Dalam kamar yang sempit ini aku hanya bisa duduk merenung. Beruntung Louis membawakan dress-nya agar aku bisa berganti pakaian. Sebenarnya dia merasa tidak enak membawakan itu, tetapi kamar utama ditutup oleh Tuan Edbert.Dress ini terlihat indah dan mungkin harganya lumayan karena aku tahu Louis di sini tidak benar-benar ada untuk bekerja. Dia pasti keturunan orang berada, terlihat dari penampilan dan parasnya yang ayu.Jam sudah menunjuk pukul dua siang, entah bagaimana situasi di luar sana. Hingga kini pun Maria belum pernah menemuiku. Kabarnya perempuan itu ingin rehat sepanjang hari.Tuan Edbert sepertinya tidak ada di rumah. Lagipula siapa yang peduli dia ada atau tidak. Lelaki itu dingin sekali, aku sampai kesulitan menghadapinya."Nona, Tuan Edbert memanggil Anda." Salah seorang pelayan tiba-tiba membuka pintu, aku terkejut bukan main.Baru saja membicarakan Tuan Edbert, dia sudah mencariku. Apakah ada kesalahan lain atau sudah memberi maaf? Semoga saja ponsel tadi mati total
"Tidak, Ed. Mereka berdua yang telah berbohong. Akan tetapi, aku yakin Mbak Utami bukan maksud menipu, tetapi ingin membelaku."Tuan Edbert menoleh pada Mbak Utami dan juga Sarah. Wajahnya merah padam karena amarah. Kini mereka dalam masalah besar, tetapi aku hanya bisa diam."Sebenarnya aku sudah menebak sejak tadi kalau kalian berdua berbohong. Akan tetapi, mengingat itu untuk keselamatan Tyas karena kekhawatiran kalian maka aku memaafkan. Tyas tidak akan dihukum, tetapi ...."Senyum di wajah Mbak Utami dan Sarah yang baru saja terbit seketika sirna ketika Tuan Edbert menggantung kalimatnya. Aku saja yang dikata tidak akan dihukum merasa khawatir. Pasti ada sesuatu setelah ini.Hening yang mendominasi menjadikan jantung berdegup dua kali lebih cepat. Amarah terbesar adalah diam dan aku merasa itu yang terjadi sekarang."Kalian harus pergi dari sini sekarang karena aku tidak suka melihat wajah pembohong dan ingat satu hal." Telunjuk Tuan Edbert berdiri tegak di depan wajahnya. "Janga
Pukul empat sore baru aku melangkah ke ruang kerja Tuan Edbert karena disuruh makan lebih dulu. Rambut hanya terurai tanpa hiasan apa-apa. Dada yang bergemuruh hebat pun pipi yang bersemu merah membuatku semakin salah tingkah. Bagaimana tidak, ketika berpapasan dengan Lotus, dia tidak sengaja memuji kecantikanku. Baru saja ingin mengetuk pintu yang setengah terbuka, aku mendengar suara Maria dari dalam. Gegas aku bersandar pada tembok ingin menguping pembicaraan mereka. "True love will restore your memory!" seru Maria. "What memories, Maria? I have said many times that I am Edbert Addison and not Marlon. Marlon is gone and let's not talk about it anymore!" Aku mencoba menerjemahkan, tetapi gagal. Hanya bisa menangkap sedikit bahwa Tuan Edbert bukan Marlon Addison. Maksudnya apa, ya? "Don't try to lie to me. Everyone in Detroit knows that you are Marlon! After all, what was missing was Edbert. Hadn't he left the house because he didn't have Mr Addison's blessing?" "Don't tel
"Maria!" panggilku pada perempuan yang baru saja lewat di depanku tanpa menoleh. Sejak dua hari lalu aku tidak pernah melihatnya bahkan rambut ini tidak lagi ditata. Penampilannya kembali seperti dulu. Aku merasa bersalah, tetapi bingung karena apa. Tuan Edbert memang sudah mulai bicara baik padaku, tetap saja dia enggan makan bersama bahkan tadi malam dia ke rumah Nyonya Aluma. Memang satu kewajaran karena memiliki dua istri. Perempuan yang sejak tadi terdiam itu baru saja menoleh. "Ada yang bisa aku bantu, Nona?" Tidak ada senyum di wajahnya. "Kemarilah, ada hal yang harus aku ketahui!" Tanpa penolakan, Maria justru langsung mengikutiku masuk kamar. Kami duduk berhadapan di sofa layaknya seorang teman. "Lelaki yang menikahiku ... apakah dia Marlon Addison?" Maria membulatkan kedua mata indahnya. Dia termangu, tatapan itu seperti menyimpan banyak tanya dan prasangka. Dua detik kemudian, Maria memalingkan wajah seraya menghapus bulir bening pada pipi. Kepala itu menunduk dalam,
