Sore itu, Luna merasa sudah kehabisan kesabaran. Setelah sebelumnya ia menghadapi Rayyanza dengan cara yang lembut namun tidak berhasil, kali ini ia mencoba dengan cara yang kasar. "Jangan pernah kamu dekati aku lagi, mengerti!" Luna melayangkan tatapan tajam dan raut marah. Ia benar- benar bingung menghadapi sikap suami dari sahabatnya itu. Rayyanza diam mematung. Lagi-lagi, wanita itu menolaknya dengan kasar. Luna segera pergi dari hadapan Rayyanza. Ia sama sekali tak memedulikan Rayyanza yang berdiri memandanginya dengan raut sedih. Pria dengan perawakan tinggi atletis itu berbalik badan. Berjalan masuk ke dalam mobilnya. "Bagaimana mungkin aku bisa menganggap tidak pernah terjadi sesuatu diantara kita?" gerutu Rayyanza sembari tangannya menekan tombol start engine. Kendaraan berwarna merah seharga dua belas miliar melaju pelan meninggalkan pelataran parkir swalayan. Banyak pasang mata memandang mobil sedan sport tersebut dengan perasaan kagum. Luna berjalan kaki menuju rumah
Di dalam mobil yang merupakan saksi bisu kejadian satu malam panas, Luna menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran jok. "Rayyan ... dengar. Yang terpenting saat ini, Amanda tidak boleh sampai mengetahui kejadian malam itu. Aku sangat tidak siap jika harus kehilangan sahabat sebaik Amanda. Aku sangat memohon padamu Rayyan. Jangan dekati aku lagi. Aku tidak mencintaimu dan kita tidak akan mungkin bersatu." "Tapi, Luna ...." "Kamu tau? kamu itu seperti bintang di langit, aku hanya bisa memandanginya. Selebihnya, aku tidak pernah berpikir macam-macam." ucap Luna dengan wajah sendu. "Jadi, aku mohon Rayyan .... Tolonglah aku. Aku sangat memohon padamu. Mulai sekarang, jauhi aku! Aku benar-benar tidak akan memaafkanmu jika sampai Amanda mengetahuinya." Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaanya. Rayyanza mencoba kembali bertanya. "Apakah aku yang pertama melakukannya?" Luna menggeleng. "Bukan!" "Bohong! Aku tau kamu berbohong, Luna!" Rayyanza seolah tak terima
Pria yang berprofesi sebagai dokter hewan itu menatap Amanda dengan tatapan bingung. Pasalnya, wanita yang tempo hari datang mengaku sebagai pemilik puma bukanlah wanita yang saat ini berdiri di hadapannya. "Apakah benar, anda pemilik puma?!" tanyanya. "Benar, Dok! Yang tempo hari mengantar puma kesini, mereka adalah suami dan sahabat saya!" "O-yah? Maaf, saya kira mereka adalah pasangan suami istri."Mendengar perkataan Dokter tersebut, hati Amanda seperti terhenyak. Namun, langsung saja ia menepisnya. "Tidak mungkin Luna dan Rayyanza bermain di belakangku," gumamnya dalam hati. Dokter tampan itu menenteng cargo pet yang berisikan puma. Suara ngeong dari kucing hitam itu terasa menyentuh hati Amanda. Ia sangat rindu pada hewan peliharaanya. "Hai, sayang ... apakah kamu sudah sehat?!" tanyanya sembari menatap hewan berbulu itu. "Ini obat dan vitamin yang masih harus diberikan pada puma," terang Dokter. Amanda mengangguk. "Terima kasih, Dok!" Sore itu, Amanda berpamitan pada Do
Wanita yang syok itu hanya diam menatap layar USG dengan tatapan kosong. Tak terasa, bulir air yang memenuhi kelopak mata sudah mengalir di pipi mulusnya. Dokter tersenyum menatap wanita yang tengah menitikan air mata itu. Ia mengira, Luna menangis karena merasa bahagia."Sekali lagi saya ucapkan selamat ya, Bu." Luna kemudian menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Tak ingin membuat dokter yang memeriksanya menjadi kebingungan. Wanita itu melempar senyum tipis pada sang dokter, seakan-akan tangis itu adalah sebuah tangis kebahagiaan.Dokter Tampan itu membubuhkan tinta di atas kertas putih, meresepkan sebuah vitamin untuk kesehatan Luna dan bayinya. "Saya akan memberi resep vitamin. Tapi, sebaiknya Anda memeriksakan kandungan Anda ke dokter spesialis kandungan agar lebih terkontrol kedepannya," ucap Dokter berkacamata itu. Luna mengangguk pelan. "Baik, Dok. Terima kasih." Setelah selesai memeriksakan kandungannya, Luna berjalan dengan lesu meninggalkan klinik tersebut. Rasa mu
