Alis Vano tertaut sempurna tatkala melihat bunanya sedang menggendong anak bayi yang disebut-sebut sebagai adik Ano. Sejak bunanya dan handa Enan membawa anak bayi tersebut, Ano merasa diabaikan. Apalagi adik kecil itu selalu diperhatikan dan diajak berbicara, ada rasa cemburu yang menyelimuti hatinya. Bisa-bisanya Buna Rania tidak memihak padanya lagi. Ingat saja tadi, Vano berbicara bahwa ia ingin dibelikan sepeda jika ia sudah keluar dari rumah sakit. Nyatanya, permintaannya ditolak karena Rania berkata Vano sudah punya adik. Jadi, dirinya tidak boleh meminta ini itu lagi karena buna akan membelikan adiknya saja mainan mulai sekarang. Buna dan handa Enan sibuk mengurus bayi laki-laki itu, sehingga Ano merasa tidak dipedulikan lagi. Berkali-kali mencoba mencari perhatian dengan tingkah-tingkah aneh yang bisa memicu atensi orang-orang, tapi tetap tidak mempan. "B-buna! Buna! Ano mau di endong!" pintanya pada buna. Matanya sedikit membulat karena adik kecil ikut menolehkan kepalany
"Bagaimana dengan dua bulan yang akan datang?" tanya Danu pada anaknya, Jihan dan pada calon menantunya, Raihan. Haru yang ada disana, tampak mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kaca yang ada di depannya. Bahkan, air tehnya sudah tidak lagi beruap. "Jihan mengikuti saja, tergantung keinginan mas Raihan," jawab wanita itu dengan sopan, matanya sedikit melirik Raihan yang tampaknya sedang melamun. "Bagaimana denganmu, Raihan?" Danu mengalihkan pandangan pada Raihan yang jiwanya seperti tidak ada disana. Tidak ada jawaban, sampai akhirnya Jihan yang menyenggol lengan calon suaminya. "Mas!" "H-hah! I-itu," gagap Raihan karena kesadarannya sudah kembali lagi. Dia bingung, sudah sampai dimana pembicaraan mereka. Alhasil, dia menatap Jihan untuk mendapatkan jawaban. "Kau kenapa, Nak? Apa yang sedang kau pikirkan? Ini kita sedang membahas pernikahanmu," sela Haru. Dia tahu, pikiran putra sulungnya pasti sedang mengarah pada yan
Malam itu di kediaman Rania Arsita, Renan ada disana menjenguk Vano dan berbincang serius dengan si pemilik mata indah nan manis. Renan sepertinya benar-benar akan pergi dan terpaksa berjarakan jauh dengan wanitanya mulai besok. "Aku akan merindukanmu, nanti," ucap Renan mengawali percakapan di antara keduanya. Tampak sayu-sayu ucapannya, seperti tidak ikhlas akan berjauhan dengan sang kekasih. Sudah dua minggu setelah kepulangan Vano dari Rumah sakit. Mereka sekarang sedang berada di balkon apartemen Rania sambil memandangi bintang yang tidak terlalu banyak, namun masih menghiasi langit malam dengan cantik. "Kau tidak akan berniat pulang kesini lagi?" jawab Rania dengan menembakkan pertanyaan yang membuat hati Renan menjadi membeku. Tentu, dia akan pulang karena belahan hatinya masih tertinggal penuh di Jakarta, wanitanya. "Aku akan mengusahakan untuk pulang di akhir bulan. Nanti, di waktu kepulanganku aku ingin melakukan kencan yan
"K-kau tahu?" Rania menganggukkan kepalanya dan sedikit menggeser tubuhnya untuk berbalik menatap Renan yang ada di belakang punggungnya. Dia tersenyum saat melihat wajah Renan yang kebingungan. Rupanya, Renan benar-benar tidak tahu sampai sekarang siapa Rania. Sebelum mengatakan kebenarannya, Rania berusaha mengambil napas dan membuangnya pelan. "Renan, aku adalah putri dari Dirta Bagyo," ungkap Rania dengan pelan, dia tahu Renan pasti sangat terkejut mendengar fakta yang dituturkan oleh Rania barusan. Tas! Tangan Renan membeku dengan mulut yang membisu mendengar ucapan Rania. Sesuatu yang sangat membuat laki-laki itu tertampar dan mati rasa. "K-kau--" Rania mengangguk dan berdiri menghadap Renan dengan senyuman manis yang masih terpatri dari wajah kecilnya. "Aku, Akak Anya .…" Deg! Detakan jantung milik Renan kembali membludak lebih cepat dari sebelumnya. Dia awalnya menundukkan kepala dan mencerna apa yang dika
