hasil. Setiap kali mereka melintasi jalan yang biasa dilalui oleh Luna, mereka hanya menemukan kegelapan dan kesunyian.Amanda menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Bagaimana kalau kita coba ke tempat kerjanya? Mungkin dia masih berada di sana," usul Amanda.Rayyanza mengangguk setuju. "Baiklah, itu ide bagus. Mungkin dia memang masih di kantor."Mereka melajukan mobil menuju kan
Di dalam toilet, Luna mengeluarkan isi perutnya dengan hebat. Tangannya berpegangan dengan erat pada tepi wastafel untuk menahan diri agar tidak jatuh. Ketika rasa mual akhirnya mereda, dia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa merasa sedikit lebih baik. Amanda menyusul Luna ke toilet, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ia mendorong pintu toilet perlahan dan melihat Luna yang masih tampak lemah di depan wastafel."Luna, kamu baik-baik saja?" tanya Amanda lembut, mendekat dan menyentuh bahu sahabatnya.Luna mengangguk lemah, mencoba tersenyum meski wajahnya masih terlihat pucat. "Aku tidak apa-apa, Manda. Tiba-tiba saja aku merasa sangat mual, sepertinya penyakit asam lambungku kambuh karena telat makan!"Amanda menghela napas, lalu memandang Luna dengan penuh kekesalan. "Sudah aku katakan, kamu harus memperhatikan pola makan. Kalau sudah sakit begini kan kamu sendiri yang merasakan!" omel Amanda.Luna terdiam sejenak. "Iya, Manda. Aku janji akan lebih mengutamakan kesehatan!
Sinar matahari pagi menyusup melalui celah tirai. Luna membuka matanya dengan perlahan. Menikmati momen langka saat ia bisa tidur lebih lama karena hari ini adalah akhir pekan, dan ia tidak perlu pergi bekerja. Setelah menghabiskan beberapa menit menikmati ketenangan pagi, Luna bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju meja rias di sudut kamar dan membuka kotak kecil berwarna merah muda yang terletak di atasnya. Kotak tabungan itu sudah lama menjadi tempat ia menyimpan uang untuk keperluan mendesak.Dengan hati-hati, Luna mengeluarkan uang dari dalam kotak dan mulai menghitungnya. Jemarinya yang ramping bergerak cepat, menumpuk lembaran uang dengan cermat. "Ternyata lumayan banyak. Ada berapa ini?" gumamnya pada diri sendiri.Ketika semua uang sudah dihitung, Luna menghela napas panjang. Uang yang ada di kotak tersebut cukup untuk membeli beberapa helai pakaian untuk menutupi kehamilannya yang mulai terlihat membesar.Ia berdiri sambil menatap cermin. "Aku harus menyembunyika
Ditengah suasana rumah yang terlihat tenang, datang seorang pria masuk ke teras rumah Luna. Ia menenteng bungkusan besar yang berisi bahan makanan pokok seperti telur, gula, minyak dan karung beras. Pria tak dikenal itu mengetuk pintu. "Permisi ...." ucapnya dengan lantang. Gadis yang tengah bermain ponsel sembari merebahkan tubuhnya itu terkesiap. Ia segera mengintip di balik jendela. Walau tak mengenalinya, Nikita membukakan pintu lalu bertanya, "Ya, Pak. Anda mencari siapa?" Pria paruh baya itu melempar senyum. "Saya ingin mengantarkan ini," ucapnya seraya meletakkan bahan pokok dan kebutuhan sehari-hari di hadapan Nikita. Nikita melihat barang yang di letakkan di hadapannya dengan raut bingung. "Sebentar, saya panggil kakak saya dulu," katanya, lalu bergegas menuju kamar Luna. "Kak, ada pria di depan yang mengantarkan beras dan kebutuhan pokok."Luna keluar dari kamarnya dengan wajah heran. "Beras dan kebutuhan pokok? Tapi aku tidak memesan apa-apa!"Mereka kembali ke pintu de
Luna tengah duduk santai di ruang tamu. Ketika ia melihat Nikita membuka bungkusan snack yang sudah beberapa hari berada di atas meja. Dahinya langsung mengernyit."Apa yang kamu lakukan, Nik?" tanya Luna protes."Makanan ini sudah berhari-hari berada di sini tapi aman-aman saja. Sebaiknya kita memakannya," jawab Nikita tanpa ragu, tangannya sibuk merobek plastik pembungkus snack.Luna menggelengkan kepala, menatap sang adik dengan serius. "Jangan, Nik! Kita kan tidak tahu siapa yang mengirimnya.""Tidak akan ada apa-apa. Lagipula, makanan ini sudah ada di sini selama beberapa hari dan tidak ada tanda-tanda buruk. Aku yakin ini aman."Melihat Luna masih ragu, Nikita mulai membujuk dengan lebih lembut. "Ayo, Kak. Makanan ini bisa jadi rezeki yang tidak boleh kita tolak. Kakak kan sedang hamil, pasti Kakak membutuhkan banyak nutrisi."Wanita berambut panjang itu menatap Nikita dengan kebingungan. "Tunggu, tunggu. Bukankah kamu yang sebelumnya melarang aku untuk memakan makanan ini, tap
Masih berada di dalam ruangan yang tidak terlalu luas, dengan tembok yang terlihat sedikit usang dan pudar, Rayyanza menatap Luna yang diam membatu selama beberapa saat. Pria tampan itu melayangkan tatapan penuh intimidasi. Meminta penjelasan atas kebohongan yang Luna ciptakan. "Mengapa kamu diam? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku, hah? Rayyanza tersenyum sinis. Luna menautkan kedua alisnya. Jarinya meremas dan menarik-narik ujung piyama yang ia kenakan. Pikirannya seolah buntu, tak dapat menjawab pertanyaan dari Rayyanza. "Sudahlah Rayyan, tidak usah membahas hal yang tidak perlu kita bahas. Bukankah kamu kesini hanya untuk mengambil jas milikmu! Sekarang jas itu sudah ada. Kamu bisa segera pergi dari rumahku!" ucapnya dengan ketus. "Tidak, Luna! Jawab pertanyaanku! Ayo, jawab!" desak Rayyanza dengan nada meninggi. Luna menundukkan wajahnya sebelum akhirnya ia berani menatap Rayyanza dengan tatapan tajam. "Kamu pikir, istrimu itu mengetahui semua tentangku, hah? Tentu saja