Di dalam toilet, Luna mengeluarkan isi perutnya dengan hebat. Tangannya berpegangan dengan erat pada tepi wastafel untuk menahan diri agar tidak jatuh. Ketika rasa mual akhirnya mereda, dia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa merasa sedikit lebih baik. Amanda menyusul Luna ke toilet, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ia mendorong pintu toilet perlahan dan melihat Luna yang masih tampak lemah di depan wastafel."Luna, kamu baik-baik saja?" tanya Amanda lembut, mendekat dan menyentuh bahu sahabatnya.Luna mengangguk lemah, mencoba tersenyum meski wajahnya masih terlihat pucat. "Aku tidak apa-apa, Manda. Tiba-tiba saja aku merasa sangat mual, sepertinya penyakit asam lambungku kambuh karena telat makan!"Amanda menghela napas, lalu memandang Luna dengan penuh kekesalan. "Sudah aku katakan, kamu harus memperhatikan pola makan. Kalau sudah sakit begini kan kamu sendiri yang merasakan!" omel Amanda.Luna terdiam sejenak. "Iya, Manda. Aku janji akan lebih mengutamakan kesehatan!
Sinar matahari pagi menyusup melalui celah tirai. Luna membuka matanya dengan perlahan. Menikmati momen langka saat ia bisa tidur lebih lama karena hari ini adalah akhir pekan, dan ia tidak perlu pergi bekerja. Setelah menghabiskan beberapa menit menikmati ketenangan pagi, Luna bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju meja rias di sudut kamar dan membuka kotak kecil berwarna merah muda yang terletak di atasnya. Kotak tabungan itu sudah lama menjadi tempat ia menyimpan uang untuk keperluan mendesak.Dengan hati-hati, Luna mengeluarkan uang dari dalam kotak dan mulai menghitungnya. Jemarinya yang ramping bergerak cepat, menumpuk lembaran uang dengan cermat. "Ternyata lumayan banyak. Ada berapa ini?" gumamnya pada diri sendiri.Ketika semua uang sudah dihitung, Luna menghela napas panjang. Uang yang ada di kotak tersebut cukup untuk membeli beberapa helai pakaian untuk menutupi kehamilannya yang mulai terlihat membesar.Ia berdiri sambil menatap cermin. "Aku harus menyembunyika
Ditengah suasana rumah yang terlihat tenang, datang seorang pria masuk ke teras rumah Luna. Ia menenteng bungkusan besar yang berisi bahan makanan pokok seperti telur, gula, minyak dan karung beras. Pria tak dikenal itu mengetuk pintu. "Permisi ...." ucapnya dengan lantang. Gadis yang tengah bermain ponsel sembari merebahkan tubuhnya itu terkesiap. Ia segera mengintip di balik jendela. Walau tak mengenalinya, Nikita membukakan pintu lalu bertanya, "Ya, Pak. Anda mencari siapa?" Pria paruh baya itu melempar senyum. "Saya ingin mengantarkan ini," ucapnya seraya meletakkan bahan pokok dan kebutuhan sehari-hari di hadapan Nikita. Nikita melihat barang yang di letakkan di hadapannya dengan raut bingung. "Sebentar, saya panggil kakak saya dulu," katanya, lalu bergegas menuju kamar Luna. "Kak, ada pria di depan yang mengantarkan beras dan kebutuhan pokok."Luna keluar dari kamarnya dengan wajah heran. "Beras dan kebutuhan pokok? Tapi aku tidak memesan apa-apa!"Mereka kembali ke pintu de
Luna tengah duduk santai di ruang tamu. Ketika ia melihat Nikita membuka bungkusan snack yang sudah beberapa hari berada di atas meja. Dahinya langsung mengernyit."Apa yang kamu lakukan, Nik?" tanya Luna protes."Makanan ini sudah berhari-hari berada di sini tapi aman-aman saja. Sebaiknya kita memakannya," jawab Nikita tanpa ragu, tangannya sibuk merobek plastik pembungkus snack.Luna menggelengkan kepala, menatap sang adik dengan serius. "Jangan, Nik! Kita kan tidak tahu siapa yang mengirimnya.""Tidak akan ada apa-apa. Lagipula, makanan ini sudah ada di sini selama beberapa hari dan tidak ada tanda-tanda buruk. Aku yakin ini aman."Melihat Luna masih ragu, Nikita mulai membujuk dengan lebih lembut. "Ayo, Kak. Makanan ini bisa jadi rezeki yang tidak boleh kita tolak. Kakak kan sedang hamil, pasti Kakak membutuhkan banyak nutrisi."Wanita berambut panjang itu menatap Nikita dengan kebingungan. "Tunggu, tunggu. Bukankah kamu yang sebelumnya melarang aku untuk memakan makanan ini, tap