Di halteu bus yang tidak terlalu padat itu, Luna duduk dengan kedua kaki berayun pelan. Matanya menatap lurus kedepan. Memandangi lalu lalang kendaraan yang lewat silih berganti. Namun, disela penantiannya, tiba-tiba saja mata yang masih sembab itu menangkap penampakan kendaraan berwarna merah melintas di hadapannya. "Rayyanza?!" Wanita itu langsung mengalihkan pandangannya ke sembarang arah ketika pria yang duduk di balik kemudi itu melirik Luna. "Kak, Rayyan?!" celetuk Nikita. Gadis belia itu langsung melempar tatapan tajam. Mobil yang melaju dengan tersendat akibat jalanan yang padat itu berhenti selama beberapa saat di hadapan Luna dan Nikita. Luna yang merasa tak nyaman itu langsung beranjak, merubah posisi duduknya membelakangi Rayyanza. Namun, pria tampan yang mengenakan setelan jas itu membuang wajah, kemudian melaju menyalip kendaraan yang ada di depannya ketika jalanan terlihat sedikit renggang. "Dasar pria brengsek!" maki Nikita. "Mobilnya sudah pergi, kak. Ayo be
Luna tidak menyangka, Santika yang selalu sibuk dengan usaha restonya, kini datang mengunjunginya. "Eum ... bukan apa-apa Bi," sahut Luna masih dengan menyembunyikan vitamin kehamilannya. "O-ya, ayo masuk!" potong Nikita dengan cepat. "Bibi tidak akan lama. Hanya mengantarkan ini untuk kalian," ucapnya seraya menyodorkan jinjingan berisi buah-buahan. "Tadinya, mau Bibi titipkan pada Nikita. Tapi hari ini dia tidak datang ke cafe. Bibi kira, kalian sakit. Di telepon berkali-kali tidak menjawab. Membuat khawatir saja!" terangnya pada Luna. "Oh ... maaf, mungkin td kita sedang di jalan. Ponselnya ada di dalam tas, jadi mungkin tidak terdengar," terang Luna. "Diluar masih hujan. Ayo, Bi ... masuk dulu. Tunggu hingga hujannya reda!" ajak Luna. Santika merupakan adik satu-satunya dari mendiang Ayah Luna dan Nikita. Sedangkan mendiang Ibunya adalah anak tunggal. Sehingga, Santika menjadi keluarga satu-satunya yang mereka miliki. Wanita berusia 45 tahun itu telah berpisah dengan sua
"Mari kita sarapan, Sayang," ajak Amanda. Pria yang sudah berpenampilan rapih, mengenakan setelan jas berwarna dark grey dengan dasi berwarna biru salur langsung melirik benda bulat yang melingkar di lengan kirinya. "Sudah tidak sempat. Aku ada meeting jam sembilan bersama seluruh staff." "Tapi, Sayang ...." "Aku buru-buru, nanti saja aku sarapan di kantor!" Pria yang telah selesai bersiap untuk pergi ke kantor itu mengecup kening Amanda sekilas. Kemudian, menyambar tas kerja yang tergeletak di atas meja. Melanjutkan langkah dengan tergesa-gesa menuju area parkir. Amanda mendelikan matanya malas. Ia benar-benar harus ekstra sabar menghadapi Rayyanza. Pasalnya, lelaki itu terkadang bersikap sesuai dengan keinginannya tanpa memikirkan bagaimana perasaan Amanda. Rayyanza membuka pintu mobil, kemudian duduk di balik kemudi. Menjatuhkan tas jinjing di kursi sebelahnya dengan kasar. Mobil berwarna merah seharga dua belas milyar melaju membelah kemacetan kota Jakarta.
Wanita pemilik saham terbesar di perusahaan Rayyanza itu memasang raut sedih. Hanya pada Luna, ia bisa mencurahkan segala isi hatinya. Baginya, Luna adalah tempat berkeluh kesah dan membuang semua unek-uneknya. "Mengapa kamu berkata seperti itu? Tentu saja Rayyan sangat mencintaimu!" sanggah Luna. Amanda menundukkan wajah dan menggeleng pelan. "Tidak! Aku yakin Rayyan menikahiku karena terpaksa." Kedua tangan membingkai wajah Amanda. "Dengar! Tidak usah berasumsi macam-macam. Rayyan kan orang yang sangat sibuk. Selain sibuk, mungkin dia sedang banyak pikiran." Wanita yang duduk di balik kemudi itu melajukan mobilnya menuju cafe milik Santika."O-ya ... bagaimana kemarin di korea? Sepertinya seru?!" Sengaja Luna bertanya tentang acara berlibur Amanda beberapa minggu kebelakang agar ia tak melulu membicarakan Rayyanza. "Seru ...! sekali-kali kamu harus ikut bersamaku ke sana!" "Wah ..., bagaimana mungkin. Aku tidak punya banyak waktu dan uang!" "Bukan itu masalahnya, tapi memang