Langakah kaki kedua wanita cantik itu terhenti di depan rumah bercat dinding kuning cerah. Rumah yang tampak sederhana namun terlihat kokoh dan nyaman. Tok. Tok. Tok. Luna mengetuk pintu rumah tersebut. Wanita paruh baya membuka pintu kemudian menyambut dengan hangat. "Dengan Luna?" sapanya seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.Luna dan Nikita menyambut uluran tangan Astuti dengan senyum ramah. "Terima kasih, Bu Astuti. Perkenalkan, saya Luna dan ini adik saya, Nikita," jawab Luna sopan. "Silakan masuk, saya akan menunjukkan rumah ini pada kalian."Luna dan Nikita melangkah masuk untuk melihat seisi rumah. Terdapat dua kamar tidur dan satu ruang tamu juga ruang keluarga. Dapurnya terlihat lebih luas dari rumah kontrakan yang sebelumnya. Juga terdapat halaman yang cukup luas. "Rumah ini baru selesai di renovasi. Bagaimana, apakah kalian cocok?" tanya Astuti setelah mereka selesai melihat-lihat.Luna dan Nikita saling berpandangan dan tersenyum. "Bagaimana, apakah kamu men
Luna termangu menatap layar ponsel di genggaman tangannya. Dilema antara menjawab atau mengabaikannya. Namun, di samping kesibukannya berpindah tempat, ia juga takut Amanda tiba-tiba akan mengunjunginya. Ia pun memilih untuk tidak menjawab dan mematikan ponselnya. Luna bergegas mengenakan alas kakinya dan berpamitan pada Ibu Sinta, pemilik rumah kontrakan yang kediamannya terhalang oleh tiga rumah saja. "Permisi, Bu!" seru Luna dari depan pintu. Wanita paruh baya keluar dengan tergesa-gesa. "Ya, Luna," sahut Sinta, matanya menoleh ke arah mobil pickup yang dipenuhi oleh barang-barang perabotan milik Luna. "Kamu pindahan sekarang?" Luna mengangguk lalu mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. "Saya permisi, ya, Bu. Saya mohon maaf apabila selama saya tinggal disini, saya pernah berbuat salah." "Tidak, Luna. Kamu tidak pernah berbuat salah apapun. Saya juga minta maaf, ya, apabila saya ada salah," jawab Sinta. "Kamu pindah kemana, Lun?" tanya Sinta penasaran. Luna menjawab deng
Masih berada di dalam bus yang berjalan pelan. Ingatannya tertuju pada sahabatnya, Amanda. "Maafkan aku, Manda. Aku benar-benar terpaksa melakukannya. Ini semua demi kebaikanmu juga," ucapnya dalam hati dengan mata yang terlihat sendu. Tak butuh waktu lama, hanya lima belas menit saja, kini ia telah sampai di halte bus yang menjadi tujuannya. Luna turun dari bus, melangkah dengan penuh semangat dan keyakinan. Setelah berjalan kaki sejauh seratus meter, ia sampai di depan pintu gerbang kantor barunya. Wanita berparas cantik itu menghela napas panjang, kemudian melangkah masuk ke dalam gedung yang masih harum dengan aroma cat baru dan perabotan kayu.Terlihat kantor yang masih lengang karena para karyawan belum tiba. Dengan perasaan senang bercampur gugup, ia duduk di area lobi. Pandangan matannya menebar ke seluruh bagian ruangan.Tak sampai menunggu lama, Merry tiba dengan menjinjing tas kerjanya. "Luna ... mari kita pergi ke kantor lama untuk membawa semua barang-barangmu dan berp
Luna menoleh pada benda bulat yang tergantung di dinding. Jam menunjukan pukul dua siang. Ia meletakkan bolpoint ditangannya di atas meja. Meraih map berisikan materi meeting. Wanita cantik itu beranjak dari duduknya. Menghela napas untuk menghilangkan rasa gugup. Ia berjalan menuju ruang meeting. Langkahnya terhenti di hadapan pintu yang bertuliskan meeting room. Jantungnya berdegup kian cepat. Ia menarik napas mengumpulkan sedikit keberanian untuk membuka pintu. Beberapa orang telah duduk di kursi jabatannya masing-masing. Deretan staff dibawah kendali Luna pun telah duduk menunggu kehadirannya. Ia berdiri melempar senyum dan menyapa semua yang ada di sana seraya memperkenalkan diri. "Baiklah, Luna," ujar Merry, "Anda bisa mulai mempresentasikan ide Anda."Luna berdiri, dengan suara jelas memulai presentasinya. "Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk saya. Disini, saya ingin membahas strategi keuangan baru yang telah saya kembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan pro
