Luna tidak menyangka, Santika yang selalu sibuk dengan usaha restonya, kini datang mengunjunginya. "Eum ... bukan apa-apa Bi," sahut Luna masih dengan menyembunyikan vitamin kehamilannya. "O-ya, ayo masuk!" potong Nikita dengan cepat. "Bibi tidak akan lama. Hanya mengantarkan ini untuk kalian," ucapnya seraya menyodorkan jinjingan berisi buah-buahan. "Tadinya, mau Bibi titipkan pada Nikita. Tapi hari ini dia tidak datang ke cafe. Bibi kira, kalian sakit. Di telepon berkali-kali tidak menjawab. Membuat khawatir saja!" terangnya pada Luna. "Oh ... maaf, mungkin td kita sedang di jalan. Ponselnya ada di dalam tas, jadi mungkin tidak terdengar," terang Luna. "Diluar masih hujan. Ayo, Bi ... masuk dulu. Tunggu hingga hujannya reda!" ajak Luna. Santika merupakan adik satu-satunya dari mendiang Ayah Luna dan Nikita. Sedangkan mendiang Ibunya adalah anak tunggal. Sehingga, Santika menjadi keluarga satu-satunya yang mereka miliki. Wanita berusia 45 tahun itu telah berpisah dengan sua
"Mari kita sarapan, Sayang," ajak Amanda. Pria yang sudah berpenampilan rapih, mengenakan setelan jas berwarna dark grey dengan dasi berwarna biru salur langsung melirik benda bulat yang melingkar di lengan kirinya. "Sudah tidak sempat. Aku ada meeting jam sembilan bersama seluruh staff." "Tapi, Sayang ...." "Aku buru-buru, nanti saja aku sarapan di kantor!" Pria yang telah selesai bersiap untuk pergi ke kantor itu mengecup kening Amanda sekilas. Kemudian, menyambar tas kerja yang tergeletak di atas meja. Melanjutkan langkah dengan tergesa-gesa menuju area parkir. Amanda mendelikan matanya malas. Ia benar-benar harus ekstra sabar menghadapi Rayyanza. Pasalnya, lelaki itu terkadang bersikap sesuai dengan keinginannya tanpa memikirkan bagaimana perasaan Amanda. Rayyanza membuka pintu mobil, kemudian duduk di balik kemudi. Menjatuhkan tas jinjing di kursi sebelahnya dengan kasar. Mobil berwarna merah seharga dua belas milyar melaju membelah kemacetan kota Jakarta.
Wanita pemilik saham terbesar di perusahaan Rayyanza itu memasang raut sedih. Hanya pada Luna, ia bisa mencurahkan segala isi hatinya. Baginya, Luna adalah tempat berkeluh kesah dan membuang semua unek-uneknya. "Mengapa kamu berkata seperti itu? Tentu saja Rayyan sangat mencintaimu!" sanggah Luna. Amanda menundukkan wajah dan menggeleng pelan. "Tidak! Aku yakin Rayyan menikahiku karena terpaksa." Kedua tangan membingkai wajah Amanda. "Dengar! Tidak usah berasumsi macam-macam. Rayyan kan orang yang sangat sibuk. Selain sibuk, mungkin dia sedang banyak pikiran." Wanita yang duduk di balik kemudi itu melajukan mobilnya menuju cafe milik Santika."O-ya ... bagaimana kemarin di korea? Sepertinya seru?!" Sengaja Luna bertanya tentang acara berlibur Amanda beberapa minggu kebelakang agar ia tak melulu membicarakan Rayyanza. "Seru ...! sekali-kali kamu harus ikut bersamaku ke sana!" "Wah ..., bagaimana mungkin. Aku tidak punya banyak waktu dan uang!" "Bukan itu masalahnya, tapi memang
Seorang pria tampan bersetelan jas hitam melangkah gontai menghampiri Amanda yang baru saja memberikan lambaian tangannya di area sebelah kolam ikan. Luna langsung mengalihkan pandangannya. Jantungnya berdebar kian cepat karena melihat sosok pria yang tak lain adalah ayah dari anak yang tengah di kandungnya. Juga, sekaligus suami dari sahabatnya yang kini berdiri di hadapannya. "Duduk, Sayang." Sapa Amanda ketika Rayyanza tiba di meja mereka. Pria tampan berhidung mancung itu meletakkan bokongnya di atas kursi kayu. Duduk di sebelah Amanda. Ia tak berani menatap Luna. Jemari tangannya saling meremas menahan gugup. Luna menatap layar ponselnya. Berpura-pura sibuk membalas pesan agar tidak terlihat salah tingkah. "Kalian tidak akan bersalaman, hah? Seperti tidak saling mengenal saja!" cetus Amanda. "Hah? Oh, ya. Hai Rayyan apa kabar?" Luna melempar senyum dan mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. Rayyanza menyambut uluran tangan Luna. Tatapan keduanya saling bertaut. Penuh d
Terjadi ketegangan di dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu. Luna yang tidak ingin melibatkan Rayyanza dalam hal apapun, spontan menujukkan reaksi tak sukanya. "Eum ... maaf, Manda. Bukan maksudku membentakmu. Aku hanya tidak ingin sampai merepotkanmu, apalagi jika sampai meminjam jas kepunyaan suamimu," terang Luna sembari terbata. "Kamu itu selalu saja berkata tidak ingin merepotkan! Aku sama sekali tidak pernah merasa direpotkan. Lagi pula, Rayyan pasti tidak akan keberatan untuk meminjamkan jasnya padamu. Ya, kan, Sayang?!" ucapnya yang dilanjut dengan menoleh ke arah Rayyanza. Pria tampan itu melepas jas hitam yang ia kenakan, menyisakan kemeja putih dengan dasi salur berwarna biru navy. Kemudian, menyerahkannya pada Luna. "Pakai saja. Aku hanya mengenakannya saat pergi dan pulang barusan. Jadi, samasekali tidak berbau dan tidak terkena keringatku!" Luna tidak ingin meraih jas yang disodorkan oleh Rayyanza. Ia menggeleng pelan dan lebih memilih menggigil menahan dingin.
