Mobil yang ditumpangi oleh Alan dan Rachel berhenti di depan rumah Rachel. Rachel turun dengan membawa satu kantong besar yang berisi oleh- oleh dari Jogja.“Hati- hati ya,” ujar Rachel sebelum menutup kembali pintu mobil tersebut.Alan membuka kaca mobilnya, kemudian melambai- lambaikan tangannya pada Rachel yang masih berdiri di depan sana.Rachel tersenyum. Kemudian ketika mobil Alan sudah tidak terlihat lagi, ia lantas masuk ke dalam rumahnya yang sudah terbuka dengan lebar pintunya.“Noah, Bunda pul-Ucapan Rachel yang begitu semangat itu pun terpotong, saat dirinya terkejut dengan kedatangan mamanya yang sudah duduk di kursi dengan Noah yang berada dipangkuannya.“Mama?” gumam Rachel.Wanita paruh baya itu tersenyum. Sedangkan Noah yang baru saja menyadari kedatangan bundanya pun lantas meletakkan ponselnya di meja, dan berlari menghampiri sang Bunda.“Habis ini, Bunda udah nggak kerja lagi, kan?” Rachel menunduk. Menangkup wajah sang anak yang sedang memeluk kakinya. Kemudian i
“Mungkin karena kita udah lama nggak ketemu, Te. Hehe,” sahut Reza sembari tertawa canggung.“Oh. Iya, sih. Biasanya kalau jarang ketemu emang gitu. Apalagi kalian udah bertahun- tahun nggak ketemu,” ujar Cindy.“Ini anak kamu, Chel?” tanya Reza. Yang hanya diangguki oleh Rachel.“Namanya siapa?”“Noah,” jawab Rachel singkat.“Oh, iya. Nanti selama di Bali, gimana kalau kamu minta antar jemput Reza aja, Chel? Dari pada naik kendaraan umum, kadang lama nunggunya. Kasian Noah,” usul Cindy.“Loh, kan di rumah kalian ada Sopir,” sahut Reza.“Rachel tinggal di Hotel. Biar enak kalau mau ke rumah sakit, nggak terlalu jauh,” jelas Cindy.“Siapa yang sakit?”“Nenanya,” jawab Cindy.“Oh, yaudah kalau gitu. Nanti antar jemput sama aku aja, Chel. Kebetulan aku emang nggak ada kerjaan. Nanti kamu bisa hubungi aku kapan aja kalau kamu butuh,” ujar Reza dengan begitu semangat.“Nggak usah, Za. Aku nggak mau repotin kamu,” balas Rachel.“Santai aja. Aku nggak merasa direpotin, kok. Lagian kita kan u
Rachel PovAku melangkahkan kakiku di lorong rumah sakit, menuju kamar inap tempat Nenaku dirawat. Di depanku, ada Mama yang sudah berjalan lebih dulu sambil menggandeng tangan Noah. Dan di belakangku, ada Bodyguard Nenaku yang mengawalku sejak di Hotel tadi.Airin dan Papa belum muncul di depanku sama sekali, sejak aku sampai di Bali kemarin malam. Aku sendiri juga berharap tidak bertemu dengan mereka, dari pada menimbulkan permasalahan baru lagi. Sampai di depan kamar Nena, jantungku semakin berdebar- debar. Jujur saja, aku belum siap bertemu dengannya lagi. Aku masih merasa bersalah atas kejadian beberapa tahun yang lalu. Namun karena Mama meyakinkanku, aku merasa jadi lebih tenang dan percaya diri.Dengan tangan yang sedikit bergetar, aku pun mulai memutar gagang pintu tersebut. Mama membiarkanku masuk sendirian, karena hanya aku lah satu- satunya orang yang ingin ditemui oleh Nena saat ini.Aku melihat Nena yang duduk di kursi roda sambil menghadap ke jendela kamar. Aku berjal
“Mama baik- baik aja, Chel. Kamu jangan khawatir.”Saat ini, Rachel dan mamanya sedang berada di kantin rumah sakit. Sedangkan Noah dititipkan di kamar nenanya, atas permintaan sang Nena sendiri.“Ma, Rachel bukan orang yang gila harta. Kalau misalnya tanah itu bisa buat lunasin hutang- hutang Papa, jual aja.” Rachel menggenggam tangan mamanya untuk berusaha meyakinkan wanita itu. Namun sang Mama malah menggelengkan kepalanya.“Itu milik kamu, Chel. Mama nggak mau.”“Terus kenapa waktu itu Mama rela jauh- jauh ke Jakarta buat nemuin Rachel? Pasti mau bahas masalah ini, kan?”Cindy menghela napasnya. Kemudian ia menatap sang Putri dengan mata yang berkaca- kaca.“Waktu itu, pikiran Mama udah buntu banget. Tiap hari, Mama ditelepon sama pihak Bank. Hutang Papa kamu banyak banget, lebih dari seratus juta. Mama bingung, harus jual apalagi. Karena perhiasan Mama udah habis, barang- barang branded udah Mama jual semua, usaha laundry Mama udah tutup, mobil juga udah mulai Mama jual satu pers