Didalam sebuah ruangan dengan interior minimalis namun mewah, sepasang suami istri tengah duduk di atas sofa. "Luna pergi entah kemana. Aku sudah menghubunginya dari dua hari yang lalu. Tapi dia tidak menjawab panggilanku. Juga tidak membalas pesanku. Bahkan ponselnya sekarang tidak dapat dihubungi. Tadi aku kerumahnya, dan ternyata rumah itu sudah kosong," terang Amanda sembari terisak. Amanda menyeka air mata dengan telapak tangannya. "Aku tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba bersikap seperti itu. Apa salahku padanya? Mengapa dia pergi tanpa memberitahukanku terlebih dahulu. Sebelumnya, dia tidak pernah bersikap seperti ini. Sebelum berpindah kontrakan, dia pasti akan mengabariku terlebih dahulu. Bahkan, ia selalu meminta pendapatku tentang rumah yang akan ia tempati. Tapi, sekarang ia pergi begitu saja, bahkan enggan menerima panggilanku." Wanita itu terus mengutarakan kegundahannya sembari terisak. Hatinya merasa sesak karena kehilangan seorang sahabat terbaiknya. Isi kepalanya
Sejak saat itu, Luna menjalani harinya dengan fokus bekerja. Setiap pagi, ia berangkat dengan semangat yang tak pernah surut. Mengabdikan diri sepenuhnya pada pekerjaan. Di balik kesibukan dan rutinitasnya, ada satu tujuan yang selalu ia pegang erat, yakni menyiapkan masa depan untuk anak yang tengah dikandungnya. Ia juga selalu menyisihkan sebagian besar upahnya untuk menabung. Menyiapkan biaya persalinan yang semakin dekat. Tiga bulan berlalu terasa cepat bagai sekejap mata. Perut Luna kini semakin membesar. Setiap hari, perubahan fisiknya semakin terlihat nyata. Tak ada lagi pakaian yang cukup longgar untuk menyembunyikan kehidupan baru yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Orang-orang di sekitarnya diam-diam mulai memperhatikan perubahan yang terjadi pada tubuh wanita yang diketahui masih berstatus single itu. Tok. Tok. Tok. Suara pintu ruangan kerja Luna diketuk oleh seseorang. "Masuk ...!" seru Luna dari dalam ruangan. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka. "Hai ... Lun
Perang dingin antara Luna dan Windy masih berlangsung berhari-hari. Dua wanita yang dulunya dikenal sebagai rekan kerja yang akrab, kini terasa sangat asing. Pagi itu, Luna baru saja tiba di kantor. Para staf yang biasa menyapanya dengan ramah, kini terkesan dingin, bahkan seringkali kedapatan menatap Luna dengan tatapan sinis. "Luna ... saya harap kamu tidak menggabungkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi kamu dengan Windy," tegur Merry yang baru saja masuk ke dalam ruangan Luna. "Maaf, Bu. Saya sudah membuat suasana di kantor ini menjadi tidak nyaman," sesalnya pada Merry. Secara pribadi, Merry tidak merasa terganggu sedikitpun oleh peperangan dingin yang terjadi diantara bawahannya. Namun, semakin hari, semakin terlihat keteganggan di wilayah kerjanya. Terlebih lagi, ketika meeting, kubu Windy sering kali berbeda pendapat dengan Luna dan seolah menyerang Luna. "Kamu belum tau siapa saya, Luna!" gumam Windy, menatap Luna dengan tatapan tajam dan senyum sinis. Dengan amb
Bus yang ditumpangi oleh Luna telah sampai di halte tujuan. Ia turun dari kendaraan besar itu dengan langkah yang berat. Berjalan melewati area komplek yang tampak sunyi. Sesampainya di depan pintu rumah, Luna melepaskan sepatu flat shoesnya dengan gerakan yang lamban dan otomatis. Ia membuka pintu dengan pelan, kemudian masuk ke dalam dengan wajah yang pucat dan tampak lelah. Tanpa berkata sepatah kata pun, Luna menghempaskan tubuhnya di kursi ruang tamu, bersandar, menengadahkan wajah, lalu menutup matanya seolah ingin meredakan kelelahan yang tak hanya bersifat fisik.Di sudut ruangan, Nikita memperhatikan kedatangan kakaknya dengan seksama. Luna, yang biasanya penuh semangat dan senyum, tampak begitu berbeda hari ini. "Mau aku buatkan teh manis, Kak?" tanya Nikita. Luna menghela napas panjang, lalu melirik Nikita sekilas. "Tidak usah, nanti aku bisa membuatnya sendiri." Nikita melangkah mendekati Luna, kemudian duduk di sampingnya. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam sor