Zahra menggeliat saat telinganya sayup-sayup mendengar ocehan Mora. Perlahan ia membuka mata dan melihat bayi itu sedang merambat ditubuhnya sembari menepuk-nepuk mukanya.“Jangan ganggu Bunda, Sayang. Sini sama Ayah.”Zahra mengurungkan niatnya untuk membuka mata saat David tiba-tiba terbangun dan mengangkat Mora dari tubuhnya. Bunda? Sejak kapan lelaki itu menyematkan panggilan tersebut? Perasaan selama ini Zahra selalu menyebut dirinya dengan panggilan Tante jika bersama Mora.Zahra membuka matanya sedikit, ia bisa melihat David sedang menuangkan bubuk susu formula ke dalam botol lalu memberinya air dari termos yang sudah ia siapkan sebelumnya. Beberapa kali lelaki itu terlihat mengecek tulisan dalam kaleng susu yang Zahra yakin itu adalah takaran pembuatan susu.David menuangkan sedikit susu yang baru saja dibuatnya untuk mengecek suhu. Meski baru pertama kali membuat, tapi ia sudah sering melihat cara Zahra menyiapkan susu untuk anaknya. Setelah dirasa pas, lelaki itu menghampiri
“Aku berangkat dulu. Baik-baik di rumah.” David mendaratkan kecupan singkat di dahi Zahra lalu mengelus lembut rambutnya.Zahra diam mematung melihat suaminya melayangkan senyum ke arahnya sebelum lelaki berjalan keluar. Tak seperti sebelumnya, hidup Zahra kini penuh dengan kejutan. Sikap dan perlakuan manis yang ia terima dari David membuatnya merasakan hal yang luar biasa timbul dari hatinya.Tangan Zahra terulur menyentuh dahinya, memang setiap hari David selalu berpamitan saat akan berangkat kerja, tapi baru kali ini lelaki itu bersikap demikian. Meski keduanya pernah lebih dari itu, tapi perlakuan David barusan membuat Zahra seperti sedang naik roller coaster dalam posisi menukik, nano-nano rasanya.[Gimana rasanya jadi nyonya David Ardian? Udah bulan madu kemana? Udah dibeliin apa aja? Emas, berlian atau mobil?]Zahra mengernyit heran melihat pesan yang baru saja masuk ke ponselnya dari nomor baru yang belum disimpannya. Penasaran, Zahra menyentuh ikon kontak tersebut dan terpam
Suasana hening menyelimuti kebersamaan David dan Zahra yang sedang duduk bersama sambil menonton televisi. Sebenarnya bukan menonton, melainkan ditonton karena keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing.Waktu masih jam delapan malam, masih terlalu awal untuk pergi tidur. Akhir-akhir ini interaksi keduanya memang sudah lebih santai jadi tak masalah lagi jika Zahra harus duduk berdua dengan David, toh pertahanannya sudah jebol.“Mora sudah tidur? Perasaan dari tadi enggak ada suaranya?” tanya David sembari terus fokus pada ponselnya.“Belum, kalo udah tidur pasti Wati turun," jawab Zahra“Kayaknya kita enggak perlu cari pengasuh, Wati aja udah cukup.”Zahra mengangguk mantap.“Kata Wati yang penting gajinya cocok, semua pasti beres."David terkekeh, atas saran Zahra ia baru saja menaikkan gaji Wati dua kali lipat dari sebelumnya. Itu dikarenakan Wati sekarang mempunyai tugas ganda yaitu asisten ru
“Selamat pagi, Sayangnya Ayah.”David mengangkat Mora yang sedang duduk di kursi bayi lalu mencium pipi gembulnya dengan gemas. Zahra yang sedang menyiapkan sarapan mencuri pandang ke arah mereka dan tersenyum saat melihat Mora tertawa karena David tak henti-henti menciumnya.Seperti biasa, saat memasak sarapan Zahra akan selalu ditemani Mora karena anak itu selalu bangun lebih awal. Ia tak mau selalu merepotkan Wati karena wanita itu pun punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan setiap pagi. “Ayo kita lihat Bunda,” ucap David berjalan mendekati Zahra.Ada desiran aneh yang terasa saat David selalu menyebutnya dengan panggilan Bunda. Antara bahagia dan tak percaya jika saat ini ia telah memiliki suami dan anak yang cukup memberi warna dihidupnya.“Bunda masak apa?”“Na-nasi goreng.” Zahra melirik pada lelaki yang kini berdiri tepat di sampingnya. Dagu David yang hampir menyentuh pundaknya berhasil membuat tubuhnya sedikit gemetar.“Cicip dong, Bunda. Kelihatannya enak,” ujar Dav