“Halo?”“Iya. Siapa ya?” Benar saja. Bukan Alan yang mengangkatnya, melainkan seorang wanita. Meskipun Rachel percaya pada Alan, namun ia tidak bisa berbohong, hatinya benar- benar gelisah saat ini. Seperti ada jarum yang menusuk- nusuk hatinya, saat mendapati perempuan lain yang mengangkat teleponnya. Berarti yang dikatakan oleh Tiffany itu benar, Alan sedang pergi bersama seorang wanita saat ini.“Halo? Masih ada orang?”“Hah? I-iya,” balas Rachel gugup.Tak ingin semakin sakit hati, Rachel pun lantas mematikan panggilan teleponnya secara sepihak. Masa bodoh jika itu adalah tindakan yang tidak sopan. Rachel benar- benar tak peduli. Ia sudah terlanjur sakit hati. Namun di sisi lain, ia juga tidak mau menaruh curiga yang berlebihan pada Alan. Ia yakin, Alan bukanlah pria penghianat.“Kenapa, Chel?” tanya Santi─ Nena Rachel, saat melihat Rachel yang sedang melamun.“Enggak. Rachel lagi mikir, nanti mau makan apa,” kilah Rachel berbohong.“Makan ya, makan aja. Ngapain pakai dipikir se
Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Alan lantas masuk ke dalam rumah dengan membawa beberapa kantong belanjaan. Di dalam, ia disambut oleh mamanya yang baru saja keluar dari kamar sambil memainkan ponselnya.“Baterai kamu habis?” tanya mamanya.“Enggak, kok,” jawab Alan.“Terus? Kuotanya habis?” tanyanya lagi. Namun Alan hanya menggelengkan kepalanya.“Kok tumben, Rachel telepon Mama? Biasanya kan, dia telepon kalau kamu nggak bisa dihubungin aja.”“Lah, emang nggak Mama tanyain, kenapa dia telepon?”“Nggak keangkat. Mama juga baru lihat hp. Nih, tiga panggilan tak terjawab dari dia.” Anna menunjukkan ponselnya pada Alan, dan di situ memang tertulis jika ada tiga panggilan tak terjawab dari Rachel.Buru- buru Alan langsung membuka ponselnya. Namun ia tidak menemukan pesan masuk atau riwayat panggilan dari Rachel.“Dia nggak telepon Alan, kok.” Alan juga menunjukkan ponselnya pada sang Mama. Dan benar saja, tidak ada pesan ataupun riwayat panggilan dari Rachel.“Oh iya, ya. Coba de
“Kamu beliin Anggi cincin?” tanya Rachel to the point, saat Alan baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggotong tubuh Noah.“Enggak,” jawab Alan santai.“Kok dia chat kamu, katanya cincinnya nggak muat.”“Oh, cincin ibunya kali. Kemarin dia juga beliin ibunya cincin.”“Oh, kirain kamu yang beliin.”“Aku nggak sedermawan itu, sampai beliin orang lain cincin,” ujar Alan. Membuat Rachel langsung tersenyum mendengarnya.“Tapi waktu itu kamu beli perlengkapan rumah buat aku. Kulkas seharga puluhan juta, vacuum cleaner, sama AC yang harganya setara sama gajiku selama dua bulan,” sahut Rachel.“Kalau sama kamu mah beda, Chel. Jangankan kulkas sama AC, rumah pun aku beliin sekarang juga kalau kamu mau.”Rachel tertawa kecil. Sepertinya Alan memang benar- benar bucin kepadanya. Padahal sebelum dekat seperti ini, pria itu benar- benar pelit dengannya. Rachel sampai sering menggurutu karena saking kesalnya. “Jangan berlebihan, ah. Nggak baik,” tegurnya.“Cepat mandi, sana! Udah mau jam tuj
Sudah hampir setengah jam, mereka berada di perjalanan udara. Saat ini, Alan melirik tengah Rachel yang duduk di seberangnya dengan Noah dan juga Reza. Sejak pulang dari pantai tadi, wanita itu mendiaminya. Alan sadar, wanita itu pasti tersinggung dengan ucapannya. Tapi ia belum bisa menjelaskan semuanya, karena ia masih menunggu waktu yang tepat. Sejujurnya Alan sedikit menyesal telah membatalkan tiketnya dan memilih untuk berangkat bareng Rachel. Karena ia baru tahu jika Reza juga ikut pergi ke Jakarta, dan mereka berdua sudah sepakat untuk duduk berdekatan karena ada hal yang ingin mereka bicarakan. Alan tidak bisa protes, karena Rachel sendiri juga mau tidak duduk berdampingan dengannya. Jadi ia harus menerimanya dengan lapang dada, walaupun selalu kesal dan cemburu setiap kali melirik mereka berdua yang sedang asik berbincang- bincang. “Ehm.” Alan berdehem dengan cukup keras saat melihat tangan Reza yang memegang pucuk kepala Rachel. Sementara itu, ketika Reza akan menoleh ke s