Bandung, 22 tahun yang lalu. Seorang wanita berusia 30 tahun tengah menatap anak bayinya yang sedang berada dalam gendongan hangatnya. Ada rasa iba melihat sang putra tampak berceloteh kecil dan asik dengan dunianya sendiri. "Aku menitipkan anakku padamu. Nanti, jika sudah waktunya, laki-laki brengsek itu akan menjemputnya." Wanita itu mengalihkan gendongan bayinya ke tangan Dirta. Ada sedikit tangannya bergetar, seperti tidak rela jika Renan kecilnya diasuh oleh orang lain untuk saat ini. "Anak laki-laki yang tampan. Nona, aku akan bilang pada tuan Aditama bahwa cucunya harus di beri marga Aditama. Marga Atmadja hanya akan membuatnya susah dikemudian hari," kelakar Dirta memberi saran pada ibu si kecil. Adisa tersenyum simpul dengan wajah pucatnya. "Terima kasih, Dirta," ungkapnya, enggan membahas marga apa yang akan diberikan untuk di kecil nantinya. Dirta hanya menganggukkan kepalanya, dia memahami perasaan Adisa. Setelahnya, Adis
Setelah dua minggu berada di Bandung, Renan melakukan pekerjaannya dengan baik sebagai seorang manager. Dia dibantu oleh Nindi yang menjabat sebagai asisten tuan Damar, penanggung jawab perusahaan Atmadja Groups di Bandung. Renan sangat diterima oleh orang-orang-orang disana, mereka menghormati Renan sebagai tamu istimewa. Bukan hanya sekedar karena dia anak pemilik perusahaan Atmadja Groups, dia juga dipuji karena kecerdasan otaknya yang mampu mengatasi permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini di perusahaan. Sore itu, di sebuah taman kecil yang cukup sepi, salah satu tempat paling nyaman untuk mengobrol sore hari dengan pasangan atau teman sebaya. Seorang pria dan wanita tengah bercengkrama di dekat Sungai tersebut. Mereka sesekali tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang diciptakan wanita itu. Mereka terlihat sangat bahagia dan saling melepas penat akibat pekerjaan di kantor yang sangat padat dan membuat lelah. "Kau memang sangat lucu ya, Nindi," u
"Bukannya dia terlihat cocok dengan wanita cantik itu? Sangat serasi daripada dengan wanita yang memiliki dua anak." Rania memasukkan foto-foto tersebut ke dalam amplopnya dengan tangan yang sedikit kaku. Foto yang menunjukkan kedekatan Renan dan Nindi. Ada sedikit rasa kecewa dan cemburu di saat bersamaan, tapi jika memang itu pilihan Renan, Rania juga tidak bisa berbuat banyak. Matanya yang sayu mulai terpejam karena perasaan hatinya yang sudah gundah. Kini, handphone-nya bergetar di atas nakas, sebuah pesan masuk terpampang dari Haru Atmadja. Laki-laki itu selalu membuat hati Rania tak tenang, ada saja yang ia coba lakukan agar Rania menjauh dari putra-putra Atmadja. 'Putra-putraku tidak beruntung jika bersama denganmu. Lihat sendiri, gadis cantik itu yang pantas jadi menantuku. Jangan buta, lihat bagaimana Renan lebih senang berada disana bersama wanita itu. Biar aku kasih tahu padamu, kau itu tidak pantas bahagia, kau hanya kotoran yang memenuhi bumi ini.'
Mereka bertiga pergi ke pasar malam dengan menggunakan mobil Raihan. Vano yang dipangku oleh Rania sangat heboh bercerita tentang keasikannya pertama kali mandi bersama handanya. Bahkan, Vano belum pernah mandi bersama handa Enan, lantaran handa Enannya jarang menginap di apartemen Rania. Jadinya, ini pengalaman pertama Vano, makanya dia antusias menceritakan pada Buna. "Ano becok ingin becal kaya handa, Bun," ucapnya pada Buna yang sedang menatap ke arah luar jendela mobil. Mendengar itu, Rania menarik dua sudut bibirnya ke atas. Anak itu ingin sekali ya menjadi seperti ayahnya. "Iya, Vano besok akan tumbuh besar seperti handa, kok," jawab Rania seadanya. Raihan yang ada di sebelahnya hanya berani melirik dari ujung ekor mata. Akibat kejadian tadi sore, ada rasa canggung dan malu yang menyelimuti hati laki-laki itu. Padahal mungkin, Rania sudah melupakannya. "Apa Ano akan tapan cepelti handa?" Lagi, anak kecil itu gemar menanyai ibunya dengan