Zahra terus mengecek jam diponselnya. Berkali-kali ia melongok keluar jendela berharap lelaki yang sedari tadi ditunggu menampakkan ⁷batang hidungnya. Sudah jam sembilan malam, tapi belum ada tanda-tanda jika suaminya akan pulang. David sudah telat tiga jam dari jam pulang biasanya dan itu cukup membuatnya was-was. Sejak pagi perasaannya sudah tak karuan, bahkan seharian ia sama sekali tak melakukan aktivitas apa pun termasuk makan dan mengasuh Mora. Seharian anak itu full dipegang oleh Wati bahkan hingga saat ini pun anak itu tidur bersama Wati.Keringat dingin mulai membasahi tubuh Zahra, rasa mual, pusing dan lemas mulai terasa. Berkali-kali ia melihat deretan foto yang semalam dikirimkan oleh Andin. Foto yang berisi gambar kakaknya dengan suaminya dengan pose mesra cukup membuat hatinya tak karuan.Cemburu? Bukan cemburu, lebih tepatnya tak rela jika lelaki yang telah menjadi miliknya ternyata masih menemui mantan kekasihnya. Pagi tadi Zahra sangat syok saat melihat pesan yang d
Huqbungan Zahra dan David kembali dingin seperti semula. Rumah yang tadinya mulai ramai, kini kembali sepi. Jarang ada obrolan saat sarapan atau setelah makan malam seperti biasanya. Lagi pula akhir-akhir ini David terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Meski tak pernah pulang telat tapi lelaki itu malah membawa kerjaannya ke rumah. Alhasil saat di rumah sebagian besar waktu David dihabiskan di depan laptop.“Ngapain pulang kalo masih kerja?” sindir Zahra. Entah mengapa setelah tahu David bertemu Andin, perasannya selalu sensitif dan selalu ingin marah.“Aku enggak mau kamu curiga gara-gara pulang terlambat, makanya aku bawa pulang kerjaannya,” jelas David.“Alasan! Aku juga enggak bakal marah kok kamu mau pulang jam berapa.”“Oh, ya? Nanti tengah malam marah-marah kayak kemarin.”David berusaha menggoda Zahra. Meski ia sendiri kerepotan meladeni kemarahan istrinya, tapi David jujur saja David suka melihat sikap Zahra
“Gimana perkembangannya?” tanya seorang lelaki yang berdiri dibalik meja bar.“Nihil!” Andin menyesap rokok putihnya kuat-kuat lalu mengembuskan asapnya ke atas.“Gimana tanggapan adikmu?” Sahid menuang beberapa jenis minuman dari botol lalu memberikannya pada Andin.“Entahlah, paling dia udah terkena gombalan David. Maklum gadis bodoh.”Ruangan dentuman suara musik yang keras, lampu kelap-kelip yang cukup remang menjadi tempat kerja Andin sejak ia mengenal kerasnya kehidupan di kota. Nekat merantau dengan modal minim pendidikan juga keahlian membuat Andin memilih jalan pintas. Awalnya Andin memang bekerja di toko roti, tapi hasilnya hanya cukup untuk makan saja. Hal itulah yang membuatnya menerima ajakan seseorang untuk terjun ke dunia malam. Bermodal wajah cantik dan tubuh indahnya Andin bisa cepat di terima dan terkenal di kalangannya.“Ndin, yang itu cowok tajir tapi sayang istrinya penyakitan, coba kamu dekatin,”
“Aduh, jangan tanya-tanya terus, Mbak bos. Aku pusing! Yang jelas hubungan Mas bos sama mendiang Bu Alin itu rumit, paham! Kalo mau tahu kejelasannya mending Mbak bos tanya orangnya langsung. Aneh, orang suami istri kok enggak terbuka. Cuma dikamar aja terbukanya,” sindir Wati.“Coba ulangi!” Zahra memandang tajam ke arah Wati.“Maaf, Mbak bos. Piss ...” Wati mundur perlahan.“Sekali lagi bahas gituan, aku tahan gaji kamu tiga bulan!” ancam Zahra.“Jangan Mbak bos, nanti aku enggak bisa kirim emak uang. Kasihan dikampung lagi musim paceklik, banyak kondangan pula.”Zahra terkikik melihat wajah memelas Wati. Meski kadang sikapnya absurd tapi hanya Wati satu-satunya hiburan Zahra, kecuali Mora tentunya.Sepanjang perjalanan pulang, Zahra terus berpikir tentang hubungan masa lalu David. Benarkah David tersiksa di pernikahan sebelumnya sehingga terpaksa mencari pelampiasan yang akhirnya mempertemukannya