"Iya, Tuan?" sahutku gugup.Tuan Edbert berdecih. "Lihat, kamu bahkan memanggilku seperti itu lagi. Aku sudah memaafkanmu, jadi bersikap biasa sajalah!""Maaf, Ed. Aku gugup, jadi tidak sengaja memanggilmu tuan." Dengan sangat berusaha aku tersenyum manis."Turunlah, ada tamu penting yang harus berkenalan denganmu!"Aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah Tuan Edbert menuruni anak tangga. Tidak perlu berganti pakaian karena sekarang pun sudah lebih baik. Secara kebetulan hari ini aku memakai anting juga cincin berlian.Sekalipun rambut hanya terurai, semoga tidak mengurangi kadar kecantikan. Tamu Tuan Edbert tentu saja orang penting sehingga aku harus tampil penuh wibawa. Entah siapa dia, semoga bukan Mas Bayu atau sejenisnya.Setibanya di ruang tamu, aku memasang raut wajah bingung karena baru pertama kali melihat lelaki itu. Dia bersama seorang perempuan yang kutaksir seusia Mas Zaki. Mungkin saja suami istri.Setelah memperkenalkan diri, aku langsung duduk di sisi Tuan Edbert den
Aku tidak mengerti kenapa Tuan Edbert bisa leluasa pulang ke rumah di kerja. Akan tetapi, sekarang malah kembali pergi setelah mendapat telepon. Kekhawatiran terbesar setelah kejadian tadi adalah Nyonya Aluma datang ke sini. Tidak, semoga itu tidak pernah terjadi! batinku penuh harap. Saat hendak menuruni anak tangga, aku melihat seorang perempuan termenung di bawah sana. Dia memeluk kedua kakinya begitu erat. "Nona, jika Anda berniat mendekati Maria sekarang, maka lebih baik jangan!" Bisikan lembut itu dari Louis. "Kenapa?" "Suasana hatinya sedang kacau, tolong jangan menambahnya dengan banyak pertanyaan." "Memangnya kamu tahu kalau aku akan turun menemuinya?" "Aku tahu pikiran Anda, Nona." "Apa yang aku pikirkan, katakan!" Louis terdiam. Dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Mata indah itu berubah sendu. Aku bisa merasakan luka yang dialaminya kini. Sementara di bawah sana, Maria menundukkan kepala begitu dalam. Pasti pundaknya menyimpan banyak beban yang eng
"Kami pergi dulu!" pamit Maria dan juga Louis."Kalian boleh pergi, tetapi kembali dalam waktu dua menit!" seru Tuan Edbert yang mendengar suara mereka padahal seperti gumaman.Louis dan Maria saling pandang, lalu melangkah menjauh. Sementara itu Tuan Edbert tersenyum manis, membawa tubuh kecil ini dalam pelukannya.Aku ragu, ingin menolak, tetapi takut. Tuan Edbert malah semakin mengeratkan pelukan. Dia mengaku sedang bahagia entah kenapa. Lelaki aneh yang kadang sehangat mentari, pun kerapkali sedingin kutub utara.Saat mengurai pelukan, aku bernapas lega. Tuan Edbert pun mengeluarkan benda pipih dari kantong celananya. Warna merah muda berlogo apel."Ponsel ini untukmu biar aku tidak kesulitan memberi kabar. Ini juga sebagai permintaan maaf karena merusak milikmu kemarin." Tuan Edbert tanpa beban menyerahkan benda mahal itu."Tidak, Ed. Ponsel itu terlalu mahal sementara milikku berkisar dua juta saja."Bukan mendebat, Tuan Edbert malah meraih tanganku memaksa menggenggam benda pip
POV AUTHORTyas turun dari mobil sementara dua pelayan mengambil barang-barangnya dari bagasi. Sekalipun belanja banyak berjam-jam, tetapi saja hatinya merasa kacau. Masih tentang Maya.Dia khawatir nanti perempuan itu sengaja mampir ke rumah ibu mertuanya dan menceritakan pertemuan mereka di mall dengan Tuan Edbert sekalian. Tidak mengapa jika Mas Zaki berada dalam kamar dan fokus bermain dengan Lia.Tuan Edbert masih belum mau melepas genggaman tangannya. Tyas resah, berharap Maria tidak melihat pemandangan itu atau hatinya akan kembali menuai luka.Terpaksa bekerja sebagai istri simpanan memang tidak ada enaknya sama sekali apalagi jika sudah memiliki suami sebelumnya. Selain khawatir dengan dosa poliandri, juga takut ketahuan oleh orang lain.Apalagi Tyas Aryani yang ternyata melukai hati teman baru sendiri. Perempuan yang menjadi kekasih Marlon bekerja di sana, tentu karena merasa tidak enak akan membatasi pergerakan. Memang belum pasti mereka orang yang sama, tetapi tetap saja w