Masih berada di dalam ruangan yang tidak terlalu luas, dengan tembok yang terlihat sedikit usang dan pudar, Rayyanza menatap Luna yang diam membatu selama beberapa saat. Pria tampan itu melayangkan tatapan penuh intimidasi. Meminta penjelasan atas kebohongan yang Luna ciptakan. "Mengapa kamu diam? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku, hah? Rayyanza tersenyum sinis. Luna menautkan kedua alisnya. Jarinya meremas dan menarik-narik ujung piyama yang ia kenakan. Pikirannya seolah buntu, tak dapat menjawab pertanyaan dari Rayyanza. "Sudahlah Rayyan, tidak usah membahas hal yang tidak perlu kita bahas. Bukankah kamu kesini hanya untuk mengambil jas milikmu! Sekarang jas itu sudah ada. Kamu bisa segera pergi dari rumahku!" ucapnya dengan ketus. "Tidak, Luna! Jawab pertanyaanku! Ayo, jawab!" desak Rayyanza dengan nada meninggi. Luna menundukkan wajahnya sebelum akhirnya ia berani menatap Rayyanza dengan tatapan tajam. "Kamu pikir, istrimu itu mengetahui semua tentangku, hah? Tentu saja
Wanita yang mengenakan kemeja putih longgar itu melangkah kembali menuju meja kerjanya dengan penuh semangat. Seolah ada energi baru yang mengalir di dalam dirinya. Raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang tengah ia rasakan. Sesampainya di sana, ia kembali duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Namun, Windy yang tengah sibuk dengan dokumen di tangannya tiba-tiba melirik ke arah Luna. Ia merasa penasaran mengapa Merry memanggilnya ke ruangannya. Windy meletakkan pena di atas meja lalu mendekatkan tubuhnya pada Luna. "Hei ... ada apa Bu Merry memanggilmu?" bisiknya. "Ssssttt .... Tapi kamu jangan berkata pada siapapun sebelum Bu Merry yang mengumumkannya secara langsung, ya!" Kedua wanita itu berbincang sambil berbisik pelan. Windy mengangguk penuh antusias. "Iya. Memangnya kenapa? Apa katanya?!" "Bu Merry baru saja memberitahukanku bahwa aku dipromosikan menjadi manager di kantor cabang baru," jawab Luna dengan mata yang berbinar-binar. Mendengar perkataan Luna, Windy
Langakah kaki kedua wanita cantik itu terhenti di depan rumah bercat dinding kuning cerah. Rumah yang tampak sederhana namun terlihat kokoh dan nyaman. Tok. Tok. Tok. Luna mengetuk pintu rumah tersebut. Wanita paruh baya membuka pintu kemudian menyambut dengan hangat. "Dengan Luna?" sapanya seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.Luna dan Nikita menyambut uluran tangan Astuti dengan senyum ramah. "Terima kasih, Bu Astuti. Perkenalkan, saya Luna dan ini adik saya, Nikita," jawab Luna sopan. "Silakan masuk, saya akan menunjukkan rumah ini pada kalian."Luna dan Nikita melangkah masuk untuk melihat seisi rumah. Terdapat dua kamar tidur dan satu ruang tamu juga ruang keluarga. Dapurnya terlihat lebih luas dari rumah kontrakan yang sebelumnya. Juga terdapat halaman yang cukup luas. "Rumah ini baru selesai di renovasi. Bagaimana, apakah kalian cocok?" tanya Astuti setelah mereka selesai melihat-lihat.Luna dan Nikita saling berpandangan dan tersenyum. "Bagaimana, apakah kamu men
Luna termangu menatap layar ponsel di genggaman tangannya. Dilema antara menjawab atau mengabaikannya. Namun, di samping kesibukannya berpindah tempat, ia juga takut Amanda tiba-tiba akan mengunjunginya. Ia pun memilih untuk tidak menjawab dan mematikan ponselnya. Luna bergegas mengenakan alas kakinya dan berpamitan pada Ibu Sinta, pemilik rumah kontrakan yang kediamannya terhalang oleh tiga rumah saja. "Permisi, Bu!" seru Luna dari depan pintu. Wanita paruh baya keluar dengan tergesa-gesa. "Ya, Luna," sahut Sinta, matanya menoleh ke arah mobil pickup yang dipenuhi oleh barang-barang perabotan milik Luna. "Kamu pindahan sekarang?" Luna mengangguk lalu mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. "Saya permisi, ya, Bu. Saya mohon maaf apabila selama saya tinggal disini, saya pernah berbuat salah." "Tidak, Luna. Kamu tidak pernah berbuat salah apapun. Saya juga minta maaf, ya, apabila saya ada salah," jawab Sinta. "Kamu pindah kemana, Lun?" tanya Sinta penasaran. Luna menjawab deng