Di sebuah kamar yang tidak terlalu luas dan tampak sederhana, dengan dinding berwarna soft cream yang mulai memudar. Luna berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya yang terlihat cantik. Ia menyisir rambutnya yang panjang dan masih basah. Suara musik dari ponsel yang tergeletak di atas meja rias mengalun dengan lembut, mengisi setiap sudut kamar dengan melodi yang menenangkan. Ia tersenyum tipis, menemukan ketenangan yang ia cari meskipun hanya untuk sementara waktu. Braaaak .... Luna tersentak oleh suara benturan pintu kamar yang terbuka secara tiba-tiba. Terlihat Nikita berdiri dengan raut memburu penuh emosi. "Loh ... kamu kenapa?" "Mana laki-laki itu, hah?! Apakah dia bersembunyi?" Luna mengerutkan dahi, "Apa maksudmu?" "Jas hitam yang di atas sofa itu pasti punya dia, kan? Tadi pagi aku bertemu dengannya di halteu bus. Ia mengenakan jas yang sama!" cecar Nikita. "Oh ... jas itu. Iya itu memang miliknya," jawab Luna seraya menyisir rambutnya, "tadi, aku bersama M
Luna melangkahkan kakinya di trotoar jalan. Hembusan angin menggoyangkan rambut panjangnya. Di tengah asiknya berjalan, suara klakson mobil tiba-tiba memecah kesunyian. Luna menoleh dan melihat mobil Rayyanza mendekat dari arah belakang. "Rayyanza? Sedang apa dia disini?!" gumamnya.Suami dari sahabatnya itu berhenti di sampingnya dan menurunkan kaca jendela. Wajahnya yang tampan mengembangkan senyum. Tapi, Luna merasa muak setiap kali melihatnya. Pasalnya, sudah berkali-kali ia menghindar namun Rayyanza terus mengganggunya. "Luna ... tunggu sebentar. Aku perlu bicara denganmu," kata Rayyanza, suaranya memohon. Wanita yang sudah merasa lelah akibat bekerja itu enggan menanggapi. Ia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan oleh Rayyanza. "Tidak! Aku tidak mau berbicara denganmu!" ketus Luna. "Sebentar saja, Luna. Aku mohon." Luna menghela napas berat. "Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan, Rayyan. Pulanglah! Aku yakin Amanda sedang menunggumu di rumah." Tanpa menunggu j
Malam yang semula hangat itu, berubah menjadi penuh ketegangan. Rayyanza terdiam selama beberapa saat setelah Amanda melontarkan pertanyaan yang tajam. "Kamu sedang membayangkan siapa, hah? Kenapa kamu tidak bisa melihatku?!" Pertanyaan itu begitu mengguncangnya hingga ia tidak bisa langsung menjawabnya. Rayyanza terlihat kikuk dan salah tingkah. Namun, dengan cepat ia menjawab pertanyaan amanda secara asal."Aku tidak membayangkan siapapun. Aku hanya sedang meresapinya!"Mendengar jawaban Rayyanza, Amanda merasa jika suaminya tengah berbohong . Ia menolak melanjutkan aktivitas ranjang yang telah terhenti secara mendadak itu.Namun, pria yang merasa keinginannya belum terpenuhi itu tidak mau menerima penolakan tersebut. Ditambah dengan dorongan hasrat yang masih menggelora. Ia memaksa Amanda untuk melanjutkan aktivitas ranjangnya. "Ayo, Sayang. Aku masih menginginkannya." Bisik Rayyanza sembari menindih tubuh Amanda. Ia tidak memedulikan perasaan marah dan kecewa istrinya.Setelah