Hari sudah beranjak siang, Zaki merasa bosan berada dalam rumah. Cuaca mendung begitu cocok untuk memikirkan banyak hal, begitu pikirnya. Sementara Lia tidur lelap di depan televisi, dia merasa memang harus memanfaatkan situasi ini.Kursi roda itu melaju pelan berkat usaha Zaki sendiri. Sesampainya di depan rumah, pandangan matanya berubah sendu. Di sana, pada bola mata itu tersimpan luka yang enggan disampaikan.Bayangan masa lalu mengusik pikiran, tepat ketika dia pulang kerja langsung disambut hangat oleh Tyas. Mereka saling melempar senyum karena rindu seharian tidak bertemu.Tangan kekar itu terulur berharap seseorang yang sedang merajai pikiran menyambut dan mencium punggungnya. Sayang sekali, hanya embusan angin yang menggelitik di sela jemarinya.Hatinya berteriak menanyakan pada langit, 'Kapan aku bisa berjalan lagi?' Akan tetapi, sayang seribu sayang langit hanya bisa diam membisu dengan awannya yang berkabut tebal.Seperti menyimpan rindu. Seperti menyimpan luka."Ngapain?
"Zaki, kamu ngapain di sini? Tadi ibu bawa Lia ke kamarmu."Lelaki malang itu tidak menyahut, pikirannya terlalu sibuk untuk menjawab sendiri pertanyaan yang sudah lama dipendam. Bu Septi telah berhasil membawa pengaruh buruk.Zaki mengusap wajah gusar karena kesal. Dia ingin marah, memberontak atau membunuh siapa pun yang menjauhkannya dari Tyas. Akan tetapi, itu sekadar angan karena berdiri pun dia tidak sanggup.Sang ibu menjatuhkan bokong di kursi. Dia merasa anaknya menyimpan perih. Ada rasa bersalah untuk beberapa saat, tetapi mimpi untuk menjadi orang kaya selalu merusak segalanya."Tyas bekerja keras untuk menghidupi kita. Dia menantu yang baik.""Benarkah, Bu?" Zaki bertanya, tetapi bukan karena bangga istrinya disebut menantu baik."Hari itu dia menangis bahkan meneriaki ibu karena menolak pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di tempat Tuan Edbert, bahkan tidak segan Tyas mendorong ibu. Sekarang, lihat bagaimana keadaannya. Tyas bahkan jauh lebih cantik dari Utami.""Seora
POV TYAS ARYANI🤍"Maria, tolong kamu panggil Louis ke sini sekarang!" perintahku ketika melihat Maria lewat."Tapi, kenapa, Nona?""Panggil saja. Sekarang!"Perempuan cantik itu bergegas ketika melihat wajahku yang memasang wajah masam. Siapa yang tidak khawatir mendengar kabar dari Mas Bayu kalau di rumah sedang ribut.Aku kenal betul siapa Bu Septi. Gara-gara lisannya, sudah dua suami istri yang bercerai pun tiga orang anak yang menelantarkan orangtuanya. Miris sekali. Itu terjadi karena rasa iri dalam hatinya.Napas kian memburu, aku benar-benar bingung sekarang bagaimana meyakinkan Mas Zaki kalau aku sungguh bekerja di sini sebagai pelayan bukan di klub malam. Hati berharap penuh Tuan Edbert tidak lekas kembali."Nona, Anda mencari aku?""Ya, Louis. Aku butuh bantuan kamu.""Tapi, bantuan apa?""Tolong pinjamkan baju pelayan yang kamu punya. Aku terdesak sesuatu."Louis tidak bertanya, dia langsung ke luar kamar untuk mengambil pakaian pelayan miliknya. Aku berusaha bersikap ten
"Tyas!"Aku yang hendak turun makan terkejut ketika Tuan Edbert tiba-tiba berdiri di pintu. Kedua tangannya terkepal kuat, ada rasa gamang yang tiba-tiba hadir.Langkahnya mendekat mengikis jarak, sementara aku mundur hingga belakang menyentuh tembok kamar. Lelaki itu semakin dekat, tanpa senyum di wajah tampannya."Apa yang kamu lakukan?""Melakukan apa, Ed?" Suaraku terdengar gugup.Tuan Edbert menyeringai tajam sambil membuang pandangan sekilas. Dirogohnya kantong celana bahan itu dan mengeluarkan ponsel berlogo apel.Dengan lincah dia mengotak-atik, dalam hitungan detik sebuah foto kini terpampang jelas di layar ponsel yang diarahkan tepat di depan wajahku.Tepatnya foto saat memakai pakaian pelayan tadi serta menyapu bagian dapur. Bukan hanya itu, sebuah rekaman video pun ditunjukkan."Itu ...." Aku tidak habis pikir akan tertangkap basah. Berarti benar bahwa di rumah ini ada beberapa pasang mata yang ditugaskan untuk mengintai."Kamu, Louis dan Maria. Ada apa ini?!" Tuan Edbert
Aku tidak menyangka dia akan secepat itu keluar dari kamar mandi. Jika pun dilihat rambutnya belum basah, mungkin hanya merenung di dalam ruangan yang terbilang mewah itu."Di kamar mandi aku menyesali kesalahan tadi malam karena sudah menampar dengan kasar. Hari ini aku berencana mengajakmu belanja di mall sepuas hati, tetapi apa yang aku dengar? Kamu menelepon seorang lelaki. Siapa dia?""E-ed?" Aku melangkah mundur ketakutan."Siapa dia?!" Teriakannya kini memekakkan telinga. "Apa dia pacarmu?!""Teman, hanya seorang teman."Rahang Tuan Edbert mengeras, tangan kiri itu dengan cepat meraih vas bunga putih bening dan melemparnya asal ke lantai. Aku terkejut bukan main.Selain menelan saliva, aku tidak tahu harus berbuat apa. Hidupku kini bagai dalam neraka yang penuh dengan siksaan. Akan tetapi, sangat tidak pantas apabila menyalahkan Tuhan atas kebodohan yang aku lakukan.Lelaki kejam itu melangkah ke pintu dengan kimono panjang yang membalut tubuhnya. Begitu daun pintu terbuka leba
Lelaki itu terpaku di tempat, di matanya terpancar kedamaian. Andai saja aku tidak punya suami sah, tentu akan merasa cemburu melihat pemandangan itu.Seorang suami yang amarahnya reda di pelukan perempuan lain. Tentu, jika aku adalah Nyonya Aluma, mungkin akan mengamuk tanpa mengenal waktu."Lihat, Ed. Kamu begitu damai berada di pelukan Maria."Tuan Edbert menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia tidak bergerak sama sekali atau berusaha memberi penjelasan. Aku memang tidak cemburu, tetapi kesal karena dituduh murahan.Pelukan Maria semakin melingkar erat. Aku iri pada perempuan itu yang dengan mudahnya membungkam Tuan Edbert. Bukan hanya iri, tetapi juga berterimakasih karena telah menyelamatkan nyawaku."M-maria, lepaskan aku!" perintahnya tegas, tetapi seperti menyimpan luka."Dia yang ditakdirkan bersama tidak akan mati sebelum bersatu. Sekalipun kelak jarak membentang memisahkan sepasang kekasih itu, hati tidak akan pernah berubah. Dalam keadaan sadar atau tidak, dia s
Dalam kamar yang sempit ini aku hanya bisa duduk merenung. Beruntung Louis membawakan dress-nya agar aku bisa berganti pakaian. Sebenarnya dia merasa tidak enak membawakan itu, tetapi kamar utama ditutup oleh Tuan Edbert.Dress ini terlihat indah dan mungkin harganya lumayan karena aku tahu Louis di sini tidak benar-benar ada untuk bekerja. Dia pasti keturunan orang berada, terlihat dari penampilan dan parasnya yang ayu.Jam sudah menunjuk pukul dua siang, entah bagaimana situasi di luar sana. Hingga kini pun Maria belum pernah menemuiku. Kabarnya perempuan itu ingin rehat sepanjang hari.Tuan Edbert sepertinya tidak ada di rumah. Lagipula siapa yang peduli dia ada atau tidak. Lelaki itu dingin sekali, aku sampai kesulitan menghadapinya."Nona, Tuan Edbert memanggil Anda." Salah seorang pelayan tiba-tiba membuka pintu, aku terkejut bukan main.Baru saja membicarakan Tuan Edbert, dia sudah mencariku. Apakah ada kesalahan lain atau sudah memberi maaf? Semoga saja ponsel tadi mati total
"Tidak, Ed. Mereka berdua yang telah berbohong. Akan tetapi, aku yakin Mbak Utami bukan maksud menipu, tetapi ingin membelaku."Tuan Edbert menoleh pada Mbak Utami dan juga Sarah. Wajahnya merah padam karena amarah. Kini mereka dalam masalah besar, tetapi aku hanya bisa diam."Sebenarnya aku sudah menebak sejak tadi kalau kalian berdua berbohong. Akan tetapi, mengingat itu untuk keselamatan Tyas karena kekhawatiran kalian maka aku memaafkan. Tyas tidak akan dihukum, tetapi ...."Senyum di wajah Mbak Utami dan Sarah yang baru saja terbit seketika sirna ketika Tuan Edbert menggantung kalimatnya. Aku saja yang dikata tidak akan dihukum merasa khawatir. Pasti ada sesuatu setelah ini.Hening yang mendominasi menjadikan jantung berdegup dua kali lebih cepat. Amarah terbesar adalah diam dan aku merasa itu yang terjadi sekarang."Kalian harus pergi dari sini sekarang karena aku tidak suka melihat wajah pembohong dan ingat satu hal." Telunjuk Tuan Edbert berdiri tegak di depan wajahnya. "Janga